Kontroversi
terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang
mengabulkan gugatan uji materi terhadap Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor
01 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih menjadi perbincangan hangat di
masyarakat. Masalah yang menjadi perhatian adalah karena
MK memperluas hubungan keperdataan anak luar kawin yang semula hanya mempunyai
hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, berubah menjadi
memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya
sepanjang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum. Keputusan
MK ini tentu akan membawa implikasi terhadap timbulnya hak dan kewajiban, hubungan
nasab, mahram, kewarisan, perwalian, dan lain-lain.
Keputusan MK dinilai oleh beberapa kalangan sebagai keputusan yang
cerdas, memberikan jaminan dan kepastian hukum serta langkah maju di bidang
reformasi hukum. Sementara itu di lain
pihak keputusan MK tersebut dinilai sebagai langkah mundur reformasi hukum,
bertentangan dengan hukum Islam dan Undang-Undang serta ada indikasi melegalkan
perzinaan. Satu pihak mendukung putusan
MK tersebut dengan mengemukakan beberapa argumentasi yang dilihat dari berbagai
sudut pandang, antara lain filosofis, yuridis, sosiologis, kemanusiaan dan teks-teks
kitab suci, sedangkan di pihak lain tidak setuju dan menolak putusan MK
tersebut dengan mengemukakan berbagai kemungkinan dampak buruk yang
ditimbulkannya, seraya menghadirkan argumentasi dari berbagai sudut pandang.
Tulisan ini menampilkan pro dan kontra masyarakat dalam menanggapi
putusan MK disertai dengan argumen-argumen atau dalil-dalilnya. Pembahasan tentang uji materil UU Perkawinan
pasal 2 ayat (2) tidak Penulis bahas secara intensif karena keberatan Pemohon
atas pasal tersebut ditolak MK. Jadi
yang dibahas dalam tulisan ini lebih kepada pasal 43 UU a Quo. Banyak yang Penulis hendak sampaikan dalam
permasalahan ini akan tetapi tulisan dalam bentuk makalah memang memiliki
keterbatasan, Penulis sangat ingin membahas hasil putusan ini dalam perspektif
umat beragama lain atau masyarakat selain Islam yang juga berada dalam naungan
UU Perkawinan ini, yang sebenarnya mengalami ketidakjelasan yang sama dalam hal
Peraturan Pemerintah tentang kedudukan anak di luar perkawinan, dimana sampai
saat ini selama ± 35 tahun tidak ada bentuknya.
Padahal salah satu cara menghentikan perdebatan paling tidak meredamnya
adalah dengan disusunnya PP tersebut. Berhubung pembahasannya sangat aktual dan
cukup menantang Penulis bertekad untuk melakukan penelitian yang lebih jauh lagi tentang masalah ini.
Pembahasan
Sebelum mengemukakan berbagai macam pendapat yang mewarnai adanya kontraversi,
Penulis perlu menjelaskan terlebih dahulu permasalahan yang menjadi perdebatan
tersebut yaitu pengajuan uji materil yang dimohonkan oleh Saudari Aisyah Mochtar
alias Machica Mochtar beserta anaknya Muhammad Iqbal Ramadhan pada tanggal 14
Juni tahun 2010. Dalam Permohonan tersebut
Para Pemohon menyampaikan beberapa hal yang menjadi keberatannya antara lain :[1]
1. Para Pemohon merasa
hak-haknya sebagai warga negara telah dirugikan dengan adanya pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi :” tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
2. Para Pemohon dirugikan atas
pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan: “Anak dilahirkan
diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya”.
Dari dua point keberatan tersebut para pemohon menyampaikan
dalil-dalil kepada Mahkamah Konstitusi yang pada intinya adalah sebagai berikut
:
1. Bahwa para Pemohon
berpendapat bahwa pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
itu terkandung azas agama sebagaimana tercermin dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu
suatu perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya, sehingga bagi para Pemohon yang beragama Islam tidak dicatatkannya
perkawinan tidaklah menjadikan sebuah perkawinan menjadi tidak sah, sebab
syarat sahnya perkawinan dalam Islam tidak mensyaratkan adanya sebuah
pencatatan perkawinan.[2]
2. Kemudian kaitannya dengan
Pasal 28B ayat (1) : “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah”, para Pemohon berpendapat bahwa
pasal ini mengandung prinsip kebebasan berkehendak, dimana dalam hal ini setiap
orang berhak melakukan suatu perkawinan untuk membentuk sebuah keluarga dan
melanjutkan keturunannya berdasarkan atas agama dan kepercayaannya, sehingga
adanya persyaratan pencatatan perkawinan agar sebuah perkawinan dianggap sah
adalah merupakan bentuk pengengkangan atas prinsip kebebasan berkehendak.[3]
3. Sebagai bentuk dispensasi
atas warga negara tersebut, dalam hal anak yang dilahirkan dalam perkawinan
yang tidak dicatat dianggap sebagai anak di luar nikah.
