Sekertariat Negara RI |
Abstrak :
Diskursus mengenai surrogate mother (ibu pengganti/sewa rahim)
merupakan diskursus yang masih banyak diperbincangan dalam bidang teknologi
kedokteran. Salah satu hal yang menarik adalah karena praktek sewa rahim banyak
menggugat kemapanan struktur sosial di masyarakat antara lain dengan hadirnya
bayi-bayi mungil hasil persenyawaan suami istri yang dititipkan pada seorang
perempuan serta tidak terikat hubungan pernikahan dengan suami dari istri
tadi. Praktek sewa rahim ini mempunyai
indikasi pelanggaran terhadap hak-hak anak secara berantai, mulai dari hak
hidup sampai dengan hak waris dan nasab. Banyak negara yang melegalkan akan tetapi
banyak juga yang melarang. Demikian juga para ulama, ada yang menghalalkan
dengan syarat tertentu dan ada yang mengharamkan tanpa syarat apapun.
Key words : Surrogate mother, Perundang-undangan, Hak Asasi Anak,
Hukum Islam, Ulama, Pakar, Pro-kontra.
Perkembangan teknologi di bidang
kedokteran, telah menemukan metode baru yaitu inseminasi buatan yang
dikenal dengan sebutan in vitro fertilization (program bayi
tabung). Teknologi kedokteran ini ditemukan pada tahun 1970-an yang
dikembangkan dengan tujuan untuk mengatasi masalah bagi pasangan suami istri
yang tidak bisa mendapatkan keturunan (mandul). Sejalan dengan pembuahan in
virto fertilization (IVF) yang semakin pesat, muncul ide surrogate
mother (ibu pengganti/sewa rahim/gestational agreement) yaitu
wanita yang bersedia disewa rahimnya, dengan suatu perjanjian untuk mengandung,
melahirkan, dan menyerahkan kembali bayinya dengan imbalan sejumlah materi
kepada pasangan suami istri yang tidak bisa mempunyai keturunan karena istri
tersebut tidak bisa mengandung.
Ditinjau dari aspek teknologi dan
ekonomi proses surrogate mother ini cukup menjanjikan terhadap
penanggulangan beberapa kasus infertilitas, tetapi ternyata proses ini
terkendala oleh aturan perundang-undangan yang berlaku serta pertimbangan
etika, norma-norma yang berlaku di Indonesia. Begitu juga dengan perjanjian
yang dibuat, apakah bisa berlaku berdasarkan hukum perikatan nasional,
terlebih-lebih objek yang diperjanjikan sangatlah tidak lazim, yaitu rahim,
baik sebagai benda maupun difungsikan sebagai jasa.[1]
Praktek surrogate mother atau
lazim diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan ibu pengganti/sewa rahim
tergolong metode atau upaya kehamilan di luar cara yang alamiah. Dalam hukum
Indonesia, praktek ibu pengganti secara implisit tidak diperbolehkan. Dalam
pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) diatur bahwa
upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh
pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :
a) hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri
yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu;
Hal ini berarti bahwa metode atau
kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan,
termasuk ibu pengganti (surrogate mother), secara hukum tidak dapat
dilakukan di Indonesia. Larangan ini juga termuat dalam pasal 16 UU Nomor
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (lama), yang menegaskan bahwa kehamilan di luar
cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri
mendapat keturunan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :
73/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi
Buatan : Pasal 4, juga menegaskan bahwa pelayanan teknologi reproduksi buatan
hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang
sah dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan
suatu indikasi medik. Dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut,
terdapat kesamaan yang menegaskan bahwa bayi tabung yang diperbolehkan hanya
kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel
telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim isteri
bukan wanita lain atau menyewa rahim. Bagi masyarakat yang hendak melakukannya
(surrogate mother), diancam sangsi pidana (pasal 82 UU No. 23 Tahun
1992). Hal ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak
sah dari pasangan suami isteri tersebut.[3]
Bentuk-bentuk Penyewaan Rahim [4]
1. Benih
isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian dimasukkan ke
dalam rahim wanita lain. Kaedah ini digunakan dalam keadaan isteri
memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya dibuang karena pembedahan, kecacatan
yang terus, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain.
2. Sama
dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan
dibekukan dan dimasukkan ke dalam rahim ibu tumpang selepas kematian pasangan
suami isteri itu.
3. Ovum
isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan
ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini apabila suami mandul dan isteri
ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih isteri dalam keadaan
baik.
4. Sperma
suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim
wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila isteri ditimpa penyakit pada
ovarium dan rahimnya tidak mampu memikul tugas kehamilan, atau isteri telah
mencapai tahap putus haid (menopause).
5. Sperma
suami dan ovum isteri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri
yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup
mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.
Latar Belakang Terjadinya Sewa
Rahim
Sewa rahim biasanya
dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, di antaranya adalah :
1. Seorang
perempuan atau seorang istri tidak mempunyai harapan untuk mengandung secara
normal karena memiliki penyakit atau kecacatan yang dapat menghalanginya dari
mengandung dan melahirkan anak.
2. Seorang
perempuan tidak memiliki rahim akibat tindakan operasi pembedahan rahim.
3. Perempuan
tersebut ingin memiliki anak tetapi tidak mau memikul beban kehamilan,
melahirkan dan menyusukan anak dan ingin menjaga kecantikan tubuh badannya.
4. Perempuan
yang ingin memiliki anak tetapi masa haidnya telah putus haid (menopause).
