PENDAHULUAN
Pembentukan UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam
segala aspeknya merupakan landasan yuridis dan bagian kegiatan pembangunan
nasional, khususnya dalam mewujudkan kehidupan anak dalam berbangsa dan
bernegara.[1] Berdasarkan pemikiran tersebut maka semua
bentuk perhatian, pemeliharaan, dan seluruh aspek yang dapat dikategorikan dan
dijangkau oleh kata perlindungan anak maka dapat dijadikan sebagai landasan
yuridis. Sebelumnya perhatian terhadap
hak dan kewajiban anak hanya terfokus kepada para orang tua sebagai orang yang
terdekat dan yang paling bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang anak. Namun sejalan dengan banyaknya perlakuan
tidak baik dan tak manusiawi terhadap anak, baik di luar maupun di tengah-tengah
keluarganya sendiri, maka Negara dalam hal ini pemerintah berkewajiban untuk
memberikan perlindungan hukum terhadap anak.
Kinkin Mulyati and Malika Aulia Fath |
Perlindungan anak yang diberikan oleh negara harus
dapat menjamin terpenuhinya hak-hak anak secara optimal demi terwujudnya
keadilan dan kesejahteraan bagi anak.
Namun perlindungan yang diberikan hendaknya sesuai dengan asas dan
prinsip dasar kemanusiaan serta norma-norma yang ada. Sehingga perlindungan yang diberikan tidaklah
melanggar hak-hak orang lain dan juga tidak melanggar norma agama sebagai norma
yang harus dijunjung tinggi kemurnian ajarannya.
Makalah ini akan membahas tentang hak dan kewajiban
anak yang terdapat dalam UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2003, pasal 4 sampai
pasal 19 undang-undang a quo.
Dalam pembahasannya pasal-pasal tersebut tentu tidak dapat berdiri
sendiri melainkan mempunyai hubungan satu sama lain dengan pasal-pasal
sebelumnya atau sesudahnya, sebagai satu kesatuan yang utuh. Oleh sebab itu,
ketika menjelaskan pasal-pasal yang dimaksud banyak pasal lainnya juga yang
dijelaskan oleh Penulis. Dalam makalah
ini Penulis akan menelaah undang-undang tersebut dilihat dalam perspektif hukum
Islam serta mencoba menampilkan keselarasan maupun kesenjangan kedua hukum
tersebut.
PEMBAHASAN
A. Sejarah Lahirnya Undang-undang Perlindungan Anak
Nomor 23 tahun 2002
Masalah seputar kehidupan anak merupakan persoalan
yang harus mendapatkan perhatian secara khusus. Akibat kegagalan pranata sosial
disinyalir sebagai penyebab ketidakmampuan pemerintah untuk mewujudkan kondisi
ideal dalam melindungi hak-hak anak Indonesia.
Walaupun banyak naskah akademik, seminar-seminar, lokakarya yang
mengusung tentang tema perlindungan anak namun belum dapat memberikan
kontribusi yang besar terhadap perlindungan anak dalam arti menyeluruh
(komprehensif).
Jika mengacu kepada sejarah lahirnya Undang-undang
Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 maka keberadaan UU a quo merupakan
bentuk kepedulian dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memperjuangkan
terlaksananya draf pertama Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Anak. Draf pertama ini tersusun pata tahun 1998
dalam kondisi politik dan keamanan Indonesia yang kurang menguntungkan serta
krisis ekonomi yang begitu menghawatirkan – masa pergantian pemerintahan dari
Soeharto ke Habibie, kemudian dilanjutkan pada masa Abdurrahman Wahid - yang menyebabkan draf Rancangan Undang-undang
ini tertunda.
Situasi yang tidak kondusif seperti ini mendorong
UNICEF untuk mempasilitasi penyusunan suatu Rancangan Undang-undang tentang
Perlindungan Anak melalui suatu tim yang dikenal dengan Tim-7, yang
anggota-anggotanya terdiri dari wakil Departemen Kehakiman, Departemen Sosial, Kantor
Menteri Kesejahteraan Rakyat, Lembaga Bantuan Hukum, Perguruan Tinggi, Yayasan
Kesejahteraan Anak Indonesia, dan Komisi Nasional Lembaga Perlindungan Anak.
Sejumlah masukan dari masyarakat, pakar, pejabat pemerintah, dan penegak hukum,
diterima oleh Tim-7, diolah, dan diintegrasikan ke dalam naskah RUU tentang
Perlindungan Anak.[2]
Singkatnya RUU tersebut disampaikan kepada DPR-RI, kemudian
oleh DPR-RI disampaikan kepada Presiden RI dengan surat Nomor
RU-02/1090/DPR-RI/2002 tanggal 20 Februari 2002 dengan permintaan untuk
dibicarakan dengan pemerintah guna mendapatkan persetujuan. Akhirnya Presiden
mengutus Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Menteri Sosial guna mewakili
pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut dengan DPR-RI. Untuk menyongsong pembahaan
RUU tentang Perlindungan Anak di DPR-RI, sebagian anggota Tim-7 membentuk tim
baru dengan nama Tim-5 yang difasilitasi oleh UNICEF dengan maksud dapat
memberikan masukan sebagai bahan penyempurnaan atau pertimbangan Komisi VII
DPR-RI yang membahas RUU tentang Perlindungan Anak. Tim-5 bertindak sebagai Tim Asistensi dari Komisi VII
DPR-RI. Selanjutnya RUU tersebut
disahkan pada tanggal 22 Oktober 2002.[3]
B. Hak dan Kewajiban Anak dalam Undang-undang
Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002.
Pembahasan hak
dan kewajiban anak dalam Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 terdapat
pada Bab III, dari pasal 4 sampai pasal 19.
Hak anak dalam UU tersebut meliputi : [4]
· Setiap
anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).
· Setiap
anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal
5).
· Setiap
anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6).
· (1)
Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh
orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena
suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak
dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai
anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku ( Pasal 7 ).
· Setiap
anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8).
· (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan
dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya
sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2) Selain
hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang
cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang
memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus (Pasal 9).
· Setiap
anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal
10).
