Gerakan pembaharuan bertitik tolak dari asumsi dasar bahwa Islam
sebagai realitas dalam lingkungan sosial tertentu tidak sesuai lagi atau bahkan
menyimpang dari apa yang dipandang sebagai Islam yang sebenarnya, yaitu Islam
yang lebih sesuai dengan ideal, sesuai dengan cara pandang, pendekatan, latar
belakang sosio-kultural dan keagamaan individu, dan kelompok pembaharuan yang
bersangkutan.[1]
Pembaharuan di bidang hukum pun
menunjukkan hal yang sama, di beberapa negara Islam misalnya, hukum keluarga
mengalami perkembangan yang dianggap jauh dari shari’at Islam karena sudah
tidak sesuai lagi dengan pendapat Imam Mazhab yang mereka anut. Hukum keluarga di negara tertentu sudah jauh
beranjak dari hukum Islam yang sebenarnya.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai pembaharuan hukum
keluarga Islam di empat negara yaitu Pakistan, Yordania, Mesir dan
Malaysia. Pembaharuan tersebut hanya
difokuskan pada regulasi batas usia pernikahan di keempat negara tersebut. Tujuannya adalah untuk membandingkan regulasi
batas usia tersebut secara vertikal (mengkaji permasalahan dengan menyertakan
dalil secara tekstual yang berasal dari nash atau sumber hukum yang
lainnya). Penulis akan membahas wajah
istidlal dari sumber-sumber hukum tersebut. Selanjutnya penulis akan menguraikan secara
horizontal bagaimana regulasi batas usia pernikahan diterapkan di empat negara
tersebut, dengan memaparkan konteks sosio-kultural, politik serta historis
masing-masing negara sehingga dapat membantu mendeskripsikan serta
menghubungkan alasan filosofis penerapan hukumnya.
Kemudian penulis akan menganalisis sejauh mana keberanjakan hukum tersebut
dari fikih munakahat atau dari pemikiran Imam Mazhab yang dianut oleh
masing-masing negara itu. Dalam proses
analisis tersebut penulis menyertakan beberapa metodologi yang digunakan oleh
masing-masing negara sebagai kerangka pemikiran teoritis.
PEMBAHASAN
Polemik seputar pernikahan anak di bawah umur saat ini menjadi salah
satu masalah krusial. Perdebatan batas
minimal seseorang untuk melangsungkan pernikahan disinyalir sebagai salah satu pemicu
polemik tersebut. Kontroversi antara
kaum konservatif yang cenderung memegang teguh pada konsep literatur teks dan
kaum reformis yang cenderung memahami teks nash secara kontekstual menjadi
perdebatan panjang yang berujung pada perbedaan penerapan hukum di sejumlah
negara. Sebagian ulama Islam konservatif
menolak adanya pembatasan umur dengan alasan menjaga terjadinya sikap amoral,
seks bebas karena terlalu jauh antara usia baligh
dengan usia kebolehan menikah, dan menjaga keturunan. Dalil yang sering
dikemukakan oleh kaum konservatif antara lain dengan berpegang kepada literatur
fikih yang menyatakan bahwa “diperbolehkan terjadinya perkawinan antara laki-laki
dan perempuan yang masih kecil” atau “boleh menikahkan lelaki yang masih
kecil dengan perempuan yang masih kecil”.[2] Bahkan dalam sejumlah literatur fikih
ditemukan diktum yang lebih ekstrem lagi misalnya : “Bila seorang laki-laki
mengawini seorang perempuan yang masih kecil, kemudian si isteri disusui oleh
ibu si suami, maka isterinya itu menjadi haram baginya.”[3] Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan
yang masih bayi dapat melangsungkan pernikahan. Imam Jalaludin Suyuthi pernah menuliskan dua
hadis yang cukup menarik dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada
tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya,
ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang
setara/kafaah”.[4] Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab
taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan
tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan
atas orang tuanya”.[5]
Ada beberapa
argumentasi yang mendasari perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah
sah atau tidaknya menikahkan perempuan yang masih kecil atau belum dewasa oleh
bapaknya, antara lain sebagai berikut :
1. Jumhur Ulama
berpendapat bahwa tidak ada batasan umur seseorang untuk menikah. Dalil (1), Surat at-Thalaq ayat 4 :
وَاللّائِى يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيْضِ
مِنْ نِسَائِكمُ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائَى
لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجْلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ
يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا (الطلاق : ٤)
“Dan mereka
yang putus haidnya dari isteri-isterimu kalau kamu ragu, maka iddah mereka itu
adalah 3 bulan, demikian juga mereka yang tidak berhaid.”
Wajah Istidlal
ayat tersebut adalah :
·
Ayat ini menjelaskan bahwa iddah wanita yang sudah
putus darah haidnya dan wanita yang belum berhaid adalah 3 bulan.
·
Gadis yang masih kecil (belum dewasa) termasuk dalam
golongan wanita yang belum haid.
·
Adanya iddah menunjukkan adanya talak yang didahului
oleh persetubuhan. Adanya talak menunjukkan adanya akad nikah, hal mana
menunjukkan akad nikah gadis yang belum berhaid karena ia masih kecil.[6]
Dalil (2), Hadis riwayat Bukhari Muslim :
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِىَ اللهُ عَنْهَا :اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِيْنَ وَادْخِلَتْ
عَلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِيْنَ وَمَكَسَتْ عِنْدَهُ تِسْعًا (رواه بخارى
و مسلم)
“Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah
menikahinya sedang ia masih berumur enam tahun dan ia diserahkan kepada Rasul ketika
umurnya sembilan tahun dan ia tinggal bersama Rasul selama sembilan tahun.”
Menurut adat kebiasaan usia enam atau tujuh tahun
adalah belum dewasa dan belum dapat disetubuhi.