4. Pasal 28B ayat (2)
menyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
5. Kemudian berkaitan dengan pasal
28D ayat (1), ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, menurut
para pemohon pasal tersebut mengandung atau menganut norma kepastian hukum,
sehingga kepastian hukum yang berkeadilan melarang diskriminasi, sebagaimana terjadi
pada seorang anak yang dianggap anak luar nikah hanya mempunyai hubungan
keperdataan dengan Ibu dan keluarga Ibunya. Ada diskriminasi di sini yang
dilakukan oleh negara menyebabkan implikasi luas sebagai seorang anak yang
tidak tahu apa-apa untuk menanggung beban ketidakpastian hukum sebagai dirinya,
berarti menutup pintu kesempatan untuk diakui sebagai warga Negara yang utuh
yang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. [4]
Pendapat
Pemerintah
Menanggapi permohonan dan dalil-dalil yang disampaikan oleh para Pemohon,
Pemerintah memberikan penjelasan terhadap materi muatan norma yang dimohonkan untuk
diuji para Pemohon yaitu : [5]
1. Terhadap
ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo dapat dijelaskan sebagai
berikut: Bahwa perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 UU Perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri perlu saling membantu
dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu
dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Kemudian pada Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang a quo menyatakan bahwa “suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”;
dan pada Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan harus
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Bahwa menurut Undang-Undang a quo,
sahnya perkawinan disandarkan kepada hukum agama masing-masing, namun demikian
suatu perkawinan belum dapat diakui keabsahannya apabila tidak dicatat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencatatan perkawinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) bertujuan untuk :
a. Tertib administrasi perkawinan
b. Memberikan kepastian dan perlindungan terhadap
status hukum suami, istri maupun anak; dan
c. Memberikan jaminan dan perlindungan terhadap
hak-hak tertentu yang timbul karena perkawinan seperti hak waris, hak untuk memperoleh
akte kelahiran, dan lain-lain;
Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan
para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) telah bertentangan dengan
Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena
pencatatan perkawinan bukanlah dimaksudkan untuk membatasi hak asasi warga
negara melainkan sebaliknya yakni melindungi warga negara dalam membangun keluarga
dan melanjutkan keturunan, serta memberikan kepastian hukum terhadap hak suami,
istri, dan anak-anaknya.
Bahwa Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo memang
tidak berdiri sendiri, karena frasa “dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku” memiliki pengertian bahwa pencatatan
perkawinan tidak serta merta dapat dilakukan, melainkan bahwa pencatatan harus
mengikuti persyaratan dan prosedur yang ditetapkan dalam perundang-undangan.
Hal ini dimaksudkan agar hak-hak suami, istri, dan anak-anaknya benar-benar
dapat dijamin dan dilindungi oleh negara. Persyaratan dan prosedur tersebut
meliputi ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, Pasal 5, Pasal
9, dan Pasal 12 UU Perkawinan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU Perkawinan khususnya Pasal 2 sampai dengan Pasal 9.
Bahwa benar UU Perkawinan menganut asas monogami,
akan tetapi tidak berarti bahwa undang-undang ini melarang seorang suami untuk
beristri lebih dari seorang (poligami). Apabila dikehendaki, seorang suami
dapat melakukan poligami dengan istri kedua dan seterusnya, akan tetapi hal
tersebut hanya dapat dilakukan setelah yang bersangkutan memenuhi persyaratan
dan prosedur yang ditetapkan dalam Undang-Undang a quo khususnya sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 5 serta PP Nomor 9 Tahun
1975. Apabila suatu perkawinan poligami tidak memenuhi ketentuan Undang- Undang
Perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak dapat dicatatkan di Kantor Urusan
Agama atau Kantor Catatan Sipil, dengan segala akibat hukumnya antara lain:
tidak mempunyai status perkawinan yang sah, dan tidak mempunyai status hak
waris bagi suami, istri, dan anak-anaknya.
Bahwa ketentuan mengenai persyaratan dan
prosedur perkawinan poligami yang diatur dalam UU Perkawinan berlaku untuk
setiap warga negara Indonesia dan tidak memberikan perlakuan yang diskriminatif
terhadap orang atau golongan tertentu termasuk terhadap para Pemohon. Di
samping itu
ketentuan tersebut sejalan dengan ketentuan
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis”.
Dari uraian tersebut di atas, tergambar dengan
jelas dan tegas bahwa pencatatan perkawinan baik di Kantor Urusan Agama maupun
Kantor Catatan Sipil menurut Pemerintah tidak terkait dengan masalah
konstitusionalitas keberlakuan materi muatan norma yang dimohonkan pengujian
oleh para Pemohon. Dengan demikian maka ketentuan Pasal 2 ayat (2)
tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal
28D ayat (1) UUD 1945.
2.
Terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dapat dijelaskan
sebagai berikut: Bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan: “Anak
yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya”, menurut Pemerintah bertujuan untuk memberikan perlindungan
dan kepastian hukum terhadap hubungan keperdataan antara anak dan ibunya serta
keluarga ibunya, karena suatu perkawinan yang tidak dicatat dapat diartikan
bahwa peristiwa perkawinan tersebut tidak ada, sehingga anak yang lahir di luar
perkawinan yang tidak dicatat menurut Undang-Undang a quo dikategorikan
sebagai anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Ketentuan dalam pasal ini
merupakan konsekuensi logis dari adanya pengaturan mengenai persyaratan dan
prosedur perkawinan yang sah atau sebaliknya yang tidak sah berdasarkan
Undang-Undang a quo, karenanya menjadi tidak logis apabila undang-undang
memastikan hubungan hukum seorang anak yang lahir dari seorang perempuan,
memiliki hubungan hukum sebagai anak dengan seorang laki-laki yang tidak
terikat dalam suatu perkawinan yang sah. Berdasarkan penjelasan tersebut di
atas, menurut Pemerintah ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang a quo justru
bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap hubungan keperdataan
antara anak dan ibunya serta keluarga ibunya. Oleh karena itu menurut
Pemerintah Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena
apabila perkawinan tersebut dilakukan secara sah maka hak-hak para Pemohon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945
dapat dipenuhi.