· Setiap
anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat,
bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11).
· Setiap
anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12).
· Setiap
anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi,
baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan;
e. Ketidakadilan;
dan
f. Perlakuan
salah lainnya (Pasal 13).
· Dalam
hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman
(Pasal 13).
· Setiap
anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan
dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14).
· Setiap
anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
a. Penyalahgunaan
dalam kegiatan politik;
b. Pelibatan
dalam sengketa bersenjata;
c. Pelibatan
dalam kerusuhan sosial;
d. Pelibatan
dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;
e. Pelibatan
dalam peperangan (Pasal 15).
· (1)
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2)
Setiap anak berhak untuk memperoleh
kebebasan sesuai dengan hukum.
(3)
Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila
sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir (Pasal 16).
· (1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak
untuk :
a. Mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b. Memperoleh
bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum
yang berlaku; dan
c. Membela
diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak
dalam sidang tertutup untuk umum (Pasal 17).
(2)
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17).
· Setiap
anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan
hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).
· Setiap
anak berkewajiban untuk :
a. Menghormati
orang tua, wali, dan guru;
b. Mencintai
keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. Mencintai
tanah air, bangsa, dan negara;
d. Menunaikan
ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. Melaksanakan
etika dan akhlak yang mulia. (Pasal 19)
C. Hak dan Kewajiban Anak dalam Hukum Islam
Untuk membandingkan hak dan kewajiban yang ada dalam
UU Perlindungan Anak maka di bawah ini Penulis kemukakan hak dan kewajiban
terhadap anak dalam hukum Islam antara lain sebagai berikut :
·
Anak berhak
untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Islam
melarang orang tua untuk membunuh anak-anak mereka dengan tujuan apapun.
Perlindungan untuk hidup, tumbuh dan berkembang tersebut diberikan Islam sejak
masa dalam kandungan. Sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-Isra ayat
31 :
وَلَا
تَقْتُلُوا أَوْلَادَكمُ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكمُ إِنَّ
قَتْلَهُمْ كَانَ خَطْءًا كَبِيْرًا
“Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan
memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah suatu dosa yang besar”.
قد خسرَ الذين قَتلوا أولادَهم
سفها بغير علمٍ وحَرَّموا ما رَزَقَهمُ الله افتراءً على الله قد ضَلُّوا وما
كانوا مهتدِين
“Sesungguhnya
rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak
mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rezekikan kepada
mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka
telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.”.
· Hak
dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi.
Nabi saw telah memerintahkan kepada sahabat untuk
tidak melakukan kekerasan, penganiayaan bahkan pembunuhan terhadap
anak-anak. Banyak riwayat yang
menuturkan tentang perbuatan dan perkataan lemah lembut Rasulullah saw kepada
anak-anak. Misalnya hadis yang
meriwayatkan tentang teguran Rasulullah saw terhadap seorang perempuan yang
menarik anaknya ketika kencing di pangkuan Rasulullah saw. Hadis lainnya antara
lain menerangkan bahwa Rasulullah tidak pernah memukul anak, tapi Beliau menjelaskan
aturan memukul dan bahaya pemukulan. Dari
Aisyah ra berkata :
ماضرب
رسول الله صلى الله عليه سلم شيأ قطٌّ بيده ولاخادما الا اَن يُجاهدَ
فى
سبيل الله
“Rasulullah
tidak pernah sama sekali memukul sesuatu dengan tangannya, baik terhadap istri
maupun pelayannya, kecuali bila berjihad di jalan Allah.”[5] Rasulullah juga bersabda, “Seorang yang
kuat bukanlah orang yang dapat membanting orang lain, tetapi orang yang kuat
ialah yang mampu mengendalikan dirinya saat sedang marah.”[6]
Nabi Muhammad saw pun memerintahkan supaya umatnya
berlaku adil terhadap anak-anaknya dan tidak berlaku diskriminasi. Dari
An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma dia berkata:
تَصَدَّقَ
عَلَيَّ أَبِي بِبَعْضِ مَالِهِ فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ لَا
أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ قَالَ لَا قَالَ
اتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ
الصَّدَقَةَ
"Ayahku pernah memberikan sebagian
hartanya kepadaku, lantas ibuku yang bernama ‘Amrah bintu Rawahah berkata,
“Saya tak akan rela akan hal ini sampai kamu meminta Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sebagai saksinya. ”Maka ayahku
pergi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam utk meminta beliau menjadi
saksi atas pemberian tersebut, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda kepadanya: “Apakah kamu berbuat demikian kepada semua
anak-anakmu?” dia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda: “Bertakwalah kepada Allah
dan berbuat adillah di antara anak-anakmu.” Kemudian ayahku pulang &
meminta kembali pemberiannya kepadaku.”[7]
· Hak
atas suatu nama, identitas diri, status dan mengetahui orang tuanya.
Anak berhak mendapatkan nama dan identitas diri dalam
Islam. Untuk nama anak, Allah swt telah mengisyaratkan dalam al-Qur’an bahwa
anak harus diberi nama.
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا
نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَل لَّهُ مِن قَبْلُ سَمِيًّا (سورة
مريم : ۷)
“Hai
Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh)
seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan
orang yang serupa dengan dia” (QS. Maryam: 7).
Anak juga berhak atas status dan mengetahui orang
tuanya. Allah berfirman dalam al-Qur’an :
ادْعُوهُمْ
لِآبَائِهِمْ... (سورة الأحزاب : ﻩ)
“Panggilah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka…” (QS.
Al-Ahzab: 5)
Bagi anak yang terlahir dalam ikatan perkawinan yang
sah tidak ada ikhtilaf dalam nasab, sedangkan bagi anak yang dilahirkan di luar
ikatan pernikahan terdapat perbedaan di kalangan fuqoha. Perbedaan tersebut dikarenakan adanya
ikhtilaf dalam memahami arti nikah sehingga berujung terhadap perbedaan
memahami teks al-Qur’an dan teks hadis.
A. Pendapat
Imam Syafi’i.[8]
Perzinaan
tidak menetapkan hurmatul mushaharah (kehormatan kerabat) yaitu hubungan kekeluargaan
yang diperoleh dengan jalan perkawinan.