5. Perempuan
yang menjadikan rahimnya sebagai alat komoditi dalam mencari nafkah dan
memenuhi kebutuhan ekonominya.
Sewa Rahim dalam Tinjauan
Hukum Perdata
Sewa menyewa rahim pada
prakteknya sangat berhubungan dengan hukum perjanjian atau perikatan.
Menurut pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian didefinisikan sebagai sesuatu
perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya kepada
seorang atau beberapa orang lain. Dengan kata lain masing-masing orang
yang mengadakan perjanjian mempunyai keterikatan, mengikatkan diri pada sebuah
perjanjian. Kemudian pada pasal 1233 KUH Perdata, perikatan ditegaskan
sebagai sesuatu yang dilahirkan karena perjanjian maupun undang-undang.
Karena itu, berdasarkan kedua pasal tersebut semua yang tercantum atau
diperjanjikan merupakan undang-undang bagi mereka dan termasuk kepada unsur
perjanjian.
Selain itu, untuk mengetahui sahnya
suatu perjanjian maka persyaratan dari suatu perjanjian harus dipenuhi oleh
para pihak. Dalam pasal 1320 syarat sahnya suatu perjanjian meliputi
bebarapa hal antara lain : [5]
1. Kesepakatan
mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu
pokok persoalan tertentu.
4. Suatu
sebab yang tidak terlarang.
Menurut Desriza Ratman,
perjanjian pada praktik surrogate mother dianggap tidak sah
jika tidak memenuhi salah satu persyaratan tersebut, antara lain persyaratan
tentang adanya sebab yang halal. Surrogate mother dinyatakan
tidak sah dengan alasan tersebut dengan dalil sebagai berikut : [6]
1. Melanggar
peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif):
a. UU RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 127 ayat (1) yang berbunyi: upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya
dapat dilakukan oleh pasangan suami-istri yang sah dengan ketentuan:
1) Hasil
pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam
rahim istri dari mana ovum berasal;
2) Dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
3) Pada
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
b. Permenkes RI No.73/Menkes/PER/II/1999 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan.
1) Pasal 4 : Pelayanan teknologi reproduksi buatan
hanya dapat diberikan kepada pasangan suami isteri yang terikat perkawinan yang
sah dan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan pada
suatu indikasi medik.
2)
Pasal 10 :
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenakan tindakan administratif.
(2)
Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa peringatan sampai dengan pencabutan izin penyelenggaraan
pelayanan teknologi reproduksi buatan.
c. SK Dirjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 tentang
Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di RS, terdapat 10 pedoman:
1)
Pelayanan teknologi buatan hanya dapat dilakukan
dengan sel telur dan sperma suami istri yang bersangkutan; (pedoman no.1)
2) Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian
dari pelayanan infertilitas sehingga kerangka pelayanan merupakan bagian dari
pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan; (pedoman no.2)
3) Dilarang melakukan surrogacy dalam
bentuk apapun; (pedoman no.4)
2. Bertentangan
dengan kesusilaan:
a. Tidak sesuai dengan norma moral dan adat
istiadat atau kebiasaan umumnya masyarakat Indonesia atau di lingkungannya.
b. Bertentangan dengan kepercayaan yang dianut
salah satu agama (Islam) karena terdapat unsur pokok yang mengharamkan praktik surrogate
mother, yaitu unsur zina.
3. Bertentangan
dengan ketertiban umum:
a. Akan menjadi pergunjingan di dalam masyarakat
sehingga wanita surrogate besar kemungkinan akan dikucilkan
dari pergaulan.
b. Terlebih lagi bila status dari wanita surrogate
mother adalah gadis atau janda.
4. Point
1,2, dan 3 diperkuat dengan pasal 1339 KUH Perdata, yang berbunyi “perjanjian-perjanjian
tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan sengaja tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian,
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang” sehingga
pasal ini menyatakan bahwa dalam menentukan suatu perjanjian, para pihak tidak
hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian
tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
5. Bertentangan
juga terhadap pokok-pokok perjanjian atau perikatannya itu sendiri, di mana
rahim itu bukanlah suatu benda (hukum kebendaan) dan tidak dapat disewakan
(hukum sewa-menyewa) yang terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH
Perdata).
Pakar hukum Universitas Indonesia
(UI) Rudi Satrio mengatakan anak hasil bayi tabung merupakan anak sah. Namun
jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka
secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan
pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250
KUH Perdata.
Sewa Rahim ditinjau dari Hak
Asasi Anak
Anak adalah makhluk Tuhan yang memiliki hak sebagaimana hak yang dimiliki orang
dewasa. Hak anak setara dengan hak orang dewasa. Akan tetapi dalam kasus
penyewaan rahim anak diperlakukan sebagaimana barang atau benda yang dapat
berpindah dari ibu yang satu ke ibu yang lain. Hak anak untuk mendapatkan
kasih sayang dari ibu yang melahirkan hilang karena tergerus oleh perjanjian
orang dewasa, yang satu bermotif ekonomi dan yang lainya bermaksud memenuhi
segala macam keinginannya yang tidak mampu ia dapatkan. Akibat dari tarik
menarik dua kehendak ini, anak dijadikan sebagai obyek “perdagangan”.