Lebih lanjut Pemerintah juga tidak sependapat
dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut
di atas telah memberikan perlakuan dan pembatasan yang bersifat diskriminatif
terhadap Pemohon, karena pembatasan yang demikian telah sejalan dengan
ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa: “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Berdasarkan
uraian tersebut di atas ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)
UU Perkawinan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat
(2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Pengujian
UU Perkawinan terhadap UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang diajukan
para Pemohon mendapat tanggapan dari DPR antara lain sebagai berikut : [6]
Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa berlakunya ketentuan Pasal 2
ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan telah menghalang-halangi pelaksanaan
hak konstitusionalnya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah, hak anak dalam perkawinan, dan kepastian hukum
atas status perkawinannya sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (1) dan ayat
(2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan. DPR menyampaikan penjelasan sebagai berikut:
1. Bahwa perlu dipahami oleh para Pemohon, bahwa
untuk memahami UU Perkawinan terkait dengan ketentuan Pasal Undang-Undang a
quo yang dimohonkan pengujian, dipandang perlu untuk memahami dahulu
pengertian dari Perkawinan yaitu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Ketentuan ini mengandung
makna bahwa perkawinan sebagai ikatan antara seorang pria dan seorang wanita
berhubungan erat dengan agama/kerohanian. Jika dilihat dari pengertiannya maka
setiap perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama adalah sah. Namun jika
dikaitkan dengan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
sejahtera serta keturunan, maka akibat dari perkawinan memunculkan hak dan kewajiban
keperdataan.
2. Bahwa untuk menjamin hak-hak keperdataan dan
kewajibannya yang timbul dari akibat perkawinan yang sah maka setiap perkawinan
perlu dilakukan pencatatan. Meskipun perkawinan termasuk dalam lingkup
keperdataan, namun negara wajib memberikan jaminan kepastian hukum dan
memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang terkait dalam perkawinan (suami,
istri dan anak) terutama dalam hubungannya dengan pencatatan administrasi
kependudukan terkait dengan hak keperdataan dan kewajibannya. Oleh karena itu
pencatatan tiap-tiap perkawinan menjadi suatu kebutuhan formal untuk legalitas
atas suatu peristiwa yang dapat mengakibatkan suatu konsekuensi yuridis dalam
hak-hak keperdataan dan kewajibannya seperti kewajiban memberi nafkah dan hak
waris. Pencatatan perkawinan dinyatakan dalam suatu akte resmi (akta otentik)
dan dimuat dalam daftar pencatatan yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan.
Bahwa tujuan pencatatan perkawinan yaitu sebagai berikut:
a. Untuk
tertib administrasi perkawinan;
b. Jaminan
memperoleh hak-hak tertentu (memperoleh akte kelahiran, membuat Kartu Tanda
Penduduk, membuat Kartu Keluarga, dan lain-lain);
c. Memberikan perlindungan terhadap status
perkawinan;
d. Memberikan kepastian terhadap status hukum
suami, istri maupun anak;
e. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak sipil
yang diakibatkan oleh adanya perkawinan;
3. Bahwa atas dasar dalil tersebut, maka
ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang berbunyi “tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” merupakan norma
yang mengandung legalitas sebagai suatu bentuk formal perkawinan. Pencatatan
perkawinan dalam bentuk akta perkawinan (akta otentik) menjadi penting untuk memberikan
jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum untuk setiap perkawinan. Dengan
demikian DPR berpendapat bahwa dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 2
ayat (2) UU Perkawinan telah menimbulkan ketidakpastian hukum adalah anggapan
yang keliru dan tidak berdasar.
4. Bahwa terhadap anggapan para Pemohon yang
menyatakan bahwa para Pemohon tidak dapat melakukan pencatatan perkawinannya
karena UU Perkawinan pada prinsipnya berasaskan monogami sehingga
menghalanghalangi para Pemohon untuk membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat
(1) UUD 1945, DPR merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 12/PUU-V/2007
dalam pertimbangan hukum halaman 97-98 menyebutkan: Bahwa Pasal-Pasal yang
tercantum dalam UU Perkawinan yang memuat alasan, syarat, dan prosedur
poligami sesungguhnya semata-mata sebagai upaya untuk menjamin dapat
dipenuhinya hak-hak istri dan calon istri yang menjadi kewajiban suami yang
akan berpoligami dalam rangka mewujudkan tujuan perkawinan. Oleh karena itu
penjabaran persyaratan poligami tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1)
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian alasan para Pemohon tidak dapat
mencatatkan perkawinannya karena UU Perkawinan pada prinsipnnya berasas
monogami adalah sangat tidak berdasar. Pemohon tidak dapat mencatatkan perkawinannya
karena tidak dapat memenuhi persyaratan poligami sebagaimana diatur dalam UU
Perkawinan. Oleh karena itu sesungguhnya persoalan para Pemohon bukan persoalan
konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan hukum yang tidak
dipenuhi oleh para Pemohon.
5.
Bahwa oleh karena itu, DPR
berpandangan bahwa perkawinan yang tidak dicatat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai peristiwa perkawinan yang
tidak memenuhi syarat formil, sehingga hal ini berimplikasi terhadap hak-hak
keperdataan yang timbul dari akibat perkawinan termasuk anak yang lahir dari
perkawinan yang tidak dicatat sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
6. Bahwa
selain itu, perlu disampaikan bahwa anak yang lahir dari perkawinan yang tidak
dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat berimplikasi
terhadap pembuktian hubungan keperdataan anak dengan ayahnya. Dengan demikian,
anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat tersebut, tentu hanya
mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya.
7. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas,
menurut DPR justru dengan berlakunya ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
akan menjamin terwujudnya tujuan perkawinan, serta memberikan perlindungan dan
kepastian hukum terhadap status keperdataan anak dan hubungannya dengan ibu
serta keluarga ibunya. Apabila ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan ini dibatalkan
justru akan berimplikasi terhadap kepastian hukum atas status keperdataan anak
yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat. Dengan demikian ketentuan
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1)
dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pendapat
Mahkamah Konstitusi [7]
Pokok
Permohonan : [8]
Pokok
permohonan para Pemohon, adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2)
UU 1/1974 yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”, dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang
menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, khususnya mengenai hak
untuk mendapatkan status hukum anak;
1.