Jadi kalau seorang lelaki meyakini bahwa akibat dari perzinahannya
dengan seorang perempuan, lahirlah seorang anak (wanita), maka laki-laki
tersebut atau anaknya atau bapaknya masing-masing tidak ada halangan untuk
menikahi anak itu sebagaimana anak dari laki-laki itu atau bapaknya tidak
berhalangan untuk menikahi perempuan tersebut.
Alasan yang dikemukakan antara sebagai berikut :
1. Wanita
yang dizinahi oleh seorang lelaki keadaannya sebagai berikut :
a) Tidak
dapat dianggap sebagai istri, maka ia dianggap selaku ibu tiri dari anak si
lelaki tersebut, yang oleh karena itu tidak dapat diperlakukan ayat al-Qur’an
yang berbunyi :
“Dan janganlah kamu mengawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh bapakmu, kecuali pada masa yang
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat
keji dan dibenci oleh Allah dan seburuk-buruk jalan”.
b) Tidak
dapat dianggap sebagai istri, maka ia dianggap sebagai menantu dari bapak si
lelaki tersebut, oleh karena itu tidak dapat diperlakukan ayat al-Qur’an yang
berbunyi :
“Dan diharamkan atasmu (mengawini)
istri-istri dari anak kandungmu (menantu)”.
c) Anak
yang dilahirkan oleh wanita tersebut dari perzinaan itu tidak, dapat dianggap
sebagai putri yang sah dari laki-laki itu, yang oleh karenanya tidak dapat
diperlakukan ayat al-Qur’an yang berbunyi :
“Diharamkan atasmu (mengawini) ibumu dan
anak-anakmu yang perempuan”.
d) Ibu
dari wanita tersebut tidak dapat dianggap sebagai mertua dari laki-laki
tersebut, yang oleh karena itu tidak dapat diperlakukan ayat al-Qur’an yang
berbunyi :
“Dan diharamkan atasmu (mengawini)
ibu-ibu dari istrimu (mertua)”.
Dengan
demikian menurut Imam Syafi’i wanita yang dizinahi itu, anaknya dan ibunya
serta anak yang dihasilkan dari perzinaan dengan laki-laki tersebut tidak
termasuk dalam ayat muharramat, hal tersebut termasuk ke dalam ayat :
“Dan
dihalalkan bagimu (mengawini) wanita-wanita selain dari yang tersebut itu”
2. Perzinaan
adalah persetubuhan yang haram, perbuatan yang terkutuk dan menimbulkan permusuhan
dan bencana. Perbuatan seperti itu tidak
wajar mendapat hurmatul mushaharah.
B. Pendapat
Imam Abu Hanifah, Ahmad ibn Hanbal dan Imamiyah menurut riwayat yang masyhur.[9]
Memandang bahwa perzinaan menetapkan
hurmatul mushaharah, kebalikan dari pendapat Syafi’i. Wanita yang berzina dengan lelaki tersebut
seolah-olah dalam hukum adalah istrinya, ibunya seolah-olah mertua dan anak
yang hasil zina dalam hukum adalah anaknya.
Anak dari lelaki tersebut diharamkan mengawini wanita itu karena ia
dalam hukum adalah ibu tiri, menurut ayat al-Qur’an yang berbunyi :
“Jangalah kamu setubuhi wanita-wanita
yang telah disetubuhi oleh bapakmu, terkecuali pada masa yang sudah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah dan seburuk-buruk
jalan”.
Jadi menurut ulama fiqh Hanafi ayat ini
melarang menyetubuhi wanita yang disetubuhi oleh bapak itu dengan akad nikah
yang sah atau akad milkul yamin (membeli budak) atau mendapatkannya karena
warisan atau tawanan perang ataukah dengan zina atau karena terjadinya
kekeliruan (wathi subhat)...tegasnya akibat dari persetubuhan itu sama dengan
akibat yang ditimbulkan oleh akad nikah yang sah.
C. Pendapat Imam Malik menurut qaul yang masyhur.[10]
Sependapat dengan pendapat yang pertama
(Syafi’i) kecuali dalam hal anak yang
hasil dari zina. Mengenai hukum anak ini
adalah bahwa perzinaan menetapkan hurmatul mushaharah. Menurut pendapat golongan ini bahwa anak zina
itu terjadi dari air maninya yang mana keadaannya tidak berbeda antara haram
dan halal dalam proses kejadiannya sebagaimana diketahui dari sabda Nabi
terhadap peristiwa Hilal bin Umaiyah yang dituduh berzina : “...lihatlah
anaknya nanti, kalau anak itu bentuknya serupa dengan si Syuraik bin Samha
(laki-laki yang menzinainya) maka ia adalah anak Syuraik (diriwayatkan oleh Abu
Daud). Hadis ini : “Diharamkan
atasmu (mengawini) ibumu dan anak-anakmu yang perempuan”.
·
Hak memelihara,
membesarkan dan mengasuh.
Nabi saw memerintahkan kepada orang tua untuk
membesarkan dan mengasuh anak. Nabi Muhammad
saw pernah menetapkan hak hadanah kepada seorang ibu (janda) selama dia belum melakukan
perkawinan lagi dengan orang lain. Rasulullah saw bersabda :
“Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum
berkawin.” (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
Hak dan tanggung jawab seorang ibu dalam mengasuh
dan membesarkan anaknya berlangsung hingga anak mencapai mumayyiz. Setelah itu
anak diberi keleluasan untuk memilih siapa yang paling ia sukai. Rasulullah saw bersabda :
“Wahai anak! Ini Bapakmu dan ini Ibumu, peganglah
tangan siapa yang kamu suka antara mereka berdua. Lalu anak itu memegang tangan
ibunya, lantas ibunya membawa ia pergi.” (Riwayat Imam
Ahmad)
·
Hak memperoleh
pelayanan kesehatan dan jaminan sosial.