Peristiwa perkawinan Rasul dengan Siti Aisyah dalam umur demikian itu tidaklah
dapat dipandang khususiyah bagi Rasul tanpa dalil, karena kalau ada dalil
khususiyah niscaya tidak akan terjadi pernikahan antara Qudamah bin Mahzhum
dengan putri Zubair yang baru lahir, dan pernikahan Umar bin Khattab dengan
puteri saidina Ali yang masih kecil yang namanya Ummu Kulsum.
Ibnu Syubrumah memandang pernikahan Nabi saw dan
Aisyah mengandung ihtimal khusushiyah yang oleh karenanya tidak dapat dijadikan
dalil.[7]
Dalil (3), Hadis
Riwayat Tirmizi :
اِذَا اَتَاكُمْ
مِنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَاَ نْكِحُوْهُ اِلَّا تَفْعَلُوْهُ تَكُنْ
فِتْنَةٌ فِى الْاَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ (رواه ترمذى)
“Kalau datang kepadamu lelaki yang
agama dan akhlaknya kamu senangi, maka nikahkanlah ia, jika kamu tidak
melakukan niscaya akan terjadi fitnah dan kerusuhan besar”
Menurut akal, tiap-tiap ada kesempatan untuk
mendapatkan jodoh yang sekufu maka tidaklah wajar wali melepaskan kesempatan
itu karena wali harus mengutamakan kemaslahatan gadisnya, lebih-lebih jika wali
itu adalah bapaknya, satu-satunya manusia yang mengetahui dan menyantuni
anaknya, sedangkan agama mempermudah urusan pernikahan sebagaimana diketahui
dari hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi tersebut di atas.[8]
2. Ibnu Syubrumah
berpendapat bahwa gadis yang masih kecil (belum dewasa) termasuk dalam golongan
wanita yang belum berhaid tidak sah melakukan akad nikah. Dalil yang
dikemukakannya antara lain mengenai hadis yang melarang menikahkan gadis tanpa
izin si gadis.
عَنْ اَبِيْ هرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ : لَاتُنْكَحُ الْاَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْ
مَرَ وَلَاالْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ
اِذْنُهَا ؟ قَالَ : اَنْ تَسكُتْ. (جمعة اهل الحديث)
“Dari Abu Hurairah ra dari
Rasulullah saw beliau bersabda : tidak dinikahkan janda sehingga dimintakan
perintahnya dan tidak dinikahkan gadis sehingga diminta izinnya. Para sahabat
berkata : bagaimanakah izinnya hai Rasulullah ? Beliau menjawab : izinnya
adalah diamnya.” (HR. Jama’ah)
Wajah Istidlal
hadis tersebut adalah :
a. Hadis ini
mewajibkan wali (termasuk wali mujbir) meminta izin dari gadisnya sebelum
berlangsung akad nikahnya. Izin dari
gadis yang belum dewasa tidak dapat dianggap.
Oleh karena sahnya akad nikah tergantung pada izinnya sedangkan izin
dari orang yang belum dewasa tidak dapat dianggap, maka wajiblah atas wali
sampai gadisnya dewasa (Ibnu Syubrumah menurut riwayat ibnu Hazm).
b. Tujuan dari
pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan dan memelihara diri dari
kemaksiatan. Cara mendapatkan keturunan dan memelihara dari kemaksiatan
tentulah dengan jalan persetubuhan, sedang maksud utama ini hanya dapat
dilakukan terhadap gadis yang usianya telah memungkinkan untuk disetubuhi (Ibnu
Syubrumah menurut riwayat at Thahawy).[9]
3. Syafi’iyah dan
Ibnu Syubrumah : meminta izin dari gadis sunnah hukumnya bagi Bapak,
berdasarkan hadis Abu Hurairah di atas.[10]
4. Hanafiyah : berdasarkan
hadis Abu Hurairah di atas meminta izin dari gadis wajib hukumnya, hanya saja
karena masih kecil maka haknya dijalankan oleh Bapak. [11]
Pembaharuan
Hukum Islam di Negara Muslim
Reformasi
atau pembaharuan hukum Islam di beberapa Negara Muslim banyak mengalami
kemajuan, terutama dalam hukum keluarga. Pembaharuan tersebut dilatarbelakangi
oleh banyak faktor antara lain pemahaman fikih Islam yang mereka adopsi dari
masing-masing Imam Mazhab yang berkembang di masing-masing negara Islam atau
negara berpenduduk muslim. Pembaharuan
itu pun tidak dapat terlepas dari faktor-faktor sosio-kultural, ekonomi maupun
politik yang dihadapi oleh tiap-tiap Negara, selain pengaruh dari sistem hukum
penjajah yang pernah menguasai negara tersebut.
Negara-negara
Islam atau berpenduduk muslim secara umum dapat dikategorikan ke dalam dua
kelompok besar yaitu kelompok negara-negara Islam atau berpenduduk muslim
kategori penganut mazhab fikih tertentu yang jumlahnya lebih banyak, dan
kelompok negara-negara Islam atau berpenduduk muslim yang tidak menganut mazhab
fikih tertentu yang jumlahnya relatif lebih sedikit.[12] Kategori pertama diartikan sebagai
negara yang tidak mewajibkan penduduknya menganut mazhab fikih tertentu, contoh
negara pada kategori ini adalah Republik Arab Libya. Dasar filosofisnya antara lain karena Libya
lebih menitikberatkan pemahaman agama Islam kepada al-Qur’an dan Hadis sebagai
sumber hukum utama, sedangkan pendapat para ulama termasuk ulama mazhab fikih
ditempatkan sebagai sarana untuk membantu memahami Nash. Kategori kedua diartikan
sebagai negara yang mewajibkan atau mengarahkan penduduknya menganut mazhab
fikih tertentu, contoh negara pada kategori ini adalah negara-negara Arab-Islam
yang tergabung dalam United Arab Emirates (UAE) kecuali Dubai dan Abu Dhabi. Selain dua kategori tersebut ada pula negara
yang menganut dua kategori sekaligus yaitu Mesir. Mesir adalah negara yang pada satu sisi
memerintahkan masyarakat muslimnya supaya bermazhab, tetapi pada saat bersamaan
penduduknya dipersilahkan untuk memilih salah satu mazhab dari empat mazhab
fikih yang pada umumnya banyak dianut oleh muslimin di seluruh dunia.[13]
Hukum keluarga
dalam tataran fikih cenderung mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Amir Syarifuddin misalnya mengemukakan tentang reformasi
atau pembaharuan hukum atau fikih Islam sebagai berikut :
1. Fikih adalah ilmu tentang pelaksanaan hukum shar’i. Fikih adalah ilmu
tentang pelaksanaan hukum shar'i secara praktis yang berpedoman dari dalil yang
rinci.