Praktek sewa rahim atau ibu
pengganti tidak disadari sudah menghancurkan masa depan kehidupan
manusia. Bagaimana mungkin seorang ibu tega memberikan bayi yang
dikandung dan dilahirkannya kepada orang lain, padahal ia sudah mempertaruhkan
nyawanya sendiri. Dari beberapa indikasi terjadinya praktek sewa rahim
latar belakang ekonomilah yang paling kuat melandasi praktek sewa rahim
tersebut, sehingga untuk mengadakan perjanjian tidak mempertimbangkan
akibat-akibat yang mungkin akan dialaminya, baik bagi dirinya sediri maupun
bagi bayi yang akan dilahirkannya kelak.
Dalam kasus sewa rahim terdapat
sederet pelanggaran terhadap hak asasi anak. Hak tersebut dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa pelanggaran :
1.
Penelantaran :
a. Anak kehilangan kasih sayang, anak yang
dilahirkan oleh “si ibu sewa” tidak mendapatkan kasih sayang dari ibu
kandungnya sendiri.
b. Anak tidak mengetahui orang tuanya, dibesarkan
dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
c.
Anak disuramkan asal usulnya.
d.
Anak dipisahkan dari ibu kandungnya.
2.
Perlakuan salah :
a. Anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum
antara lain tidak dilahirkan di luar pernikahan sah, baik menurut agama maupun
negara.
b.
Anak dieksploitasi secara ekonomi.
c.
Anak membawa beban psikologi yang berat.
Dalam prakteknya, sewa rahim atau
ibu pengganti membuka peluang lebar adanya anak yang dilahirkan di luar nikah.
Seorang gadis atau janda yang bersedia untuk melahirkan tanpa nikah dan hanya
disewa rahimnya saja, dapat membawa dampak buruk serta penderitaan terhadap
masa depan anak, di antaranya adalah :
1. Anak
terlahir dengan status “anak di luar nikah”.
2. Anak
kehilangan hak waris orang tua kandungnya.
3. Anak
mendapat stigma buruk di masyarakat.
4. Anak tersebut
dapat disangkal oleh orang tua kandungnya maupun oleh orang tua titipan.
Mengenai point 4 di atas tadi,
Penulis berpendapat bahwa dalam pelaksanaannya anak yang dihasilkan dari proses
sewa rahim, sangat memungkinkan adanya penolakan atau sangkalan dari dua pihak
sekaligus. Pertama dari orang tua kandung, kedua dari orang tua biologis
(yang punya benih). Di bawah ini akan Penulis kemukakan beberapa
kemungkinan terjadinya penolakan anak :
1. Jika
anak terlahir dari ibu kandung (yang disewa rahimnya) dan status ibu tersebut
tidak terikat oleh suatu perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkannya itu
dapat saja ditolak oleh ayah biologisnya (penitip sperma) karena biaya yang
dijanjikan ternyata tidak ada, apalagi jika anak tersebut terlahir dalam
keadaan cacat, dengan dalil bahwa anak tersebut bukan anaknya karena tidak
terlahir dalam ikatan perkawinan yang sah. Pasal 42 UU Perkawinan No. 1
tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian pasal 250 KUH
Perdata menyatakan bahwa anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama
perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya.
2. Jika
anak terlahir dari ibu kandung (yang disewa rahimnya) dan status ibu tersebut
terikat oleh suatu perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkannya itu dapat
ditolak oleh suami dari ibu tersebut. Dengan dalil pasal 44 UU Perkawinan
No. 1 tahun 1974 yang berbunyi :
1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang
dilahirkan oleh istrinya bila ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina
dan anak itu akibat daripada perzinaan.
2) Pengadilan memberikan keputusan tentang
sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Dari penjelasan tersebut dapat
diketahui bahwasanya begitu menderitanya anak yang dilahirkan melalui praktek
sewa rahim atau ibu pengganti. Anak dapat kehilangan statusnya sesaat setelah
dilahirkan sekaligus kehilangan hak-haknya sebagai manusia.
Sewa Rahim Menurut Pandangan
Hukum Islam
Perdebatan di seputar sewa
menyewa rahim atau ibu pengganti menjadi perdebatan panjang di kalangan
masyarakat, baik muslim maupun non muslim. Hal ini antara lain disebabkan
karena hukum bayi tabung, tidak ada pembahasannya dalam nash maupun kitab-kitab
klasik. Dalam masyarakat Islam sehubungan dengan permasalahan ini, ada
dua kelompok yang memiliki perbedaan pendapat yaitu kelompok yang mendukung
atau membolehkan serta kelompok yang menolak atau mengharamkan. Di antara
pendapat-pendapat tersebut antara lain adalah :
a. Pendapat
yang menolak atau mengharamkan yaitu :
1. Ibrahim Hosein, mantan Ketua Fatwa MUI
mengatakan bahwa inseminasi buatan dan bayi tabung dengan sperma dan sel telur
berasal dari pasangan suami istri, proses kehamilan tidak dalam rahim wanita
atau sel telur dari donor, atau benihnya dari pasangan suami isteri tetapi
embrio itu diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain, maka pelaksanaan
inseminasi buatan dan bayi tabung demikian itu tidak dapat dibenarkan oleh
hukum Islam.