Rasulullah
saw menjenguk, mendoakan kesembuhan dan mengobati anak-anak yang sakit. Dari As-Saib
bin Yazid berkata : “Bibiku membawaku pergi menemui Rasulullah lalu berkata,
‘Wahai Rasulullah, keponakanku ini sedang sakit. Maka Rasulullah mengusap
kepalaku dan mendoakan keberkahan bagiku dan beliau berwudu lalu aku minum dari
bekas air wudunya. Setelah itu aku berdiri di belakang punggungnya dan kulihat
cap kenabian ada di antara kedua pundaknya seperti telur burung puyuh.” (Muttafaq
Alaih)
Nabi
saw pun memerintahkan untuk memberi makanan dan pakaian kepada anak sebagai
jaminan kehidupan baginya. Ubadah bin Al Walid berkata, Rasulullah bersabda, “…Berilah
mereka makan dari apa yang kalian makan dan berilah mereka pakaian dari apa
yang kalian pakai…”.[11]
· Hak
berpikir, dan berekspresi
Rasulullah
saw membiarkan anak-anak untuk berpikir dan berekspresi sesuai dengan bakat dan
kemampuannya. Dari Aisyah ra bahwa
Abu Bakar masuk ke tempatnya saat ia bersama dua budak yang menyanyikan dan
memukul rebana pada hari-hari Mina. Sementara itu, Rasulullah sedang membentangkan
(menjemur) baju beliau. Maka Abu Bakar membentak mereka berdua. Rasulullah pun
melongokkan wajah dari balik baju yang dijemurnya dan bersabda, “Biarkanlah
saja wahai Abu Bakar karena ini sedang hari Raya.” Aisyah berkata, “Aku melihat
Rasulullah menutup dirinya dariku dengan jubahnya sedangkan aku melihat
orang-orang Habasyah yang sedang bermain saat aku masih kecil. Maka mereka
menghormati kadudukan anak kecil. [12]
· Hak
memperoleh pendidikan dan pengajaran.
Dalam berbagai literatur hadis, banyak diriwayatkan
tentang pentingnya pendidikan dan kewajiban seseorang, khususnya orang tua
untuk memberikan pendidikan dan pengajaran.
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dan Baihaqi dari Abu Hurairah,
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya sebagian dari hak anak atas orang tuanya
ialah memberinya nama yang baik, mengajarkannya baca-tulis dan menikahkannya
jika sudah dewasa.”
Kemudian hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim dari Jabir ibnu Samurah, Rasulullah bersabda, “Sebenarnya seorang
ayah mendidik anaknya adalah lebih baik dari pada dia bersedekah dengan beras
(4 liter).”
· Hak
untuk mendapatkan perlindungan dalam kegiatan politik, pelibatan sengketa,
peperangan, kerusuhan dan kekerasan.
Rasulullah saw melarang
membunuh anak-anak ketika terjadi peperangan :
حديث
عبد الله بن عمر, أن امرأة وجدت, في بعض مغازي النبي صلي الله عليه وسلم, مقتولة,
فأنكر رسول الله صلى الله عليه و سلم قتل النساء والصبيان (أخرجه البخاري(
“Abdullah
bin Umar r.a. berkata : Pernah terjadi dalam salah satu peperangan Nabi saw ada
wanita terbunuh, maka Nabi saw murka dan melarang pembunuhan terhadap wanita
dan anak-anak“. (Bukhari Muslim).
Tawanan perang dalam Islam bukanlah rakyat dari
negeri yang berhasil dikalahkan, melainkan individu yang ikut bertempur. Rasulullah
saw bersabda kepada penduduk Mekkah pada peristiwa Fathu Mekkah: “Pergilah kalian,
kalian adalah orang-orang yang telah bebas.” Suku-suku Arab biasa membawa
anak dan istri mereka dalam peperangan, sehingga selalu terdapat regu perempuan
bagian logistik di belakang pasukan perang. Ketika pasukan utamanya kalah, maka
perempuan serta anak-anak yang ikut berperang tertangkap, sehingga ikut menjadi
tawanan perang. Tawanan perang termasuk ghanimah dan terbagi dalam dua bagian,
yaitu wanita dan anak kecil, serta laki-laki yang sudah baligh.[13]
· Hak
mendapat perlindungan dan bantuan hukum.
Rasulullah bersabda, “Orang yang
meminta perlindungan kepada kalian atas nama Allah maka lindungilah dan siapa
yang meminta kepada kalian dengan nama Allah maka berilah.”[14]
· Hak
mendapatkan hukuman yang sesuai dan manusiawi.
Abdullah bin
Busr Al Mazini berkata : “Ibuku mengutusku untuk mengantarkan setangkai
anggur kepada Rasulullah. Namun, aku memakannya sebelum sampai kepada beliau.
Ketika aku tiba di tempat beliau, beliau menjewer telingaku (secara halus) dan
memanggilku dengan sebutan, ‘Wahai penghianat kecil.” [15]
Rasulullah
bersabda : “Apabila seseorang di antara kalian memukul, maka hindarilah
bagian wajah.” [16]
· Hak
untuk tidak dieksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
Anak berhak atas penghidupan yang
layak, tidak dibeda-bedakan dan tidak diperlakukan diskriminatif. Anak pun tidak berhak untuk dieksploitasi,
baik oleh orang tuanya maupun masyarakat atau negara. Rasulullah saw selalu memberikan suri
tauladan kepada umatnya dalam hal tersebut. Rasul saw memerintahkan untuk tidak
berlaku diskriminatif, antara lain dalam satu riwayat yang menerangkan
tentang Rasulullah selalu menyambut dan
mencium Fatimah ketika ia datang, menggandeng tangannya, mempersilahkan ia
duduk di sebelah beliau. Rasulullah bersabda, “Barang siapa memiliki tiga
anak perempuan, atau tiga saudara perempuan, atau dua anak perempuan atau dua
saudara perempuan lalu memperlakukan mereka dengan baik (adil) dan bertakwa kepada Allah dalam mengasuh
mereka, maka baginya surga.” [17]
Rasulullah tidak
pernah mengeksploitasi anak baik dalam ekonomi maupun seksual /gender. Ubadah
bin Al Walid berkata, Rasulullah bersabda, “…Berilah mereka makan dari apa
yang kalian makan dan berilah mereka pakaian dari apa yang kalian pakai…”
[18]
Al Ghazali mengatakan, “Hendaknya seorang anak tidak
dibiarkan berbangga diri di depan teman-teman sebayanya dengan harta yang
dimiliki oleh orang tuanya atau dengan sesuatu dari makanannya, pakaiannya,
atau buku dan penanya. Akan tetapi, hendaklah anak dibiasakan bersikap rendah hati,
menghormati setiap orang yang bergaul dengannya, dan lemah lembut tutur sapanya
dengan mereka.” (Ihya ‘Ulumuddin)
· Kewajiban
menghormati orang tua, wali, dan guru;
Allah swt
mewajibkan manusia untuk menghormati orang tua (ibu dan bapaknya), sebagaimana
firman-Nya dalam al-Qur’an :
ووصينا الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن
وفصاله في عامين أن اشكر لي ولوالديك إلي المصير ( سورة لقمان : ۳۱ )
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (QS; Lukman : 31)
Kemudian
Rasulullah memerintahkan supaya memuliakan gurunya :
وَقِرُّوْا مَنْ تَتَعَلَّمُوْنَ مِنه
Rasulullah saw
bersabda : “Muliakanlah orang-orang yang telah memberikan pelajaran padamu.”