2. Sejarah mengemukakan bahwa fikih pernah mengalami perubahan dan
perkembangan.
3. Tempat dan waktu menjadi faktor yang mempengaruhi formulasi fikih.
4. Masa kini perlu reformulasi fikih melalui kajian reinterpretasi al-Qur'an
dan Sunnah Nabi SAW.
5. Reformulasi tidak dilakukan dalam persoalan akidah dan ubudiyah yang sudah
diatur secara rinci dan qath'i.
6. Reformulasi perlu dilakukan secara kolektif melibatkan ahli-ahli lain yang
berkaitan.
7. Reformulasi masa kini sudah dipraktekkan dan diberlakukan di seantero
negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam.[14]
Selain itu fakar hukum M. Atho Mudzhar mengemukakan bahwa setidaknya ada
empat hal sebagai pertimbangan untuk melakukan pembaharuan hukum Islam antara
lain :
1. Fikih harus dipandang sebagai
produk dominan akal.
2. Adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari
masyarakat muslim.
3. Adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan
yang tidak konvensional dari pasangan-pasangan tersebut.
4. Memahami faktor-faktor sosio-kultural dan politik yang melatarbelakangi
lahirnya produk pemikiran fikih tertentu. [15]
Dari pernyataan yang di kemukakan oleh para pakar hukum tersebut dapat
dipahami bahwa pembaharuan atau reformasi hukum Islam dapat dilakukan oleh
siapa pun dengan syarat-syarat tertentu, karena fikih merupakan produk akal
yang tidak dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan tidak dapat berubah,
apalagi jika dalam konteks tertentu masyarakat sudah sangat membutuhkan hukum baru
sedangkan hukum lama yang dianggap mapan sudah tidak lagi mampu menjawab
tantangan kemajuan zaman, maka dalam kondisi seperti ini pembaharuan hukum
Islam sudah dapat dipastikan tidak akan dapat terelakan lagi.
Masalah yang sering menjadi perdebatan
dalam pembaharuan hukum Islam dalam hal
ini hukum keluarga adalah karena hukum keluarga sering dianggap sebagai inti
dari ajaran shari’ah yang diakui sebagai landasan pembentukan masyarakat
muslim. Oleh karena itu pembaharuan
hukum Islam di bidang keluarga selalu mengundang pro dan kontra di kalangan
kaum konservatif dan kaum reformis. Ada
yang mempertahankan hukum keluarga apa adanya, ada juga yang merubahnya bahkan
meninggalkannya. Tahir Mahmood misalnya
mengklasifikasikan beberapa negara muslim dalam kaitannya dengan pembaharuan
hukum keluarga ke dalam tiga kategori yaitu :
1. Negeri muslim
yang masih tetap mempertahankan hukum keluarganya secara apa adanya sebagaimana
tertuang dalam kitab-kitab fikih klasik seperti negara Saudi Arabia, Qatar,
Yaman, Bahrain dan Kuwait.
2. Negeri muslim
yang telah meninggalkan hukum fikih klasik dan mengantikannya dengan hukum
sipil Eropa seperti yang dilakukan oleh Turki dan Albania.
3. Negeri muslim
yang dalam memberlakukan hukum keluarga Islam melakukan modifikasi dan
perubahan di sana-sini agar sesuai dengan kemaslahatan warganya ini adalah yang
dilakukan oleh kebanyakan negara-negara muslim seperti, Sudan, Irak, Aljazair,
Maroko, Tunisisa, Pakistan, Indonesia, Yordania dll.[16]
Regulasi Pembatasan Usia Perkawinan di Negara Islam atau
Berpenduduk Muslim.
Hampir semua
negara Islam atau negara berpenduduk muslim mencantumkan batasan usia minimum
pernikahan dalam Undang-undang Perkawinannya.
Pembatasan tersebut dimaksudkan untuk menakar kesiapan, kedewasan serta
kesiapan mental seseorang dalam memikul
tanggung jawab. Pembatasan usia pada dasarnya untuk mewujudkan pernikahan yang
sesuai dengan maqosidus al-shariah di antaranya adalah tercapainya
kemaslahatan.
Walau pembatasan
usia menuai pro dan kontra khususnya di kalangan umat muslim tetapi pembatasan
usia pernikahan disinyalir banyak membawa manfaat. Pembatasan usia dimaksudkan untuk menghindari
adanya pernikahan anak pada usia dini.
Pernikahan anak di bawah umur dapat berdampak terhadap pesatnya laju
pertumbuhan penduduk di dunia, bertambahnya angka kemiskinan, kesehatan dan mental, serta eksploitasi
seksuil anak. UNICEF misalnya, setelah
meneliti lebih dari 48 negara di dunia, mengklaim pernikahan anak di bawah umur
sebagai praktek tradisional yang sangat berbahaya.[17] Bahkan secara khusus perkawinan anak
di bawah umur atau early marriage kini tengah menjadi sorotan dan
keprihatinan dunia internasional, karena sederet resiko dan bahaya yang ditimbulkannya,
antara lain :
1.
Kematian ibu (maternal
mortality) di usia muda akibat kehamilan prematur (premature pregnancy)
2.
Buta aksara (illiterate)
karena tidak mengenyam bangku pendidikan dasar (primary education).