Pokok permasalahan hukum
mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah
mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai
permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang
asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan, “... bahwa suatu
perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.
Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas
nyatalah bahwa :
(i) Pencatatan perkawinan
bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan; dan
(ii)
Pencatatan merupakan
kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan
adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan
calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan
perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban
administratif. Makna pentingnya
kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut
Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara,
pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan
yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945].
Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian
menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena
pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945]. Kedua, pencatatan
secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan,
sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang
bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di
kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta
otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak
yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara
efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan,
hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani
dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu,
uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai
asal-usul anak dalam Pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak
tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan
ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian
pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta
otentik sebagai buktinya;
2. Pokok permasalahan hukum
mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal
meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk
memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula
permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Secara alamiah,
tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum
dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui
cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya
pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum
menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual
di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai
ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki
yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan
kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan
bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut
sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang
ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari
laki-laki tertentu.
Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran
karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang
perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya
terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya
meliputi anak, ibu, dan bapak. Berdasarkan
uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak
semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan
pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut
sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi
perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika
tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar
kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah
seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah
masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil
terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya,
termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih
dipersengketakan;
3. Berdasarkan uraian tersebut
di atas maka Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Berdasarkan
seluruh pertimbangan di atas, maka dalil para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal
2 ayat (2) UU 1/1974 tidak beralasan menurut hukum. Adapun Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974
yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan UUD
1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional
sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan
laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Pendapat
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010 tentang pengujian
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yang dibacakan Amar Putusannya pada tanggal 27 Februari 2012
mendapat tanggapan dari MUI. Tanggapan
MUI yang ditandatangani oleh K.H. Ma’ruf Amin dan Drs. H.M. Ichwan Sam berpendapat
bahwa : [9]
1. Putusan MK Nomor
46/PUU-VII/2010 sepanjang memaknai pengertian hubungan perdata antara
anak hasil zina dengan laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya dan
keluarganya adalah juga hubungan nasab, waris, wali, dan nafaqoh, maka
keputusan MK tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.
2. Untuk melindungi hak-hak anak
hasil zina tidak dilakukan dengan memberikan hubungan perdata kepada laki-laki
yang mengakibatkan kelahirannya, melainkan dengan menjatuhkan ta’zir kepada
laki-laki tersebut berupa kewajiban mencukupi kebutuhan anak tersebut atau
memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
3. Untuk menghilangkan diskriminasi
terhadap anak hasil zina adalah tidak mengaitkannya dengan laki-laki yang
mengakibatkan kelahirannya melainkan dengan melakukan edukasi kepada masyarakat
bahwa anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang
yang mengakibatkan kelahirannya.
4. Dengan memahami bahwa sistem
nasional kita tidak mengenal upaya hukum lagi bagi putusan MK, namun mengingat
dampak yang ditimbulkan atas putusan MK tersebut sangatlah besar dan luar
biasa, maka MUI tetap meminta agar MK melakukan peninjauan kembali terhadap
keputusannya tersebut demi kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara yang
lebih besar urgensinya.
5. Meminta kepada MK apabila
terdapat permohonan pengujian Undang-Undang yang berkaitan dengan ajaran Islam
pada masa datang, hendaklah MUI diberi tahu dan diundang untuk hadir dalam
sidang pengujian Undang-Undang guna menyampaikan sikap dan pendapatnya.
6. Dengan tetap menghargai
independensi MK, MUI mengharapkan kiranya 9 hakim konstitusi pada MK yang sesuai
dengan UUD 1945 mempunyai kekuasaan sangat besar karena keputusannya bersifat
final dan mengikat sehingga tidak ada upaya hukum untuk memperbaikinya, untuk
senantiasa berhati-hati dan merenungkan secara mendalam, tidak saja mengenai
isi putusan yang akan dijatuhkan tetapi juga harus mampu membayangkan jauh ke
depan dan memahami sebenar-benarnya kemungkinan terjadinya dampak ekstrim
langsung atau tidak langsung dari isi putusan serta mampu mencegah terjadinya
kemudharatan massif bagi masyarakat luas. Selain itu MUI mengharapkan kiranya
dalam merumuskan putusan, MK hendaklah mempertiimbangkan kondisi masyarakat
Indonesia yang religius dengan ajaran agama yang dipeluk dan diyakininya.
7. Merekomendasikan kepada DPR
RI dan pemerintah untuk mengajukan dan membahas revisi UU tentang MK dengan
mengatur kembali hal-hal terkait dengan pelaksanaan kewenangan MK yang
pokok-pokoknya telah diatur dalam UUD 1945 agar menjadi lebih proporsional,
tidak berlebihan dan melampaui batas-batas kewajaran. Dua hal sangat penting terkait dengan revisi
tersebut adalah : (1) Agar ada ketentuan larangan bagi MK untuk menjatuhkan
putusan yang isinya bertentangan dengan ajaran dari agama-agama yang diakui di
tanah air termasuk ajaran Islam; (2) Ketentuan yang mengatur apabila putusan MK
bertentangan dan melanggar ajaran agama-agama yang hidup dan berkembang di
Indonesia maka putusan tersebut, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kedua hal ini dalam keyakinan MUI juga
merupakan pelaksanaan dari UUD 945, khususnya pasal 29, yang menjadi acuan bagi
MK dalam menunaikan tugas dan kewenangannya.