(HR. Abu Hasan Mawardi)
Rasulullah juga bersabda, “Tidak
termasuk golonganku orang yang tidak belas kasih terhadap yang lebih muda dan
tidak mau menghormati orang yang lebih tua serta tidak pula menghargai
hak orang yang alim di antara kita.” [19]
·
Kewajiban mencintai
tanah air, bangsa, dan negara.
Islam mengajarkan untuk mencintai
tanah air, bangsa dan negara. Memberitahu anak-anak tentang keadaan bangsa dan
negaranya, bahkan menceritakan peperangan yang mungkin pernah dialami oleh
tanah air, bangsa dan negaranya. Sahabat Rasulullah misalnya, ia menceritakan
kepada anaknya tentang peperangan yang pernah dialami kaum muslimin ketika menghadapi
musuh. Urwah menceritakan bahwa ayahnya, Zubair mempunyai beberapa bekas luka
pada tubuhnya yang dialami sewaktu dalam peperangan badar. Urwah berkata : “Aku
sering memasukkan jariku ke dalam bekas luka pukulan pedang yang sudah sembuh
itu seraya memainkannya sewaktu aku masih kecil…” [20]
· Kewajiban
beretika dan berakhlak mulia.
Ajaran Islam sangat mengutamakan etika dan akhlak
dalam berinteraksi dengan sesama manusia bahkan sesama makhluk Allah di muka
bumi ini. Rasulullah pernah bersabda : “Seorang
hamba dengan akhlak baiknya dapat mencapai derajat tertinggi di akhirat,
kedudukan yang terhormat sekalipun dia kurang ibadahnya dan sesungguhnya dia akan
mencapai tempat paling bawah di neraka jahannam karena akhlaknya yang buruk.” (HR.
Thabrani)
· Kewajiban
mencintai keluarga, masyarakat dan teman.
Mencintai keluarga, masyarakat dan
teman termasuk ajaran Islam yang sangat diutamakan. Kecintaan terhadapnya akan menimbulkan kasih
sayang dan kebaikan, jauh dari pertengkaran dan permusuhan, yang pada akhirnya
akan terbentuk masyarakat yang aman dan damai yang diridhai Allah swt.
Mencintai keluarga :
Rasulullah sendiri apabila
putrinya, Fatimah, masuk menemuinya, beliau bangkit menyambutnya dan menciumnya
serta mendudukannya di tempat duduknya. Begitu pula sebaliknya, apabila beliau
masuk menemuinya, ia bangkit menyambutnya dan menciumnya serta
mempersilahkannya duduk di tempat duduknya.”[21]
Mencintai masyarakat
:
Rasulullah bersabda : “Tidaklah
beriman kepadaku orang yang tidur malam dalam keadaan kenyang, sementara
tetangganya kelaparan dan ia mengetahuinya.”[22]
Mencintai
teman :
Al Ghazali mengatakan, “Hendaknya seorang anak tidak
dibiarkan berbangga diri di depan teman-teman sebayanya dengan harta yang
dimiliki oleh orang tuanya atau dengan sesuatu dari makanannya, pakaiannya,
atau buku dan penanya. Akan tetapi, hendaklah anak dibiasakan bersikap rendah
diri, menghormati setiap orang yang bergaul dengannya, dan lemah lembut tutur
sapanya dengan mereka.” [23]
· Kewajiban
untuk tidak menelantarkan anak.
Rasulullah bersabda : “Bila ia
keluar karena berusaha mencari nafkah untuk anaknya yang masih kecil maka ia
berada di jalan Allah. Bila ia keluar mencari nafkah untuk dirinya maka ia
berada di jalan Allah. Dan bila ia keluar mencari nafkah karena ingin dilihat
atau sebagai kebanggaan maka ia berada di jalan setan.”
PERSAMAAN, PERBEDAAN,
KESELARASAN DAN KETIDAKSELARASAN
Dari uraian
tersebut di atas dapat diketahui persamaan dan perbedaan maupun keselarasan
ataupun ketidakselarasan antara UU Perlindungan Anak (untuk selanjutnya disebut
UUPA) dengan Hukum Islam tentang Hak dan Kewajiban Anak. Pada dasarnya antar kedua hukum tersebut
memiliki persamaan dan juga keselarasan antara ketentuan yang satu dengan
ketentuan lainnya. Penulis berpendapat bahwa pasal-pasal yang terkandung dalam
UUPA No. 23 tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban, pasal 4 sampai dengan pasal
19 tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Hak dan kewajiban yang diatur dalam UU a quo juga dijarkan dalam
syari’at Islam dan dijadikan sebagai norma-norma dasar sebagai landasan untuk
membentuk serta mempersiapkan generasi Islam.