3.
Terjangkit problem-problem
kesehatan (health problems) sebab tidak familiar dengan isu-isu dan
layanan-layanan kesehatan reproduksi yang bersifat dasar (basic reproductive
health issues and services).
4.
Mengalami kekerasan rumah tangga
(abuse and violence).
5.
Hidup dalam lingkaran kemiskinan
(the cycle of poverty).[18]
1. Pakistan
Pada
tahun 1947 Pakistan memproklamirkan diri sebagai Negara Islam. Pembagian
wilayah sub-benua India pada tahun 1947 menghasilkan Pakistan yang terbelah
dua. Pakistan Barat (Pakistan sekarang)
terletak di batas barat India, sedangkan Pakistan Timur (Banglades sekarang)
terletak di sebelah timur India.
Konstitusi tahun 1956 berupaya menjembatani celah geografis dari
Pakistan yang terbelah secara fisik ini dengan memberikan Pakistan Timur dan
Barat representasi yang seimbang di Dewan Nasional. Namun pada tahun 1958 Jendral Ayub Khan
membatalkan Konstitusi dan membubarkan Dewan Nasional kemudian memproklamirkan
hukum peperangan.[19]
Pasca
kemerdekaan, perebutan ideologi pun terjadi setelah mereka kehilangan
status istimewa ketika Inggris digantikan oleh India sebagai penguasa Mughal. Muslim India merasakan ketidakamanan budaya
dan politik di bawah kekuasaan kolonial. Secara kultural, muncul
perpecahan antara tradisi Aligarh - yang seimbang dan selektif,
merangkul gagasan-gagasan Barat modernitas dan tetap mempertahankan identitas
Islam – dengan tradisi Deoband, yang menolak adat istiadat Barat
sebagai penyimpangan dari ortodoksi agama. Secara politik, Muslim India dibagi
menjadi tiga kelompok utama. Kelompok pertama, berafiliasi dengan
Partai Kongres India, yang menganjurkan nasionalisme teritorial. Kelompok
kedua, berafiliasi dengan All-India Muslim League yang dipimpin oleh
Muhammad Ali Jinnah dan berpendapat
bahwa umat Islam memiliki identitas khusus yang akan dihapus dalam mayoritas
Hindu-India. Kelompok ketiga, partai-partai keagamaan – termasuk
Liga Muslim - yang menentang terpisahnya Negara Muslim, untuk menghindari
terbaginya umat Islam. Pada akhirnya, pergulatan politik
antara ketiga kelompok tersebut dimenangkan oleh Liga Muslim Pakistan.[20]
Puncak perdebatan
ideologis tersebut melahirkan Pakistan baru sebagai bagian dari tujuan Resolusi
pada tahun 1949. Dalam Resolusi tersebut tercermin prinsip-prinsip
konstitusi masa depan Pakistan, terutama mengenai prinsip-prinsip demokrasi,
kebebasan, kesetaraan, dan toleransi sesuai dengan ajaran dan persyaratan Islam
sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Resolusi ini kemudian menjadi
inti dari negara Pakistan dalam banyak hal, antara lain hubungan formal
antara Islam dan Pakistan, namun hal ini diyakini sebagai manipulasi dan
distorsi agama untuk kepentingan politik dan strategis sebagai tema sentral
dalam narasi Islam Pakistan.[21]
Dalam
konteks hukum, perkembangan hukum Islam di Pakistan mengalami pasang surut. Pakistan pada mulanya menjadi rujukan
negara-negara yang berpenduduk Islam karena banyak Negara yang beranggapan
bahwa konsep Negara Islam dipercaya dapat memperbaiki tatanan kehidupan
bernegara dalam suatu Negara yang semakin terdesak oleh arus modernisasi
sekuler dan kekuatan-kekuatan ekonomi liberal. Namun fakta membuktikan bahwa konsep ideal Negara
Islam tersebut sangat sulit untuk diwujudkan, Islam Pakistan menghadapi
rintangan yang cukup berat dan menjumpai
kesulitan yang luar biasa untuk menciptakan sebuah negara Islam yang
egalitarian di pascakolonial. Konplik yang berlangsung terus-menerus antar
sesama muslim menjadikan Islam seolah-olah tidak berdaya menjadi mediasi di
kalangan umat Islam sendiri. Selain itu
konplik suku, kudeta militer, sengketa
politik para elite politik, memperlihatkan dengan jelas kepada dunia kondisi
sosio-kultural yang ada di Pakistan.
Pakistan pun gagal menerapkan prinsip-prinsip hukum Islam. Dalam
pemerintahannya, Pakistan sudah menerapkan beberapa kali hukum Islam seperti
pada era kepemimpinan Zulfikar Ali Bhutto dengan adanya pelarangan judi dan
alkohol. Kemudian pada masa Jendral Zia
Ul-Haq dengan menerapkan hukum hudud bagi pezina sekalipun hukum tersebut tidak
menyenangkan kaum liberal. Adapun dalam hukum keluarga, Pakistan memberlakukan
Reform and Protection of Personal Law 1947-1987 yang mana aturan dari hukum
keluarga tersebut tidak terlepas dari paham masyarakat muslim Pakistan yang sebagian besar adalah pengikut
Mazhab Hanafi.
Ketentuan
Usia Pernikahan dan Sanksi.
Ketentuan seseorang untuk
melangsungkan pernikahan diatur dalam Ordonansi nomor 8 tahun 1961 :
1. Batasan umur pria yang dibolehkan dalam melaksanakan perkawinan
berumur 18 tahun sedangkan perempuan adalah 16 tahun.[22]
2. Anak yang menikah di bawah umur tersebut dapat dipenjara 1 bulan
atau denda maksimal 1000 rupee atau hukuman kedua-duanya.[23]
3. Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada siapapun
yang menyelenggarakan atau memerintahkan
hal pernikahan anak di bawah umur.[24]
4. Hukuman yang sama pun berlaku bagi mereka - setiap pria baik
sebagai orang tua atau wali atau pihak lain yang punya kapasitas/ berhak
menurut hukum atau tidak - yang menganjurkan, atau mengizinkan dilangsungkannya
pernikahan, atau lalai mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur.[25]
5. Bagi setiap pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang
dikeluarkan Pengadilan (terkait pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu
keputusan tersebut melarang perbuatan
yang dilakukannya dapat dijatuhi hukuman
penjara maksimal 3 bulan.[26]
2.