Perselisihan Ulama tentang Anak Hasil Zina
Perdebatan yang terjadi di masyarakat pada
mulanya lebih kepada respon sebagian umat Islam yang menganggap bahwa keputusan
MK merupakan keputusan yang bertentangan dengan syari’at agama Islam. Oleh karena itu, Penulis perlu mengemukakan pendapat
para ulama tentang anak hasil perzinaan.
a. Pendapat Imam Syafi’i. [10]
Perzinaan
tidak menetapkan hurmatul mushaharah (kehormatan kerabat) yaitu hubungan
kekeluargaan yang diperoleh dengan jalan perkawinan. Jadi kalau seorang lelaki meyakini bahwa
akibat dari perzinahannya dengan seorang perempuan, lahirlah seorang anak
(wanita), maka laki-laki tersebut atau anaknya atau bapaknya masing-masing
tidak ada halangan untuk menikahi anak itu sebagaimana anak dari laki-laki itu
atau bapaknya tidak berhalangan untuk menikahi perempuan tersebut. Alasan yang dikemukakan antara sebagai
berikut :
1.
Wanita yang dizinahi oleh
seorang lelaki keadaannya sebagai berikut :
a)
Tidak dapat dianggap sebagai
istri, maka ia dianggap selaku ibu tiri dari anak si lelaki tersebut, yang oleh
karena itu tidak dapat diperlakukan ayat al-Qur’an yang berbunyi:
“dan janganlah kamu mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh bapakmu, kecuali pada masa yang lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah dan seburuk-buruk jalan”.
“dan janganlah kamu mengawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh bapakmu, kecuali pada masa yang lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah dan seburuk-buruk jalan”.
b) Tidak dapat dianggap sebagai istri, maka ia
dianggap sebagai menantu dari bapak si lelaki tersebut, oleh karena itu tidak
dapat diperlakukan ayat al-Qur’an yang berbunyi:
“dan diharamkan atasmu (mengawini) istri-istri
dari anak kandungmu (menantu)”.
c) Anak yang dilahirkan oleh
wanita tersebut dari perzinaan itu tidak, dapat dianggap sebagai putri yang sah
dari laki-laki itu, yang oleh karenanya tidak dapat diperlakukan ayat al-Qur’an
yang berbunyi :
“diharamkan atasmu (mengawini) ibumu dan
anak-anakmu yang perempuan”.
d) Ibu dari wanita tersebut
tidak dapat dianggap sebagai mertua dari laki-laki tersebut, yang oleh karena
itu tidak dapat diperlakukan ayat al-Qur’an yang berbunyi :
“dan diharamkan atasmu (mengawini) ibu-ibu dari
istrimu (mertua)”.
Dengan demikian menurut Imam Syafi’i wanita
yang dizinahi itu, anaknya dan ibunya serta anak yang dihasilkan dari perzinaan
dengan laki-laki tersebut tidak termasuk dalam ayat muharramat, hal tersebut
termasuk ke dalam ayat :
“dan dihalalkan bagimu (mengawini)
wanita-wanita selain dari yang tersebut itu”
2.
Perzinaan adalah persetubuhan
yang haram, perbuatan yang terkutuk dan menimbulkan permusuhan dan
bencana. Perbuatan seperti itu tidak
wajar mendapat hurmatul mushaharah.
b. Pendapat Imam Abu Hanifah, Ahmad ibn Hanbal dan Imamiyah menurut
riwayat yang masyhur. [11]
Memandang
bahwa perzinaan menetapkan hurmatul mushaharah, kebalikan dari pendapat
Syafi’i. Wanita yang berzina dengan
lelaki tersebut seolah-olah dalam hukum adalah istrinya, ibunya seolah-olah
mertua dan anak yang hasil zina dalam hukum adalah anaknya. Anak dari lelaki tersebut diharamkan
mengawini wanita itu karena ia dalam hukum adalah ibu tiri, menurut ayat
al-Qur’an yang berbunyi :
“jangalah kamu setubuhi wanita-wanita yang
telah disetubuhi oleh bapakmu, terkecuali pada masa yang sudah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah dan seburuk-buruk
jalan”.
Jadi
menurut ulama fiqh Hanafi ayat ini melarang menyetubuhi wanita yang disetubuhi
oleh bapak itu dengan akad nikah yang sah atau akad milkul yamin (membeli
budak) atau mendapatkannya karena warisan atau tawanan perang ataukah dengan
zina atau karena terjadinya kekeliruan (wathi subhat)...tegasnya akibat
dari persetubuhan itu sama dengan akibat yang ditimbulkan oleh akad nikah yang
sah.
c.
Pendapat
Imam Malik menurut qaul yang masyhur.[12]
Sependapat
dengan pendapat yang pertama (Syafi’i)
kecuali dalam hal anak yang hasil dari zina. Mengenai hukum anak ini adalah bahwa
perzinaan menetapkan hurmatul mushaharah. Menurut pendapat golongan ini bahwa anak zina
itu terjadi dari air maninya yang mana keadaannya tidak berbeda antara haram
dan halal dalam proses kejadiannya sebagaimana diketahui dari sabda Nabi
terhadap peristiwa Hilal bin Umaiyah yang dituduh berzina : “...lihatlah
anaknya nanti, kalau anak itu bentuknya serupa dengan si Syuraik bin Samha
(laki-laki yang menzinainya) maka ia adalah anak Syuraik (diriwayatkan oleh
Abu Daud). Hadis ini : “diharamkan
atasmu (mengawini) ibumu dan anak-anakmu yang perempuan”. [13]
ANALISIS DAN ARGUMENTASI
Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, dan Mahkamah Konstitusi secara resmi
dalam pembacaan Putusan Sidang Mahkamah Konstitusi tanggal 27 Februari 2012
atas permohonan uji materil terhadap Pasal 2
ayat (2) dan 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta
merujuk kepada berbagai tanggapan serta keberatan dari kalangan ulama dan umat
Islam terhadap finalty MK tersebut maka Penulis mencoba untuk mengkaji Putusan
MK tersebut dengan argumentasi dari berbagai sudut pandang.