2. Asy-Syaikh ‘Ali At-Thantawi menyatakan bahwa
bayi tabung yang menggunakan wanita pengganti itu jelas tidak dibenarkan,
karena menurut beliau rahim wanita bukanlah panci dapur yang isinya bisa
dipindahkan sekehendak hati dari yang satu ke yang lainnya, karena rahim wanita
yang mengandung memiliki andil dalam proses pembentukan dan penumbuhan janin
yang mengkonsumsi zat makanan dari darah ibunya.
b. Pendapat
yang membolehkan penggunaan sewa rahim, yakni:
1. Ali Akbar menyatakan bahwa : menitipkan bayi tabung
pada wanita yang bukan ibunya boleh, karena si ibu tidak menghamilkannya, sebab
rahimnya mengalami gangguan, sedangkan menyusukan anak wanita lain dibolehkan
dalam Islam, malah boleh diupahkan. Maka boleh pulalah memberikan upah kepada
wanita yang meminjamkan rahimnya.
2.
H. Salim Dimyati berpendapat : bayi tabung yang
menggunakan sel telur dan sperma dari suami istri yang sah, lalu embrionya
dititipkan kepada ibu yang lain (ibu pengganti), maka apa yang dilahirkannya
tidak lebih hanya anak angkat belaka, tidak ada hak mewarisi dan diwarisi,
sebab anak angkat bukanlah anak sendiri, tidak boleh disamakan dengan anak
kandung. Pendapat di atas menyamakan status anak yang dilahirkan melalui
sewa rahim dengan anak angkat, yang tidak mempunyai hak untuk mewarisi dan
diwarisi.
Diskursus tentang Penentuan
Orang yang Paling Berhak Atas Anak
Selain
perdebatan di masyarakat umum, ada pula perdebatan di kalangan ulama yang
yang mempersoalkan siapa
sesungguhnya ibu yang paling berhak atas pengakuan terhadap si anak.
Mengenai masalah ini, menarik kiranya Penulis tampilkan tulisannya Radin Seri
Nabahah bt. Ahmad Zabidi dalam sebuah makalah yang berjudul Penyewaan Rahim Menurut
Hukum Islam, mengenai penentuan nasab anak terhadap ibu yang sebenarnya : [7]
Pendapat pertama :
Termasuk golongan ini antaranya,
Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Abdul Hafiz Hilmi, Dr. Mustafa Al-Zarqa, Dr.
Zakaria Al-Bari, Dr. Muhammad As-Surtowi Dekan Fakultas Syariah University
Jordan dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada si ibu
pemilik benih, manakala ibu yang mengandung dan melahirkan itu seumpama ibu
susuan yang tidak dinasabkan anak padanya, sekedar dikuatkan atas hukum
penyusuan. Pendapat ini dibina di atas asas bahwa perseyawaan benih di
antara benih suami istri yang diikat oleh ikatan perkawinan yang sah, maka
janin itu dinasabkan kepada mereka. Manakala ibu tumpang tersebut
berfungsi sebagai ibu susuan karena ibu susuan memberi minum susunya,
lebih-lebih lagi ibu tumpang dimana anak tersebut mendapat makanan dari darahnya
sejak awal pembentukan hingga sempurna kejadian sebagai seorang bayi dan lahir.
Oleh karena itu, ibu tumpang tersebut dihukumkan sebagai ibu susuan.
Di samping itu, ciri-ciri diri
manusia dan sifat yang diwarisinya ditentukan oleh mani dan benih ibu bapaknya,
bukan ibu yang mengandung dan melahirkannya, kerena ibu tumpang hanya tempat
bergantung dan numpang membesar. Hujah ini juga merupakan hujah kebanyakan
doktor.
Pendapat kedua :
Menurut sebahagian besar
para ulama’ dan pengkaji di antaranya Sheikh Abdullah bin Zaid Ali Mahmud, Dr.
Muhammad Yusuf Al-Muhammadi, Sheikh Muhammad Al-Khudri, Qadi Mahkamah Agung di
Riyadh dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa ibu sebenarnya adalah seseorang
yang mengandungkan bayi dan melahirkannya, manakala ibu pemilik benih itu
seumpama ibu susuan. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada ibu yang
melahirkannya karena nasab anak ditentukan berdasarkan tiga perkara yaitu
wanita yang melahirkannya, pengakuan suami, dan saksi. Tiga hal itu, menjadikan
seorang ibu yang melahirkan anak tersebut akan dapat mewarisi harta, dan anak
itu dinasabkan kepada suaminya, kerana الولد للفراش (anak
adalah untuk suami) berdasarkan kaedah syara’ yang diambil dari hadis
Rasulullah saw.
Diskursus Mengenai Nasab dari
Jalur Bapak
Kemudian diskursus yang lainnya
mengenai Nasab anak dari jalur bapak, bapak yang mana yang berhak dinasabkan
oleh anak tersebut. Di bawah ini kembali Penulis tampilkan tulisannya
Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi dalam sebuah makalah yang berjudul
Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam mengenai masalah tersebut :[8]
Dalam persoalan ini, para ulama
terbagi kepada dua pendapat besar yaitu :
Pendapat pertama :
Golongan ini berpendapat bahwa
anak dinasabkan kepada suami ibu tumpang pemilik rahim yang melahirkan anak
tersebut, sekalipun beliau tidak memiliki hubungan apa-apa dilihat dari
sudut genetik. Mereka berhujah bersandarkan hadis Rasulullah saw :
عن
عا ئشة ان النبي صلى الله عليه وسلم قال : الولد للفرا ش وللعاهر الحجر
Artinya : “Anak
dinasabkan kepada bapaknya, dan bagi pezina terhalang.”[9]
Hadis ini merupakan dalil nas
yang digunakan untuk menentukan hukuman seorang hakim dan merupakan kaedah umum
shara’ dalam menetapkan haramnya pernikahan dan cara untuk menentukan
nasab bagi seseorang anak. Oleh karena itu, apabila ibu tumpang mempunyai suami
kemudian melahirkan anak dari rahimnya, ini berarti anak tersebut dinasabkan
kepada suami dari isteri yang melahirkan anak tersebut, sekalipun tidak
memiliki hubungan genetik.