Hanya saja ada
point penting yang perlu dibahas di sini yang mungkin bagi sebagian kelompok
diartikan sebagai suatu perbedaan dan ketidakselarasan. Point penting yang
Penulis maksud antara lain tentang definisi anak dan perlindungan anak itu
sendiri dan hak untuk mengetahui orang tuanya.
Hak dan kewajiban dalam kedua hukum tersebut dapat dikatakan sama dan
selaras jika tidak ada perbedaan dan pertentangan antara keduanya, paling tidak
keduanya sama dan selaras dalam aturan dan berbeda dalam obyek pelaku.
Perbedaan
“definisi anak” menurut Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002
dengan Hukum Islam.
Anak dalam pasal
1 butir 1 UUPA didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.[24]
Dasar pertimbangan penentuan batas usia
dalam UU ini mengacu kepada ketentuan dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Dalam definisi tersebut disebutkan bahwa anak
juga termasuk mereka yang masih dalam kandungan. Hal ini dimaksud bahwa anak yang masih dalam
kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingan anak memerlukan untuk itu,
sebaliknya dianggap tidak pernah ada apabila anak meninggal pada waktu
dilahirkan. Ketentuan ini juga penting
untuk mencegah adanya tindakan dari orang yang tidak bertanggung jawab terhadap
usaha penghilangan janin yang dikandung seseorang. Definisi anak dalam UUPA tidak dibatasi
dengan syarat “belum pernah kawin” berbeda dengan UU Kesejahteraan Anak dan
Pengadilan Anak yang tidak dibatasi “belum pernah kawin”.[25]
Nampaknya tidak
adanya pembatasan usia “belum pernah kawin” tersebut bukan tanpa tujuan. Dalam
penjelasan buku Perlindungan Anak disebutkan bahwa adanya ketentuan tersebut
tadi agar UU ini dapat memberikan perlindungan kepada anak secara utuh tanpa
adanya diskriminasi antara yang sudah kawin dengan yang pernah kawin dimana
persyaratan tersebut menekankan pada segi legalistiknya, sedangkan dalam
perlindungan anak penentuan batas usia anak lebih dititikberatkan pada aspek
untuk melindungi anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabatnya.[26]
Perbedaan UUPA
dengan Hukum Islam dalam definisi anak sangat terlihat jelas pengertiannya dalam
beberapa literatur fikih Islam. Anak dalam shari’at Islam didefinisikan sebagai
seseorang yang belum mencapai umur baligh.
Baligh dalam Islam dimaknai sebagai batasan umur seseorang yang sudah
dapat dipertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya secara hukum. Nabi saw bersabda :
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ : عَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ.
"Tuntutan
untuk mengamalkan syari'at tidak diberlakukan bagi tiga orang : (salah satunya) bagi anak kecil sampai dia keluar sperma " (HR. Abu
Daud dan Al-Baihaqi).
Atas
dasar hadis tersebut, di dalam banyak pembahasan fiqh Islam
disebutkan ciri-ciri balighnya seseorang dapat ditandai dengan datangnya haid
pertama pada perempuan dan keluar sperma bagi laki-laki atau mimpi jima’
(ihtilam).[27] Sedangkan
fakta empiris membuktikan bahwa terjadinya haid pertama pada perempuan juga keluarnya sperma bagi
laki-laki terjadi pada rata-rata usia anak di bawah 15 tahun. Dalam
Psikologi Perkembangan dijelaskan bahwa pada usia sekitar 10-14 tahun, individu
mengalami "bermimpi" (pollusio).[28]
Dari penjelasan
tersebut dapat diketahui bahwa usia anak-anak dalam shari’at Islam hanya
dibatasi sejak dalam kandungan (lihat al-Qur’an surat al-Isra 31 : ) sampai usia baligh. Akan tetapi hal ini menurut Penulis butuh
penjelasan secara khusus, karena kalau tidak batasan usia anak menurut Islam
dapat berpotensi menimbulkan konflik. Potensi
konflik yang dimaksud antara lain adalah ketika batasan usia tersebut
dikonversi ke dalam ketentuan Undang-undang Perkawinan. Islam sering dituduh
sebagai agama yang melegalkan perkawinan di bawah umur, perkawinan yang menurut
UNICEF sebagai praktek tradisi yang sangat berbahaya.[29]
Hampir setiap negara Muslim memperbaharui batasan usia anak sehubungan dengan
diratifikasinya batasan umur oleh Konvensi Hak Anak. Ada juga oleh karena
menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Tahir
Mahmood misalnya, menulis batasan-batasan usia perkawinan di beberapa negara
Muslim dengan sangat bervariatif. Ada batasan umur yang cukup tinggi seperti
negara Al-Jazair dan Banglades yang menetapkan 21 untuk pria dan 18 untuk
perempuan, ada juga batasan umur yang termasuk kategori sedang, seperti
Indonesia 19 bagi pria dan 16 bagi perempuan, dan batasan umur yang rendah seperti Libanon yang menetapkan 16
bagi pria dan 15 bagi perempuan, dll.[30]
Jadi dari kedua
perspektif hukum tadi dapat disimpulkan bahwa definisi anak menurut UUPA dan
Hukum Islam adalah seseorang yang ada sejak dalam kandungan, akan tetapi untuk batasan
umur tertinggi terdapat perbedaan yang cukup signifikan.
Perbedaan
tentang “anak berhak mengetahui orang tua kandungnya” menurut Undang-undang
Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 dengan Hukum Islam.