Yordania
Nama asli Yordania adalah
Trans Yordania, lahir pada abad ke 20 dalam konferensi San Remo, April 1920, di
bawah mandat Inggris. Pada tanggal 15 Mei 1923 Inggris menyerahkan pemerintahan
Trans Yordania kepada Amir Abdullah. Kemudian beliau menjadi raja pertama untuk
negara Yordania. Meskipun demikian, dalam urusan pertahanan hubungan luar
negeri dan keuangan tetap berada dalam kekuasan Inggris. Pada bulan April 1950, Raja Abdullah mengubah
nama kerajaannya menjadi Mamlakah Al-Urduniyah Al-Hasyimiyah. Namun pada tahun
20 juli 1951, beliau dibunuh oleh seorang berkewargaan Palestina yang tidak
menyetujui rencananya untuk membuat perdamaian dengan Israel. Padahal
sebelumnya pada tahun 1948 beliau telah berhasil merebut tepi barat Palestina
termasuk Jerussalem (Al-Quds) dari tangan Israel. Tahta kerajaan kemudian
dipegang oleh Raja Thalal, putranya. Namun karena alasan kesehatan maka pada
tanggal 20 juli 1952 beliau menyerahkan tahta kerajaan kepada putranya, Husein, yang kala itu masih berusia 17
tahun. Raja Husein menjadi raja Yordania hingga wafat pada tanggal 07 februari
1999.[27]
Sesuai dengan pasal 28
konsitusi Yordania, maka Raja Husein diganti oleh putranya, Pangeran Abdullah
II, yang hingga saat ini masih menjadi raja Yordania. Menurut silsilah, Raja
Abdullah II ini merupakan garis keturunan langsung ke-43 dari Nabi Muhammad saw
dari Bani Hasyim melalui Sayidina Hasan,
putra pertama Sayidina Ali bin Abi Thalib dengan Sayidah Fatimah binti Muhammad
saw. Maka atas dasar tersebut pula kerajaan Yordania dinamai Al-Mamlakah
al-Urduniyah al-Hasyimiyah.[28]
Pemerintahan Yordania
menganut sistem Monarki Konstitusional. Tahta kerajaan merupakan warisan
turun-temurun yang dipegang oleh keluarga Hasyimiyah. Pemerintahan dijalankan
oleh kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri yang diangkat oleh raja dan
tidak dibatasi oleh waktu yang tetap. Sedangkan
parlemen yang terdiri dari Majelis Rendah dipilih melalui pemilihan secara
langsung dan Majelis Tinggi yang dipilih secara tidak langsung. Terdapat dua
partai politik yang mana partai pemerintahan adalah Hizbul Wathani sedangkan
partai oposisi Hizbul Islami. Penduduk
asli Yordania sangat sedikit dibandingkan dengan pendatang dari Palestina.
Diperkirakan 62% penduduk Negara Yordania berasal dari Palestina. Hal ini
terjadi karena pihak kerajaan membuka pintu dengan lebar bagi imigran Palestina
dan diberi kesempatan untuk menjadi warga Negara Yordania, terutama setelah
meletusnya pasca perang Arab-Israel pada tahun 1948. Yordania juga merupakan
sebuah negara Timur Tengah yang terkenal dengan “keamanannya”. Mereka mempunyai
budaya sama seperti masyarakat Arab pada umumnya, yang berpegang teguh pada
adat dan hidup bermarga. Bahasa
yang digunakan adalah bahasa Arab, dan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua.
Populasi penduduknya 5.460.265 pada tahun 2003, mayoritas memeluk agama Islam
Sunni.[29]
Adapun Hukum Keluarga
yang diberlakukan di Yordania adalah hukum keluarga Turki Usmani sampai
diberlakukannya Undang-undang Hak-Hak Keluarga No. 92 tahun 1951. Tahun 1951,
Yordania masih memberlakukan hukum keluarga Turki Usmani sampai diundangkannya
undang-undang hak-hak keluarga no. 92 tahun 1951. Undang-undang ini mengatur tentang perkawinan,
perceraian, mahar, pemenuhan nafkah bagi isteri dan keluarga, dan tentang
pemeliharaan anak. Undang-undang ini
sekaligus mencabut ketentuan-ketentuan yang terdapat pada hukum keluarga Turki
Usmani. Pada perkembangan selanjutnya, Undang-undang Hak-hak Keluarga tahun
1951 diganti dengan Undang-undang Status Personal Yordan 1976 (Undang-undang
No. 61 tahun 1976) yang disebut dengan Qanun al-ahkhwal al-Syakhsiyah. Undang-undang
ini didominasi oleh paham mazhab Hanafi sebagai hukum tidak tertulis yang masih
tetap berlaku. Amandemen berikutnya dilakukan pada tahun 1977 yang menghasilkan
Undang-undang no. 25 tahun 1977.[30]
Ketentuan
Usia Pernikahan dan Sanksi.
Aturan-aturan
penting dalam Undang-undang Hukum Keluarga No. 61 tahun 1976 beserta hasil
Amandemen Hukum No. 25 tahun 1977 mengenai usia pernikahan diatur dalam pasal 5
dan 6 yaitu : [31]
1. Pasal 5 : syarat usia perkawinan adalah 16 tahun bagi
laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan.