Pendapat kedua :
Termasuk dalam golongan ini ialah
Al-Mujamma’ Al-Fiqhi Al-Islami yang berpusat di Makkatul Mukarramah, dan
lain-lain antaranya Sheikh Mustafa Az-Zarqa, Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr.
Muhammad Al-hafiz Hilmi, dan Dr. Hashim Jamil. Golongan ini berpendapat bahwa
anak yang dilahirkan dinasabkan kepada suami wanita pemilik benih yang
disewakan tadi, dan tidak dinasabkan kepada suami pemilik rahim. Ini
adalah kerana penyewaan rahim dilakukan di atas dasar persenyawaan benih di
antara kedua suami isteri, kemudian benih yang telah disenyawa tadi dimasukkan
ke dalam rahim wanita lain. Oleh karena itu, janin tersebut terbina dari benih
keduanya yang memiliki ikatan perkawinan yang sah. Justru, anak itu dinasabkan
kepada mereka berdua selagi kedudukan mereka dalam keadaan ini. Walaupun
penyewaan rahim ini haram dari segi shara’, tapi tidak menjadi penghalang bagi
dinasabkannya anak itu kepada mereka, karena pengharaman ini adalah disebabkan
mereka menggunakan rahim wanita lain yang tidak benar secara shar’i. Hal
ini dikarenakan dari segi saintifik, janin yang telah disenyawakan tidak
terkesan dari rahim selain tumpang dalam memberikan makanan untuk tumbuh
menjadi besar, sedangkan sifat-sifat genetik berasal dari pemilik benih asal
ovum dan sperma tadi. Hal tersebut diumpamakan seperti kedua ibu bapak
yang memberi makanan anaknya dengan makanan yang haram sehingga dewasa,
kedua-dua ibu bapaknya berdosa, tetapi hal ini tidak sampai memutuskan
hubungan antara mereka.
Pendapat ketiga :
Golongan ini berpendapat bahwa
pemilik benih tidak memiliki hak apapun, dan benihnya dianggap sia-sia.
Mereka berhujah dengan kisah anak Zam’ah karena Rasulullah saw telah meletakkan
bahwa anak itu adalah anak Zam’ah sekalipun jelas bahawa dia bukan anak Zam’ah
dari segi zahirnya berdasarkan الولد
للفراش .
Dalam hal ini, hakikat penentuan hukum berdasarkan kepada zahir karena
hakikat sebenarnya hanya Allah–lah yang tahu. Pendapat ini mengatakan
bahwa tidak ada nilai bagi pemilik benih ataupun mani dalam beberapa keadaan
karena penentuannya mestilah berdasarkan kepada penentuan shar’i yang
sah. Hujah ini dijawab bahwa keadaan penyewaan rahim berbeda dengan
kisah anak Zam’ah karena dalam kisah anak Zam’ah tersebut, janin itu terhasil
dari percampuran air mani antara dua orang lelaki dan perempuan tanpa ikatan
yang sah, oleh sebab itu anak itu tidak dinasabkan kepada lelaki itu (‘Atabah).
Sedangkan dalam penyewaan rahim, persenyawaan benih berlaku antara dua
orang pasangan suami istri yang diikat oleh ikatan yang sah, maka anak itu
dinasabkan kepada mereka.
Syarat-syarat terjadinya
Penyewaan Rahim
Yusuf Al-Qardhawi berpendapat
bahwa syarat-syarat penyewaan rahim jika hukum ini sampai diberlakukan dan demi
untuk mengurangi kemudaratan serta meringankan antara lain sebagai berikut : [10]
1. Ibu tumpang itu mestilah wanita yang bersuami,
bukan anak gadis atau janda.
2. Wanita itu juga wajib mendapatkan izin suaminya,
kerana kehamilan akan menghalanginya memberikan beberapa hak suaminya selama
waktu kehamilan dan nifas seperti hubungan seks dan sebagainya.
3. Wajib bagi ibu tumpang beriddah dari suaminya,
untuk menghilangkan keragu-raguan masih terdapatnya benih yang disenyawakan
pada rahimnya yang akan menyebabkan berlaku percampuran nasab.
4. Nafkah ibu tumpang, biaya perawatan dan
pemeliharaannya sewaktu masa kehamilan dan nifas adalah tanggung jawab suami
pemilik benih, atau wali sesudahnya, karena janin tersebut tumbuh akibat dari
darahnya. Justru, wajib bagi bapak tersebut membayar kadar kehilangan
darah itu.
5. Hukum penyusuan semuanya mengikuti pada ibu
tumpang dengan menggunakan ‘qias aula’, karena ibu tumpang lebih berat
tanggungannya dari pada ibu susuan, kecuali suami ibu tumpang tersebut tidak
dikira sebagai bapak susuan kepada bayi itu. Ini karena bapak susuan dikira
sebagai bapak bagi anak susuannya karena susu itu dapat dihasilkan apabila ibu
susuan itu melahirkan anak hasil hubungan mereka suami isteri, berbeda dengan
suami ibu tumpang yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan bayi yang
dilahirkan.