Dalam pasal 7 UUPA disebutkan bahwa anak berhak
mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
Penulis berpendapat bahwa UU ini mengandung kontradiksi dengan perundangan
lainnya yang berlaku di Indonesia. Bunyi
pasal tersebut mengandung penafsiran yang beragam, baik dalam teknik pelaksanaan
maupun dalam aturan tertulis. Banyak
aturan dalam segi teknik pelaksanaan yang tidak bisa sinkron dengan bunyi pasal
tersebut. Misalnya, seorang anak di
“luar nikah” tidak dapat mengurus akte kelahirannya, karena syarat pembuatan
akte kelahiran antara lain harus mencantumkan nama ayah biologisnya dalam
ikatan perkawinan yang sah. Anak luar nikah hasil pernikahan sirri, perzinahan,
perkosaan, ditambah anak adopsi tidak mungkin dapat mencantumkan ayah
kandungnya dalam akte kelahiran tersebut karena perundangan tidak memberi
peluang untuk itu. Contoh kongkrit
adalah pernikahan Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar dengan Moerdiono, anak
dari pasangan tersebut tidak dapat mencantumkan nama Moerdiono sebagai ayah
kandungnya karena pernikahan yang dilakukan adalah pernikahan sirri. Padahal kalau mengacu kepada UU Perkawinan
No. 1 tahun 1974 pasal 1 disebutkan bahwa pernikahan sah jika dilakukan menurut
agama dan kepercayaan yang dianut. Akan tetapi karena pernikahan tersebut tidak
dicatat maka akibatnya Muhammad Iqbal Ramadhan anak suami istri tersebut tidak
dapat mencantumkan Moerdiono sebagai ayah kandungnya. Oleh karena itu, pada tanggal 27 Februari
2012, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materil UU Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan: “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Namun, meskipun MK sudah memutuskan bahwa anak di
luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya, akan tetapi
Peraturan Pemerintah (PP) atas putusan tersebut belum disusun, dan putusan
tersebut tidak akan berarti apa-apa dalam pelaksanaannya jika PP tentang aturan
anak di luar nikah tidak ada, sebagaimana ketika MK belum memutuskan anak
mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Sebetulnya PP tersebut merupakan amanat dari
UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 43 butir 2, akan tetapi selama 35 tahun PP
tersebut tidak pernah dibuat atau terealisasi, yang pada akhirnya anak-anak di
“luar nikah” tidak pernah terlindungi karena tidak ada payung hukum. Oleh
karena itu, Penulis sungguh sangat berharap supaya Kementerian Agama yang
memiliki kewenangan dalam membuat PP tersebut dengan sungguh-sungguh
memperhatikan amanat tersebut.
Permasalahan lain yang juga anak
sering kali tidak dapat mengetahui orang tua biologisnya karena berlakunya
suatu undang-undang yaitu pengangkatan anak atau adopsi anak. Adopsi anak dalam
prakteknya adalah memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandungnya. Dalam Staatsblad
1917 : 129, bab II pasal 7 [2] menyatakan bahwa anak angkat mempunyai kedudukan
yang sama dengan anak kandung. Bunyi lengkapnya sebagai berikut :
“Dalam hal yang
diangkat adalah seorang anggota keluarga, baik anak sah maupun anak di luar
nikah, maka hubungan keturunannya haruslah sama derajatnya seperti halnya
derajat yang ia peroleh karena keturunan”.[31]
Akibat hukum yang ditimbulkan dari
persamaan kedudukan antara anak kandung dengan anak angkat sebagaimana yang
tercantum dalam Staatsblad tersebut,
adalah sebagai berikut :
1.
Anak
angkat secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat (pasal 11).
2.
Anak
angkat dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat
(pasal 12 ayat 1).
3.
Anak
angkat menjadi ahli waris orang tua angkat.
4.
Karena
pengangkatan anak, terputus segala hubungan perdata yang berpangkal pada
keturunan karena kelahiran (antara anak dengan orang tua kandung).[32]
Dari
penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pada prakteknya anak angkat dapat
kehilangan haknya untuk mengetahui orang tua biologisnya karena nama yang
diperoleh bukan nama ayah kandungnya melainkan ayah adoptan. Adopsi ini sangat
berbeda dengan pengangkatan anak secara adat. Biasanya pengangkatan anak secara
adat tidak sampai memutuskan hubungan nasab karena masing-masing orang tua,
baik kandung maupun orang tua angkat sama-sama tahu, punya tujuan untuk
menolong, dan biasanya berasal dari keluarganya sendiri.
Cara-cara
dan syarat-syarat pengangkatan anak secara adat memiliki perbedaan. Misalnya di
Jawa Tengah, cara pengangkatan anak dengan dididik, diasuh, dirawat seperti
anak sendiri, sampai dikawinkan oleh orang tua angkatnya, sedangkan di
Bali/Denpasar syaratnya harus bertempat tinggal sampai beranak cucu di rumah
adoptan, dan turut mengabenkan dan memelihara sangrah (tempat pemujaan).[33] Menurut penelitian, di Jawa
Barat akibat pengangkatan anak membawa suatu akibat hukum yang penting yaitu
bahwa pengangkatan anak tidak dapat dibatalkan sepihak baik oleh orang tua
angkat maupun orang tua kandung.[34] Di Tanah Toraja sebaliknya, di
sana pengangkatan anak dapat dibatalkan, baik dengan mengusir anak yang
bersangkutan atau dengan kembalinya anak yang bersangkutan kepada orang tua
asalnya.[35]
Dari kedua contoh
tersebut Penulis berpendapat bahwa anak secara konstitusi dirugikan dengan
berlakunya suatu undang-undang, yang dalam hal ini anak sulit untuk mengetahui
seluk beluk dirinya karena pemberlakuan suatu undang-undang. Padahal jika mengacu kepada UUPA yang telah
disebutkan tadi anak mempunyai hak yang tidak boleh diabaikan, sebagai bentuk
perlindungan negara terhadap anak.
Memang konsep yang ideal belum tentu diikuti oleh pelaksanaan yang ideal
pula, hanya saja dengan adanya UUPA masyarakat Indonesia boleh bernapas lega,
karena setidaknya sudah ada payung hukum walaupun masih banyak yang harus
disempurnakan.