Ditinjau
dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, penulis berpendapat bahwa putusan MK
tersebut merupakan apresiasi tertinggi terhadap hak-hak dasar kemanusiaan,
dimana negara berkewajiban untuk melindungi hak-hak dasar tersebut sebagai
wujud keadilan yang diberikan kepada seluruh masyarakat tanpa diskriminatif. Mahkamah Konstitusi telah memberi legalitas
hukum terhadap anak di luar nikah dengan ayah biologisnya, yakni adanya hubungan
darah antara anak dengan ayah biologisnya yang memiliki akibat hukum yaitu
hubungan keperdataan.
“Hubungan
keperdataan” yang dimaksud MK diartikan oleh MUI sebagai “memiliki hubungan
nasab”. Penulis berpendapat memang benar adanya hubungan nasab mengakibatkan
adanya hubungan keperdataan, tetapi tidak demikian dengan sebaliknya. Hubungan keperdataan tidak identik dengan
hubungan nasab. Hak-hak anak dan orang
tua yang memiliki hubungan nasab dijamin oleh undang-undang serta diakui oleh syari’at
agama, sedangkan hak-hak anak dan orang tua yang tidak memiliki hubungan nasab
tidak diakui dalam undang-undang maupun aturan agama (baca: syari’at Islam)
kecuali sebagian saja – anak hasil zina hanya bernasab ke ibunya. Pasal 43 UUP tidak dapat dipisahkan dengan
pasal 42 sebagai latar belakang munculnya pasal 43. Bunyi pasal 42 : “Anak sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Artinya bahwa anak yang dilahirkan di luar
perkawinan adalah anak yang bukan merupakan anak sah. Anak bukan sah meliputi anak hasil perkawinan
sirri, anak hasil zina, anak sumbang atau inces dan anak yang tidak dicatatkan
dalam akte kelahiran/instansi pencatat kelahiran yang ada di daerah hukum
pengadilan yang bersangkutan, baik sengaja maupun lupa mencatatkannya.
Dalam
kasus ini, Pemohon (Machica Moctar) sudah melakukan pernikahan secara sirri
sebagaimana bukti-bukti yang diserahkan ke MK berupa fhoto copy Penetapan
Pengadilan Agama Tangerang Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs.[14]
Hal yang dipermasalahkan adalah :
1. MK
dinilai memberikan putusan yang berlebihan atau melampaui permohonan yang
sekedar menghendaki pengakuan hubungan keperdataan atas anak dengan bapak hasil
perkawinan. Putusan yang diberikan meluas sampai menjangkau hubungan
keperdataan anak hasil zina dengan laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya.[15]
Dalam
hal ini Penulis berpendapat lain, MK sudah melakukan keputusan hukum pada
koridornya, yakni merubah hukum dengan kaca mata hukum, bukan dengan kaca mata
yang lain. Muhammad Iqbal Ramadhan, anak dari Aisyah Mochtar dengan Moerdiono menurut
perundangan yang berlaku di Indonesia termasuk anak di luar nikah, karena
terlahir di luar perkawinan yang sah.
Padahal dengan bukti dari Pengadilan Agama Tigaraksa orang tua mereka
sudah menikah secara sah menurut ajaran Islam. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
yang menyatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”, sehingga oleh karenanya pemikahan yang telah
dilakukan oleh Pemohon adalah sah.
Berdasarkan pasal tersebut maka Pemohon merasa dirugikan akan keberadaan
pasal 43 ayat 1 UUP No. 1 tahun 1974 yang menyatakan “Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya” padahal bagaimana mungkin seseorang yang telah dinyatakan sah
menurut agama, tidak dinyatakan sah oleh negara. Bagaimana mungkin anak yang terlahir dari
perkawinan yang sah menurut agama, tidak
bisa menasabkan dan mendapatkan hak-hak sebagai anak dari orang tuanya, dalam
hal ini adalah ayahnya.
Menurut
Undang-Undang MK pasal 51 ayat (1) bahwa syarat pengajuan uji materil adalah
Pemohon harus memiliki Kedudukan Hukum (Legal Standing) antara
lain Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia ; dan Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang. Oleh sebab itu
untuk mengakui adanya hak tersebut maka undang-undang harus memberikan
kepastian hukum dengan memasukkan hubungan keperdataan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena
jika tidak memasukkan ayah ke dalam
bunyi UU tersebut maka tidak akan merubah hubungan keperdataan.
2. Masalah
yang timbul kemudian dari putusan tersebut adalah adanya peluang bagi anak luar
nikah selain nikah sirri untuk mendapatkan hak yang sama dengan anak kandung,
selain itu MK dianggap seolah-olah melegalkan perzinaan.
Mengenai ini pun penulis berpendapat bahwa
dengan keputusan ini nampaknya MK hendak memberikan keadilan kepada siapa saja
manusia yang melakukan peristiwa hukum yang dengan peristiwa tersebut menimbulkan
akibat hukum, maka dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Memang tidak adil jika kesalahan yang
dilakukan oleh kedua belah pihak hanya ditanggung oleh seorang saja yaitu
perempuan, sedangkan pihak lain tertawa lebar atas kesalahannya karena terbebas
dari segala macam kewajiban yang harus dia lakukan. Oleh karena itu siapa pun
harus diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya itu. Hanya saja penulis belum tahu apakah dengan
adanya hubungan perdata, anak tersebut dianggap anak sah atau bukan.
3.
Apakah
keputusan MK bertentangan dengan shari’at ?
Untuk
menjawab hal ini Penulis akan merujuk kepada pendapat para ulama Imam madzhab
yang sudah dikemukakan sebelumnya. Akan
tetapi sebelumnya, Penulis ingin menyampaikan terlebih dulu tentang
karakteristik fikih, ijtihad dan shari’ah.