2. Pasal 6 : (1) Apabila perempuan telah mencapai usia 15
tahun dan mempunyai keinginan untuk menikah sementara walinya tidak mengizinkan
tanpa alasan yang sah, maka perempuan tersebut pada dasarnya tidak melanggar
prinsip-prinsip kafa’ah dan pengadilan dapat memberikan izin pernikahan. (2)
Demikian juga apabila laki-laki telah mencapai umur 18 tahun dan walinya
keberatan memberikan izin tanpa alasan kuat, maka pengadilan dapat memberi izin
pernikahan.
3. Pasal 7 : Pernikahan perempuan yang tidak mencapai
usia 18 tahun dengan seorang laki-laki yang lebih tua darinya 20 tahun tidak
dapat diizinkan kecuali pengadilan telah memastikan bahwa tujuan dan niatnya
diketahui dengan jelas.
3.
Mesir
Secara
geografis Mesir terletak di Afrika Utara.
Mesir adalah negara Arab terbesar dan terpenting dari segi budaya.[32] Peranan penting tersebut disebabkan oleh dua
faktor yakni letak geografis yang sangat strategis dan kesuburan lembah Sungai
Nil sebagai area pertanian. Letak Mesir yang strategis berada di pertemuan tiga
benua yaitu Afrika, Asia dan Eropa, menjadikannya pusat perdagangan yang
penting sekali serta menjadikannya negeri kaya sejak masa pemerintahan Dinasti
Fatimiyah, Ayubiyah dan zaman sultan-sultan Mamluk. Pada masa pemerintahan Bani Ayubiyah,
perniagaan Mesir dengan luar negeri semakin maju karena dengan adanya Perang
Salib negeri-negeri Islam timur mempunyai hubungan dagang dengan Eropa. Mesir sebagai suatu daerah Islam yang
mempunyai peranan yang amat besar bagi pengembangan Islam baik dalam
pengembangan daerah kekuasaan Islam, pengembangan ilmu pengetahuan bahkan alih
ilmu dan teknologi dari Eropa, maupun peran ekonomi dan perdagangan.[33]
Dalam
catatan sejarah, Mesir pernah diduduki oleh beberapa kerajaan yaitu dimulai dari masa Fir’aun, Yunani,
Romawi Khulafa ar-Rasyidin, Umayah, Mamlukiyah dan Utsmaniyah. Menurut AJ. Butler, pendudukan negara atau
kerajaan tersebut telah menyebabkan Mesir jatuh dalam situasi yang tidak
menguntungkan bahkan seluruh organisasi pemerintahan Mesir diarahkan dengan
tujuan memeras keuntungan bangsa terjajah untuk kepentingan penguasanya.[34]
Silih bergantinya penguasa di Mesir akan berakibat terjadinya asimilasi budaya,
politik, hukum dan lain-lain, bahkan menurut Thaha Husain mereka yang berada
dalam roda pemerintahan Mesir modern lebih cenderung mengikuti pola Raja Louis
di Perancis dari pada mengikuti pola Abdul Hamid di Turki. Mereka membentuk pengadilan-pengadilan negeri
dan memberlakukan hukum barat dari pada hukum Islam.[35]
Mesir adalah negara
Arab pertama yang melakukan reformasi dalam hukum keluarga. Pada awal sejarahnya penduduk Mesir menganut
mazhab Syafi’i kemudian setelah negara Mesir menjadi sebuah provinsi otonomi
pada masa Kaisar Ottoman mesir mengadopsi sistem mazhab Hanafi. Mesir mereformasi hukum dan administrasi
peradilannya sejak merdeka pada tahun 1873.
Tidak lama kemudian sebuah gerakan reformasi di berbagai bidang - sosial
ekonomi - diluncurkan di Negara ini. Reformasi yang paling menonjol adalah pada
masa Mufti Besar Muhammad Abduh, Shaikh Rashid Ridha dan Qasim Amin. Perubahan dalam aspek-aspek tertentu pada
hukum keluarga tradisional yang kemudian diaplikasikan dalam bentuk negara
sebuah bagian penting dalam reformasi ini.
Para reformis menyadari
bahwa prinsip-prinsip hukum keluarga yang terdapat pada mazhab tertentu sudah
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat Mesir, untuk itu tahun 1915
dibentuklah sebuah panitia yang dipimpin oleh Rektor Universitas Al-Azhar, Shaikh
Al-Maraghi untuk mereformasi hukum keluarga di Mesir. Hukum keluarga Islam di Mesir sekarang
berbeda dari hukum-hukum tradisional mazhab Hanafi dan Syafi’i. Langkah-langkah baru telah diambil untuk
kemudian menjadi aturan hukum Islam yang lengkap. Pada tahun 1920 hukum keluarga diberlakukan
di Mesir dan tahun 1929 dibuat rancangan hak-hak perempuan yang telah
menikah. Konstitusi tersebut mengatur
tentang pemeliharaan, perceraian, hukum pembubaran pernikahan, penyelesaian
perselisihan keluarga, kehamilan dan tahanan anak-anak. Ketentuan itu terdapat juga dalam mazhab
Maliki dan Syafi’i.[36]
Ketentuan
Usia Pernikahan dan Sanksi.
· Batas usia minimal perkawinan seseorang di Mesir dalam UU No. 56 tahun 1923
adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Perkawinan yang melanggar batas usia minimal
ini tidak akan dicatat (tidak terdaftar) dan pengadilan tidak mengakui dalam
hal pemberian bantuan apapun.
· Perkawinan tidak diakui oleh
pengadilan untuk tujuan pemberian bantuan apapun kecuali ada klaim yang
berhubungan hal-hal yang perlu dilegitimasi. Egyption Civil Code, Pasal 99
tahun 1931.
4.