Hukum Islam dalam
hal ini mempunyai aturan tersendiri. Untuk masalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya serta keluarga
ibunya, Penulis mempunyai pendapat lain berdasarkan dalil-dalil shar’i. Dalam UUPA pasal 43 ayat 1 jo KHI pasal 100,
memang anak yang lahir di luar pernikahan yang sah memiliki hubungan perdata
dengan ibunya (sebelum diuji oleh MK), keputusan MK yang mensahkan adanya
hubungan perdata juga dengan ayah biologisnya ditanggapi keras oleh sebagian
masyarakat muslim Indonesia terutama MUI, MK dianggap sudah menetapkan
keputusan di luar shari’at Islam. Atas reaksi tersebut Penulis berpendapat
bahwa sesungguhnya apa yang diyakini oleh sebagian umat Islam merupakan bagian dari ihktilaf. Dalam literatur fikih Syafi’i anak zina
memiliki hubungan perdata dengan ibunya, sedangkan fikih Abu Hanifah anak zina
memiliki hubungan perdata dengan ayahnya, hal tesebut karena terdapat perbedaan
dalam mendefinisikan nikah, yang pada akhirnya berbeda memahami teks nash, baik
al-Qur’an maupun Hadis. Kemudian, jika MK mempunyai pendapat lain yaitu anak
hasil zina mempunyai hubungan terhadap kedua-duanya (ibu dan ayah biologis),
sungguh sebuah logika yang sangat mudah dipahami. Karena hadis yang menyatakan “anak milik
tempat tidur” itu bisa bermakna kedua-duanya yaitu ayah dan ibunya, karena yang
tidur di tempat tersebut dua-duanya. Jadi ditinjau dari hukum Islam anak dapat
mengetahui dan mengakui adanya hubungan perdata dengan orang tua biologisnya.
Untuk masalah anak
adopsi, Islam sudah menjawab dalam al-Qur’an bahwa seorang anak harus
dinasabkan kepada ayah kandungnya bukan kepada ayah angkatnya. Islam melarang
memutuskan hubungan darah yang berarti tidak boleh menghilangkan seluk beluk si
anak. Allah berfirman dalam al-Qur’an : “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil dari sisi Allah. Dan
jika mereka tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggilah mereka sebagai
saudara-saudaramu saagama dan maula-maulamu.
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf terhadapnya, tetapi apa
yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha
penyayang”. (Surat Al-Ahzab 33 : 5)
KESIMPULAN
Hak dan kewajiban anak menurut UU No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dalam perspektif Islam memiliki persamaan dan
keselarasan. Sebagian besar pasal yang
terdapat dalam pasal 4 sampai pasal 19 UU a quo memiliki keselarasan
dengan hukum Islam dan tidak bertentangan dengan kandungan hukum Islam. Hanya saja dalam definisi tentang anak, UUPA
tidak sama dengan definisi hukum Islam.
Definisi anak dalam UUPA dimulai sejak anak dalam usia kandungan sampai
usia 18 tahun, sedangkan dalam hukum Islam anak dimulai sejak dalam kandungan
sampai usia baligh.
Perbedaan selanjutnya terdapat dalam pasal 7 UUPA
tentang “anak berhak mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang
tuanya sendiri”. Dalam teks secara
tertulis memang tidak ada hal yang dianggap bertentangan dengan Islam akan
tetapi, dalam pelaksanaannya anak-anak sering tidak memperoleh haknya untuk
mengetahui siapa orang tua sesungguhnya, hal ini disebabkan karena berlakunya
undang-undang yang secara substansial bertentangan dengan pemberlakuan UUPA,
sebagaimana dicontohkan dalam uraian tersebut mengenai pembuatan akte kelahiran
serta proses pengangkatan anak (adopsi anak).
-----------------------------------------------------
[1] Komisi Perlindungan Anak
Indonesia. Pelatihan Aparat Penegak Hukum tentang Perlindungan Anak, (Jakarta
: KPAI), h. 20.
[2] Komisi Perlindungan Anak
Indonesia. Perlindungan Anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Jakarta : KPAI), h. 1.
[3]
Komisi Perlindungan Anak
Indonesia. Perlindungan Anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, h. 2.
[4] UU RI No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen
Sosial, h. 16-20.
[5] Muslim, Kitab Fadhail, No. 4296.
[6] Muttafaq Alaih.
[8] Ibrahim Hosen. Fiqh
Perbandingan, Jakarta : Balai Penerbitan & Perpustakaan Islam Yayasan Ihya
Ulumuddin Indonesia, Jilid 1, 1971, h. 68.
[9]
Ibrahim Hosen, h. 69.
[10] Ibrohim
Hosen, h. 70.
[11]
Shahih, Adabul Mufrad, 566.
[12] Shahih
Al Jami’, 2199.
[13] Sayyid Sabiq. Fikih Sunah (Jakarta:
Penerbit Pena), 2006, Jilid 4.
[14]
Shahih Al Jami’, 6021
[15]
Musnad Asy Syamiyyin: II, 355.
[16]
Muslim, Kitab Birri wash Shilah, No. 4729.
[17] At Turmidzi,
Kitab Barri wash Shilah, 1839 dan Abu Dawud, Kitab Adab, 4481.
[18] Shahih, Adabul Mufrad, 566
[19]
Ahmad, Musnad Anshar, 21693.
[20]
Bukhari, Kitab Maghazi, 3678.
[21] Ibn[21]
Shahih Al Jami’, 5505
[22]
Abdil Bar, At Tamhid:
XXIII, 204
[23]
Ihya ‘Ulumuddin
[24] UU
RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, h. 13.
[25] Komisi Perlindungan Anak
Indonesia. Perlindungan Anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002, h.7-8.
[26]
Komisi Perlindungan Anak
Indonesia. Perlindungan Anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002, h.8.
[27] Muhammadiyah Djafar. Pedoman
Ibadah Muslim dalam Empat Madzhab Sunni dan dalil-dalilnya, Jawa Timur :
GBI (Anggota IKAPI), 1993, Cet-1, hal 6.
[29] Lihat UNICEF. Early Marriage : A Harmful
Traditional Practice, New York : United Nations, 2005.
[30] Tahir Mahmood. Personal Law in Islamic
Countries, (Tripathi : New Delhi), 1987 hlm. 270.
[32] M. Budiarto, h. 21.
[33] J. Satrio. Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak Angkat dalam Undang-undang,
(Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti, 2000) Cet. I, h. 266.
[34] Rd. Soepomo. Hukum Perdata
Adat Jawa Barat, (Jakarta : Djambatan) 1982, Cet-II, h. 29.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Masukan Kritik dan Saran Anda