Setiap
negara memiliki aturan, norma dan kebutuhan hukum masing-masing. Demikian juga
Indonesia, negara ini memiliki kebutuhan hukum yang mengatur masyarakatnya baik
dalam tatanan bernegara maupun beragama.
Dalam konteks negara yang religius, agama seringkali menjadi barometer
penerapan undang-undang, karena itu isu-isu negara sering kali dihubungkan
dengan agama. Bentuk penerapan hukum
seperti ini Penulis namakan sebagai Fikih Indonesia.
Menurut
Syamsul Anwar, fikih mempunyai dua arti, yaitu ilmu hukum (jurisprudence)
dan hukum itu sendiri (law). Dalam arti pertama, fikih adalah ilmu
hukum Islam, yaitu suatu cabang studi yang mengkaji norma-norma shariah dalam
kaitannya dengan tingkah laku konkrit manusia dalam berbagai dimensi hubungan.
Dalam arti kedua, fikih adalah hukum Islam itu sendiri, yaitu kumpulan
norma-norma atau hukum-hukum shara’ yang mengatur tingkah laku manusia dalam
berbagai dimensi hubungan, baik hukum-hukum itu ditetapkan langsung di dalam Al-quran
dan Sunnah Nabi saw, maupun yang merupakan hasil ijtihad, yakni interpretasi
dan penjabaran oleh para ahli hukum Islam (fuqaha) terhadap dua sumber hukum
tadi.[16]
Adapun Shari’ah sebagaimana
diuraikan oleh A. Mukti Arto Hakim Tinggi/WKPTA Ambon merupakan peraturan hukum konkrit yang bersifat relatif, konkrit,
temporer, dan lokal. Ia bersifat dinamis logis transedental. Dinamis berarti mengikuti kebutuhan kemaslahatan yang terus
berkembang. Terhadap peraturan hukum konkrit ini berlaku kaidah-kaidah hukum
bahwa:
a. “hukum
itu berkembang bersama illatnya,”
b. “perubahan
hukum dapat terjadi karena perkembangan era dan area,”
c. “hukum
itu mengikuti kemaslahatan yang paling unggul.”
Logis berarti
berdasarkan pada hukum berfikir benar agar menghasilkan kebenaran. Transendental
berarti berpijak pada nilai-nilai dasar shari’ah Islam yang ditetapkan
dalam wahyu Ilahi agar menghasilkan kebenaran Ilahiyah. Hal inilah yang membuat
shari’ah Islam selalu selaras dengan perkembangan era, area, dan suasana, yakni
cocok untuk segala zaman dan tempat صالح لكل زمان ومكان menuju
maslahat yang paling unggul yang bermuara pada terwujudnya al-maqasid
al-khamsah. Penjabaran hirarkis
hukum Islam dan perumusan maqasid al-shari’ah ini sangat bermanfaat dalam
rangka pengembangan hukum Islam demi pelayanan hukum dan keadilan bagi
masyarakat.[17]
Keberanjakan
fikih dari madzhab yang satu menjadi madzhab yang lain, merupakan hal yang
biasa terjadi dalam masyarakat Islam.
Demikian juga dengan fikih Indonesia, Indonesia menerapkan hukum yang
sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan yang lebih unggul. Dalam Kompilasi
Hukum Islam misalnya, aturan-aturan yang diterapkan merupakan hasil dari pendapat
ulama dan diambil dari pendapat yang dianggap sesuai untuk konteks
keindonesiaan. Oleh karena itu untuk
menjawab pertanyaan di atas tadi, Penulis ingin menyampaikan bahwa
aturan-aturan yang diperuntukan bagi umat Islam di Indonesia sangat dipengaruhi
oleh corak pemikiran Imam Mazhab yang dianut mayoritas muslim Indonesia yaitu
Syafi’i. Misalnya dalam permasalahan
tentang anak di luar nikah (baca : zina) menurut Imam Syafi’i tidak memiliki
hubungan nasab dengan ayah biologisnya (rujuk kembali pendapat Imam Syafi’i),
sehingga fatwa-fatwa yang dikemukakan ulama Indonesia menurut Penulis berkiblat
kepada pemikiran Syafi’i. Kemudian
Penulis berpendapat bahwa keputusan yang diambil MK tidaklah bertentangan
dengan Shari’at Islam karena dari beberapa pendapat ulama Mazhab - Abu Hanifah,
Ahmad ibn Hanbal dan Imamiyah menurut riwayat yang masyhur – ada yang berpendapat
bahwa akibat dari persetubuhan itu (zina) sama dengan akibat yang ditimbulkan
oleh akad nikah yang sah berdasarkan dalil-dalil yang telah diuraikan di atas
tadi.
Selain itu hadis-hadis yang dikemukakan oleh
para ulama dalam mengemukakan dalil-dalil pengharaman anak bernasab ke ayah
biologisnya, ternyata masuk ke wilayah ihktilaf para ulama mazhab. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena
terjadinya perbedaan ulama dalam mengartikan lafaz firasy, dalam hadist
nabi : الولد للفراش... “anak itu bagi
pemilik tilam ...”. Mayoritas ulama mengartikan lafadz firasy menunjukkan
kepada perempuan, yang diambilkan ibarat dari tingkah iftirasy (duduk
berlutut). Namun ada juga ulama (Hanafi)
yang mengartikan kepada laki-laki
(bapak).[18]
Dari uraian tersebut dapat diartikan bahwa Ijtihad
yang dilakukan oleh MK dapat dibenarkan dengan minimal dua alasan, pertama,
karena ia sebagai Hakim, yang dibolehkan oleh perundang-undangan maupun
shari’at agama untuk melakukan ijtihad. Kedua,
karena ia harus memutuskan perkara yang sampai kepadanya (sampai kepada Hakim).