6. Ibu tumpang berhak untuk menyusukan bayi itu
jika ingin berbuat demikian karena membiarkan susu pada badannya akan
memudaratkan fisik, sebagaimana perasaannya juga terkesan apabila anak itu
diambil dari padanya karena Allah menjadikan penyusuan itu berkaitan dengan
proses kelahiran.
7. Akhirnya, Yusuf Al-Qaradhawi menyatakan
pendapatnya bahwa wajar bagi ibu tumpang ini mendapat keistimewaan yang lebih
dibandingkan ibu susuan, seumpama nafkah dari anak ini diberikan kepada ibu
yang melahirkannya jika berkemampuan dan ibunya berhajat kepada nafkah kelak.
Posisi Sewa Rahim atau Ibu
Pengganti di Indonesia
Walaupun teknologi kedokteran di
bidang infertilisasi semakin canggih, akan tetapi untuk dapat diwujudkan di
Indonesia masih sangat beresiko, baik dari aspek perundang-undangannya, aspek
sosial budayanya, kultur agamanya, maupun kesiapan mentalnya. Dalam
Peraturan Mentri Kesehatan No. 73 tahun 1999 pasal 10 butir 1 dan 2, memang
teknologi reproduksi mempunyai peluang untuk terlaksananya praktek sewa rahim
walaupun hanya ditujukan kepada pasangan suami istri yang sah dan sebagai upaya
akhir untuk memperoleh keturunan serya berdasarkan pada suatu indikasi medik,
namun Penulis berpendapat bahwa Indonesia tidak cukup siap untuk menerapkan
teknologi kedokteran tersebut. Hal ini bukan saja kultur budaya bangsa
Indonesia yang masih menganggap “tabu” akan tetapi terutama disokong oleh
perangkat aturan yang tidak siap, jauh dari tertib. Menerima praktek sewa
rahim ini berarti merubah sederet pasal-pasal yang terdapat dalam
perundang-undangan yang berlaku. Untuk membenahi hak-hak anak di luar
nikah pun selama 35 tahun tidak ada satu pun draf yang berhasil digolkan
sebagai undang-undang, padahal masalah tersebut merupakan amanat dari
undang-undang, lihat pasal 43 butir 2 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, apalagi
ditambah dengan masalah baru yang melibatkan diskursus panjang tentang nasab,
waris, pelanggaran hak asasi manusia, dll. Setidaknya ada beberapa pasal
yang dapat dijadikan rujukan sebagai dasar penolakan adanya sewa rahim tersebut
antara lain adalah :
- UU RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan 127 ayat (1). [11]
- Permenkes RI No.73/Menkes/PER/II/1999, pasal 4 dan 10.
- SK Dirjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di RS.
- Kesusilaan dan Ketertiban Umum.
- Pasal 1339 KUH Perdata.
MUI memberikan fatwa dalam
masalah bayi tabung atau sewa rahim ini (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni
1979), yang menyatakan bahwa Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia memfatwakan
sebagai berikut :
a. Bayi
tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya
mubah (boleh, berdasarkan kaidah agama).
b. Bayi
tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain
(misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan
kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam
kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan
ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan
sebaliknya).
c. Bayi
tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia
hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan
menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab
maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
d. Bayi
tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang
sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar
lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah,
yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
Sedangkan dalam buku masailul
fiqhiyah karangan Mahyudin dapat disimpulkan bahwa inseminasi buatan atau bayi
tabung dan sejenisnya tergolong zina dan menyulitkan penegakkan hukum Islam
dalam masalah yang lain dan berakibat :
- Mengacaukan hukum Islam untuk menentukan wali anak perempuan dari hasil inseminasi dan bayi tabung bila ia dikawinkan.
- Menyulitkan hukum Islam untuk menentukan hak-hak anak tersebut dalam urusan perwarisan dsb.[12]
Pendapat Para Pakar Kedokteran
Indonesia [13]
Pakar hukum kesehatan Universitas
Katolik Soegijapranata Semarang, Prof. Agnes Widanti menilai perlu ada regulasi
yang khusus mengatur tentang maraknya praktek sewa rahim di Indonesia.
Menurutnya selama ini, sewa rahim belum diatur dalam perundang-undangan di
Indonesia. Regulasi di Indonesia hanya mengatur terkait bayi tabung, yang
sebenarnya prosesnya sama dengan sewa rahim, tetapi kalau bayi tabung benih itu
ditanam pada si istri, bukan orang lain. Agnes mengatakan bahwa praktik
sewa rahim sudah banyak terjadi di negara-negara lain, seperti Amerika Serikat
yang akhirnya melegalkan praktik tersebut dan mengaturnya dalam
undang-undang. Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada praktik semacam
itu, namun tidak banyak yang berani bersikap terbuka karena belum diatur secara
jelas dalam perundang-undangan.
Koordinator Jaringan Peduli
Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah itu juga mengungkapkan selama ini praktik
sewa rahim di Indonesia tidak pernah menimbulkan permasalahan sehingga tidak
pernah mencuat. Padahal, permasalahan akan muncul ketika si ibu yang
menyewakan rahim tidak mau menyerahkan bayi yang dikandungnya, sebagaimana yang
pernah terjadi di AS sekitar tahun 1968 ketika ada seorang ibu yang menyewakan
rahim enggan mengembalikan bayi yang dikandungnya, sehingga terjadi polemik.