Malaysia
Kekuasaan Malaysia terletak pada Yang
di-Pertuan Agong, sedangkan pelaksanaan eksekutif dilakukan oleh Perdana
Menteri. Kekuasaan negara terletak pada kerajaan pusat yang beribu kota di
Kuala Lumpur yang terdiri dari 13 kerajaan negeri federasi yaitu Johor, Kedah,
Kelantan, Malaka, Negeri Sembilan, Pahang, Perak, Perlis, Pulau Pinang, Sabah,
Serawak, Selangor dan Trengganu dan tiga wilayah persekutuan diantaranya Kuala
Lumpur, Labuan dan Putra Jaya.[37]
Negara Malaysia pernah berada di bawah
kekuasaan Portugis dan Belanda sebelum menjadi wilayah jajahan Inggris sejak
akhir abad ke-18. Traktat Inggris Belanda yang ditandatangani pada tahun 1824
di London meresmikan kekuasaan Inggris di wilayah yang sekarang dikenal sebagai
Malaysia dan Singapura. Kedua Negara ini adalah penerus wilayah-wilayah yang
pada masa penjajahan disebut Straits Settlement ( Penang, Singapura dan
Malaka), Federated Malay States ( Selangor, Perak, Pahang, Negeri Sembilan) dan
Unfederated Malay States (Perlis, Kedah, Kelantan, Terengganu, dan Johor).
Sabah dan Serawak yang dulu disebut sebagai Borneo Inggris, kemudian bergabung
dengan Malaysia. Federasi Malaysia telah merdeka dari jajahan Inggris pada
tanggal 31 Agustus 1957. [38]
Suatu ciri khas dalam perkembangan
politik Malaysia adalah peran Islam dalam politik Melayu. Malaysia merupakan federasi negara-negara
bagian, sebuah pemerintahan yang resmi bersifat pluralitas dengan Islam sebagai
agama resmi. Pluralisme dan hubungan agama dengan indetitas nasional Melayu
menjadi isu politik ketika Malaysia tengah berjuang merebut kemerdekaan pada
periode pasca-Perang Dunia II. Usulan
awal Inggris bagi Serikat Melayu bersatu dengan kesamaan hak warga negara bagi
semua orang ditolak oleh bangsa Melayu, yang mengkhawatirkan pertumbuhan
populasi, kekuatan ekonomi, serta pengaruh komunitas Cina dan India, yang telah
menikmati tingkat ekonomi dan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan
kaum muslim Melayu. Ketegangan-ketegangan internal yang diakibatkan oleh
dikotomi etnik dalam masyarakat Malaysia meledak pada tahun 1969. Kerusuhan etnik antara orang-orang Melayu dan
Cina di Kuala Lumpur menandai titik balik dalam politik Malaysia. Sementara kaum muslimin melayu, yang
kebanyakan tinggal di pedesaan dan bertani, mendominasi pemerintahan dan
politik. Komonitas-komonitas Cina dan India yang berbasis kota meraih
kemakmuran dan menonjol di bidang ekonomi dan pendidikan. Ketegangan ekonomi
Malaysia akibat adanya kesenjangan yang begitu besar dan semakin terasa
kehadirannya, dan meningkatnya kehidupan orang-orang asing itu, menyulut
kerusuhan anti Cina.[39]
Hukum Keluarga Malaysia
Sejak tahun 1880
Inggris mengakui keberadaan hukum perkawinan dan perceraian Islam dengan
memperkenalkan Mohammedan Marriage Ordinance, No.V Tahun 1880 untuk
diberlakukan di negara-negara selat (Pulau Pinang, Malaka, dan Singapore).
Sebelum masuknya Inggris hukum yang berlaku adalah hukum Islam yang masih
bercampur dengan hukum adat, menurut Abdul Munir. Yang Dipertuan Agong adalah
gelar raja tertinggi Malaysia, jabatan ini digilirkan setiap lima tahun antara
sembilan Pemerintah Negeri Melayu.
Malaysia telah melakukan pemilihan raja sejak
merdeka dari Inggris pada 1957. Dalam tatanan unik, raja dipilih oleh dan
digilir di antara para raja dari sembilan negara bagian Malaysia yang masih
dipimpin raja. Empat negara bagian lain tak dipimpin oleh raja. Malaysia
merupakan salah satu kerajaan yang menganut sistem pergiliran kekuasaan.[40]
Undang-undang yang berlaku di negara-negara
bagian sebelum campur tangan Inggris adalah adat pepatuh untuk kebanyakan orang-orang
Melayu di negara sembilan dan beberapa kawasan di Malaka, dan ada pun
Temenggung di bagian semenanjung. Sedangkan orang Melayu di Serawak mengikuti
Undang-undang Mahkamah Melayu Serawak. Undang-undang tersebut sangat
dipengaruhi oleh hukum Islam dan utamanya dalam masalah perkawinan, perceraian
dan jual beli. Sementara untuk negara-negara Melayu bersekutu ( perak,
Selangor, Negeri sembilan, dan Pahang) diberlakukan Registration of Muhammadan
Marriages and Divorces Enactment 1885 dan untuk negara-negara Melayu tidak
bersekutu atau negara-negara bernaung (kelantan, terengganu, perils, Kedah dan
Johor) diberlakukan The Divorce Regulation tahun 1907. Menurut Khoiruddin Nasution bahwa setelah
terjadinya pembaharuan UU Keluaraga Malaysia maka apabila dikelompokan maka
Undang-Undang keluarga Islam yang berlaku di Malaysia akan lahir dua kelompok
besar :
1. UU yang mengikuti akta persekutuan yakni
Selangor, Negeri Sembilan, Pulau Pinang, Pahang, Perlis, Terengganu, Serawak
dan Sabah.
2. Kelantan, Johor, Malaka, dan Kedah
meskipun dicatat banyak persamaannya tetapi ada perbedaan yang cukup menyolok,
yakni dari 134 pasal yang ada terdapat perbedaan sebanyak 49 kali.
Substansi Undang-Undang Shari’a Malaysia tahun 1983-1985
Pada kurun waktu 1983-1985 terdapat beberapa
peraturan hukum keluarga di Malaysia.
1. Tahun 1983 dikeluarkan hukum
keluarga Islam (Enactment) di Klantan, Negri Sembilan dan Malaka.
2. Tahun 1984 di Kedah, Selangor dan
wilayah Persekutuan.