Kesimpulan
Pada tanggal 27 Februari 2012 Mahkamah
Konstitusi (MK) membacakan hasil keputusan tentang uju materil mengenai UU No.
1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 2 dan pasal 43 ayat 1, dan
keputusannya adalah mengabulkan sebagian gugatan dan menolak sebagiannya. Permohonan yang ditolak adalah pasal 2 ayat 2
yang berbunyi “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku” dengan argumentasi bahwa alasan yang
dikemukakan para Pemohon tidak beralasan secara hukum. Adapun Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang
menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” dianggap oleh MK merupakan
pasal yang bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally
unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat
tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Putusan MK tersebut mendapat tanggapan
yang beragam di masyarakat. Ada yang pro
dan ada pula yang kontra. Keputusan
tersebut dianggap oleh kelompok yang setuju sebagai keputusan yang cerdas, memberikan
jaminan dan kepastian hukum serta langkah maju di bidang reformasi hukum.
Adapun kelompok yang tidak setuju beranggapan bahwa keputusan MK tersebut dapat
menimbulkan dampak buruk bagi kesakralan lembaga pernikahan dan dianggap
sebagai keputusan yang berimplikasi melegalkan perzinaan dengan menghadirkan berbagai
argumentasi dari berbagai sudut pandang.
Dalam
hal ini Penulis mencoba untuk meneliti perundang-undangan yang terkait dengan putusan
MK tersebut dengan mengumpulkan data-data persidangan, mempelajari
perundang-undang yang terkait dengan permasalahan tersebut, serta mencari
dalil-dalil agama dari literatur fikih Islam, dan dari hasil penelitian
tersebut Penulis berkesimpulan bahwa keputusan MK tersebut tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Dilihat dari
kedudukan hukum MK maka keputusan MK tersebut mempunyai kekuatan mengikat dan
final, tidak dapat dilakukan usaha banding, oleh karena itu bagi pihak-pihak
yang pro maupun kontra untuk sama-sama menghargai putusan tersebut sebagai
produk hukum Indonesia. Semangat MK untuk memberikan keadilan kepada
masyarakat, melindungi hak-hak dasar anak, menghindari sikap diskriminatif,
memberikan perlindungan hukum atas asal usul anak, dan memberikan hukuman
materil secara ekplisit serta hukuman moral secara implisit kepada para pelaku
yang melanggar hukum agama – karena melakukan perzinaan maupun melanggar hukum
negara dengan tidak mencatatkan pernikahannya - perlu mendapatkan apresiasi
yang tinggi. Ihtibar yang dapat diambil
dari keputusan MK tersebut adalah perkawinan yang sakral jangan dinodai dengan
perbuatan yang amoral jika tidak mau berakibat buruk bagi masa depan diri,
keluarga dan keturunan. Wallahua’lam.
[1] Mahkamah
Konstitusi. Risalah Sidang Perkara
Nomor 46/PUU-VIII/2010, 26 Juli 2010, h. 4.
[2]
Mahkamah Konstitusi. Risalah Sidang
Perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010, 1 Des 2010, h. 4.
[3]
Mahkamah
Konstitusi. Risalah Sidang Perkara
Nomor 46/PUU-VIII/2010, 1 Des 2010, h. 5.
[4]
Mahkamah Konstitusi. Risalah Sidang Perkara
Nomor 46/PUU-VIII/2010, 1 Des 2010, h. 5.
[5]
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, h. 21-23.
[6]
Putusan MK Nomor
46/PUU-VIII/2010, h. 27-29.
[7]
Pendapat
sebagian besar Hakim Konstitusi kecuali Hakim Maria Farida Indrati yang
mempunyai pendapat yang berbeda dengan delapan Hakim lainnya.
[8]
Putusan MK Nomor
46/PUU-VIII/2010, h. 33-36.
[9]
Tanggapan MUI
terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VII/2010 Pengujian UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, h. 4-5.
[10] Ibrahim Hosen.
Fiqh Perbandingan, Jakarta : Balai Penerbitan & Perpustakaan Islam
Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia, Jilid 1, 1971, h. 68.
[11] Ibrahim Hosen,
h. 69.
[12] Ibrohim Hosen,
h. 70.
[13] Ibrohim Hosen,
h. 70-71.
[14]
Pemikahan yang
telah dilakukan oleh Pemohon adalah sah dan hal itu juga telah dikuatkan dengan
Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) sebagaimana tercantum dalam amar Penetapan atas Perkara Nomor
46/Pdt.P/2008/PA.Tigaraksa., tanggal 18 Juni 2008, halaman ke-5, alinea ke-5
yang menyatakan: "... Bahwa pada tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta
telah berlangsung pemikahan antara Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica
binti H. Mochtar Ibrahim) dengan seorang laki-laki bernama Drs. Moerdiono, dengan
wali nikah almarhum H. Moctar Ibrahim, disaksikan oleh 2 orang saksi,
masing-masing bernama almarhum KH. M. Yusuf Usman dan Risman, dengan mahar
berupa seperangkat alat shalat, uang 2.000 Riyal (mata uang Arab), satu set
perhiasan emas, berlian dibayar tunai dan dengan ijab yang diucapkan oleh wali
tersebut dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama Drs. Moerdiono (Putusan MK
No. 46 PUU 2010), h. 3.
[15] Lihat
Tanggapan Majelis Ulama Indonesia, h. 2.
[16] Syamsul Anwar,
Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teoeri Akad dalam Fikih Muamalat,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, h. 5-6.
[17] Bahan diskusi
hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon bersama Pejabat Kepaniteraan pada tanggal 16
Maret 2012 di Auditorium PTA Ambon.
[18] Jalaluddin
al-Mahalli. al-Qulyuby wa Umarah,
(Semarang : Maktabah Putra Semarang), t.th,
Juz III, h. 31.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Masukan Kritik dan Saran Anda