Keengganan menyerahkan bayi yang dikandungnya meski bukan anak kandungnya
sendiri itu, bisa muncul karena naluri alamiah seorang ibu. Untuk itu
sewa rahim perlu ada regulasi.
Menurut dr. Sofwan Dahlan (Pada
seminar yang diselenggarakan Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata)
praktik sewa rahim secara medis sangat mungkin dilakukan, mengingat prosesnya
secara garis besar sama dengan bayi tabung, hanya rahim inang yang digunakan
berbeda. Proses bayi tabung secara umum adalah merangsang indung telur matang
untuk dipertemukan sel sperma yang terseleksi, kemudian dipantau hingga terjadi
pembuahan, dan siap diimplantasikan dalam rahim.
Sementara itu, saintis dan juga
pemerhati masalah sosial, Prof. Liek Wilardjo dalam seminar yang sama menyoroti
persoalan moral yang melingkupi praktik sewa rahim tersebut, apalagi terkait
persoalan yang akan muncul lebih jauh misalnya identitas anak tersebut kelak.
Persoalan moral lebih bersifat relatif, karena pertimbangan yang diambil setiap
orang pasti berbeda, termasuk dalam kasus sewa rahim. Namun, tetap ada dampak
yang harus dipikirkan.
Posisi Sewa Rahim di
Dunia
Awalnya surrogate mother terjadi
karena pihak istri tidak bisa mengandung karena sesuatu hal yang terjadi pada
rahimnya sehingga peran si istri dialihkan pada wanita lain untuk menggantikan
fungsinya sebagai seorang ibu dalam mengandung dan melahirkan, baik dengan
imbalan materi ataupun sukarela (walaupun yang suka rela sangat jarang
terjadi), tetapi perkembangan selanjutnya terjadi pergeseran makna dan
substansi, dari substansi awal sebagai alternatif kelainan medis (karena cacat
bawaan atau karena penyakit) yang ada ke arah sosial dan eksploitasi nilai
sebuah rahim, yang mana pihak penyewa bukan lagi karena alasan medis, tetapi
sudah beralih ke alasan kosmetik dan estetika (tidak mau tubuhnya cacat dan
jelek karena melahirkan serta tidak mau mengandung dan melahirkan),
sementara bagi pihak yang disewa akan menjadikannya sebagai suatu ladang bisnis
baru dengan menyewakan rahimnya sebagai alat mencari nafkah (terutama pada
masyarakat yang ekonominya rendah) seperti India, Bangladesh dan China.
Negara tersebut difasilitasi oleh pemerintah setempat dengan membuatkan sebuah
pusat untuk model sewa rahim termasuk dengan pengurusan visa khusus dan visa
medis, sebagaimana dikatakan oleh seorang sosiolog dari Australia, Catherine
Waldby pada konferensi Asia-Pasifik Science, Teknologi and Society Network
Conference pada bulan Desember 2009 di Brisbane-Australia.[14]
Di beberapa negara yang
melegalkan praktek sewa rahim, alat reproduksi manusia menjadi komoditi untuk
mencari keuntungan yang menggiurkan, bahkan sewa rahim sudah dijadikan sebagai
suatu pekerjaan atau mata pencaharian. Misalnya di India sebagaimana
ditulis oleh Desriza Ratman dalam bukunya Surrogate Mother dalam
Perspektif Etika dan Hukum bahwa untuk sewa rahim, India menargetkan
satu orang bayi dengan harga US $ 5000 sampai dengan US $ 6000 atau setara
dengan Rp.50.000.000,- sampai dengan Rp. 60.000.000,- sedangkan pasangan asing
dari Barat dikenakan tarif US $ 15.000 sampai dengan US $ 20.000 atau setara
dengan Rp. 150.000.000,- sampai dengan Rp. 200.000.000,-. Lain lagi sewa
rahim di Amerika Serikat, rahim seorang wanita di sana dihargai dengan US $ 100.000
atau setara dengan 1 miliyar rupiah.[15]
The Internasional Islamic Center
for Population Studies and research, Cairo-Mesir, November 2000 menyatakan :[16]
a. In
Vitro Fertilization diperbolehkan kecuali menggunakan sperma, ovum
atau embrio dari donor.
b. Pre-Implantation
Genetic Diagnosis (PGD) diperbolehkan untuk alasan medik, untuk
menghindari penyakit keturunan.
c. Penelitian-penelitian
untuk pematangan folikel, pematangan oosit invirto diperbolehkan.
d. Implantasi
embrio pada suami yang sudah meninggal belum mempunyai keputusan tetap.
e. IVF
pada wanita menapause dilarang karena mempunyai risiko yang tinggi terhadap
kesehatan ibu dan bayinya.
f. Tansplantasi uterus masih dalam pertimbangan;
diperbolehkan untuk mengadakan penelitian pada binatang.
g. Penggunaan
sel tunas (stem cell) untuk tujuan pengobatan (Therapeutic cloning)
masih dalam perdebatan, diminta untuk dapat disetujui.
h. Reproduktive
cloning atau duplikasi manusia tidak diperbolehkan.
Fatwa yang dikeluarkan oleh
Majelis Mujamma’ Fiqih Islamic : Lima perkara berikut ini diharamkan dan
terlarang sama sekali karena dapat mengakibatkan percampuran nasab dan
hilangnya hak orang tua serta perkara-perkara lain yang dikecam oleh syariat:
a. Sperma yang diambil dari pihak lelaki disemaikan
kepada indung telur pihak wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke
dalam rahim istrinya.
b.
Indung telur yang diambil dari pihak wanita
disemaikan kepada sperma yang diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya
kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si wanita.
c. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut
diambil dari sperma suami istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita
lain yang bersedia mengandung persemaian benih mereka tersebut.
d. Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal
dari lelaki dan wanita lain kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si
istri.
e. Sperma dari indung telur yang disemaikan
tersebut diambil dari seorang suami dan istrinya, kemudian dicangkokkan ke
dalam rahim istrinya yang lain.
KESIMPULAN
Surrogate mother yang dalam
bahasa Indonesia dimaknai sebagai ibu pengganti atau sewa rahim, merupakan
praktek penyewaan rahim seorang perempuan yang mengikatkan diri dalam suatu
perjanjian dengan pihak lain (suami istri) dengan tujuan supaya dapat hamil dan
melahirkan bayi yang sebelumnya dilakukan persenyawaan sperma dan ovum antara
suami istri, lalu hasil persenyawaan tersebut dibenamkan ke dalam rahim
perempuan tadi. Praktek sewa rahim ini banyak diperdebatkan kelegalannya
karena akibat yang ditimbulkan disinyalir dapat membawa dampak negatif dalam
masyarakat terutama nasib dan nasab anak. Indikasi pelanggaran hak anak
merupakan isu penting dalam perdebatan sewa rahim ini. Hak anak yang
seharusnya diberikan menjadi tersingkirkan dengan ambisi-ambisi membabi buta
orang dewasa. Anak disamarkan nasabnya, anak dihilangkan hak warisnya serta
anak disuramkan asal-usulnya.
Indonesia belum ada pengaturan
khusus tentang surrogate mother ini, akan tetapi perundangan yang berlaku dapat
dimaknai sebagai jalan yang menolak adanya surrogate mother sekaligus
memberikan kelonggaran diberlakunya surrogate mother. Hal
tersebut dapat dilihat dari UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 127 dan
Permenkes No. 73/Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi
Reproduksi Buatan yang membolehkan pembuahan di luar rahim walaupun terbatas
untuk suami istri yang terikat perkawinan sah (lihat pasal 4). Tentu
Pendapat ini adalah pendapat Penulis yang beranggapan bahwa jika pembuahan di
luar rahim boleh maka pembuahan yang dititipkan kepada orang lain pun dapat
dibolehkan dengan alasan yang sama. Maksudnya punya alasan hukum yang
sama, yakni sama-sama tidak dilahirkan oleh si empunya zygote, sama-sama
dititipkan kepada seorang istri yang juga sah menurut hukum (istri kedua dan
seterusnya), serta kalau ditinjau dari dampak sama-sama berpengaruh terhadap
nasab dan nasib anak.
Posisi sewa rahim di dunia masih
ramai diperdebatkan, banyak negara di dunia yang tidak setuju atau menolak
praktek sewa rahim ini, akan tetapi banyak juga negara yang membolehkan
sewa rahim ini misalnya India, Bangladesh, China ,Amerika, dll. Sementara
itu sewa rahim bagi kalangan Islam masih dianggap oleh sebagian besar ulama
sebagai tindakan yang dapat mengacaukan hukum Islam dalam menentukan wali anak
perempuan bila ia dikawinkan dan menyulitkan hukum Islam dalam menentukan hak-hak
anak tersebut dalam urusan perwarisan. Para Ulama sepakat
tentang pengharaman praktek sewa rahim dalam keadaan berikut :
menggunakan rahim wanita lain selain isteri, adanya tindakan percampuan zygote
antara suami dan wanita lain, adanya tindakan percampuan zygote dengan lelaki
yang bukan suaminya (orang lain), dan menanamkan zygote sesaat setelah suami
istri tersebut meninggal.
· [1] Desriza Ratman. Surrogate
Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum (Jakarta, PT.Gramedia, h.
viii).
· [4] Radin Seri Nabaha. Penyewaan
Rahim dalam Pandangan Islam –Terjemahan dari Al-Faqiroh Illallâh Shari’ah
Islamiyah (Cairo : American Open University) 2004, h. 4-5.
·
[5] Kitab Undang-undang Hukum
Perdata.
·
[6] Desriza Ratman, h. 110-112.
·
[7] Radin Seri Nabahah bt. Ahmad
Zabidi. Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam, h. 18-19, dengan
sedikit penyesuaian bahasa oleh Penulis.
·
[8] Radin Seri Nabahah bt. Ahmad
Zabidi. Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam, h. 23-26, dengan
sedikit penyesuaian bahasa oleh Penulis.
·
[9]Hadis Riwayat Al- Bukhari dan
Muslim.
·
[10] Al- Qaradhawi. Fatawa
Al-Muasarah (Kaherah : Dar Al-Wahbah), Juz 1, hal 574-575.
·
[11] Rujuk kembali ke halaman 4 bunyi
pasal-pasal pada point 1-5.
·
[12] Mahyudin. Masailul
Fiqhiyah (Jakarta : Penerbit Kalam Mulia), 1998, Cet. 3, h. 4.
·
[13] Baca,
http://erabaru.net/top-news/37-news2/14277-maraknya-sewa-rahim-butuh-aturan.
·
[14] Desriza Ratman, h. 38.
·
[15] Baca, Desriza Ratman, h. 38-39.
·
[16] Desriza Ratman, h. 84.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Masukan Kritik dan Saran Anda