3. Tahun 1985 di Penang.
Hukum Keluarga Islam Malaysia (yang berlaku
di wilayah federal) tahun 1984 telah menggantikan undang-undang sebelumnya
yaitu Selangor Enactment tahun 1952 yang terdiri dari 135 Pasal dan terbagi
kepada 10 bagian. Undang-undang ini isinya hampir sama dengan undang-undang
yang berlaku di wilayah lainnya yang ditetapkan antara tahun 1983-1985.[41]
Batas Usia Perkawinan dan Sanksi
Hukum Keluarga Islam (Wilayah
Federal) Undang-undang tahun 1984 Nomor 304 :
1. Pasal 8
menyebutkan :
“Tidak boleh
melangsungkan pernikahan atau melakukan pencatatan pernikahan dimana usia
perkawinan masing-masing di bawah umur 18 tahun bagi laki-laki dan di bawah 16
tahun bagi perempuan, kecuali hakim Shari’ah mengizinkannya secara tercatat
dalam kondisi tertentu.” [42]
2.
Pasal 37
menyebutkan :
“Kecuali diizinkan menurut hukum shar’i setiap
orang yang menggunakan kekerasan atau ancaman apapun (a) memaksa seseorang
untuk menikah yang bertentangan
dengan keinginannya, atau (b) mencegah seorang laki-laki yang
telah mencapai umur delapan belas tahun atau wanita yang sudah
mencapai 16 tahun untuk melakukan perjanjian perkawinan yang sah adalah
merupakan suatu kejahatan dan harus dihukum dengan denda paling
banyak seribu ringgit atau penjara tidak melebihi enam
bulan atau dihukum dengan hukuman kedua-duanya yaitu denda dan penjara”.[43]
Keberanjakan Hukum Perkawinan dari Fikih
Munakahat
di Pakistan, Yordania, Mesir dan
Malaysia
1.
Pakistan
Reformasi hukum keluarga Islam di
Pakistan jika merujuk kepada metode pembaharuan yang dikemukakan oleh Norman Anderson,[44]
dalam batasan ketentuan usia minimal seseorang melakukan perkawinan, penulis
lebih cenderung mengkategorikannya kepada jenis metode pembaharuan Takhshis
al-Qadha yaitu melakukan kendali pelaksanaan hukum Islam melalui pengadilan
dengan cara membuat kebijakan-kebijakan pemerintah yang membatasi penerapan
hukum Shari’ah pada hukum perdata Islam atau dengan kata lain melalui tahapan administratif
prosedural. Metode pembaharuan ini
tidak mengubah ketentuan hukum famili Islam, tetapi hanya menampilkan aturan
dalam bentuk pelaksanaan baru yang disesuaikan dengan kebutuhan. Namun jika
dikaitkan dengan sanksi yang diterapkan, penulis lebih cenderung mengkategorikannya
ke dalam metode siyasah al-shar’iyah atau dengan kata lain kebijakan
administratif. Administratif prosedural maupun kebijakan administratif
kedua-duanya bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan memberikan kepastian
hukum bagi masyarakat.
Dilihat dari latar belakang politik,
sosio-historis serta kulturalnya, Pakistan merupakan negara bekas jajahan
Inggris serta negara yang paling sering berkonplik baik antara suku, agama,
elite politik maupun antara mereka sendiri.
Untuk itu metode pembaharuan hukum tersebut di atas lebih sesuai
diterapkan di Pakistan, karena secara filosofis maupun politis, masyarakat yang
sering berkonplik harus lebih disadarkan oleh aturan-aturan hukum dan dilibatkan
dalam membuat kebijakan-kebijakan bagi kepentingan mereka sendiri. Selain itu karakteristik hukum negara yang
pernah dikuasai atau dijajah, selalu sulit melepaskan diri dari feodalisme
hukum yang telah mengakar dan mendarah daging yakni produk hukum negara
penjajah. Pakistan yang pernah dikuasai
Inggris tentu mendapat pengaruh hukum yang kuat dari Comman Law Inggris.
Dalam
konteks keberanjakan hukum Islam dari Imam mazhab fikih yang dinut oleh
mayoritas masyarakat Pakistan, penulis berpendapat bahwa penetapan batas usia
perkawinan tidaklah bertentangan dengan mazhab Hanafi, bahkan jika ditelusuri
lebih jauh lagi ketetapan ini justru memiliki kesesuaian dengan mazhab Hanafi.
Imam Hanafi mewajibkan adanya
izin dari si gadis untuk melangsungkan pernikahan berdasarkan hadis Abu Hurairah yang
telah diuraikan pada awal pembahasan.
Sementara izin dapat dipahami sebagai bentuk kerelaan dari seseorang
untuk melakukan suatu tindakan yang mengandung implikasi hukum atas tindakannya
tersebut setelah melalui proses berpikir dan menimbang perkara yang hendak
diizinkannya tersebut. Berdasarkan
pemahaman itu tentu yang dapat melakukan proses berpikir dan menimbang adalah
orang dewasa atau baligh yang mumayyiz dan rusyd sedangkan umur 18 tahun dan 16
tahun menurut sebagian besar pendapat dianggap sudah dewasa atau baligh atau
paling tidak dianggap cakap melakukan tindakan hukum. Jadi penetapan batas usia minimal pernikahan
18 bagi laki-laki dan 16 bagi perempuan tidaklah beranjak dari ketentuan fikih
atau pendapat mazhab Imam Abu Hanifah.
2.
Yordania
Dalam
pembaharuan hukum Islam, khusus dalam masalah batasan usia minimal seseorang
untuk melangsungkan pernikahan, Yordania termasuk negara Islam yang menetapkan
batas usia paling rendah yaitu 16 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi
perempuan. Dilihat dari tahapan-tahapan reformasinya di bidang hukum, Yordania
yang dasar negaranya Islam dan bersumberkan kepada al-Qur’an dan hadis, mulanya
menetapkan batas usia pernikahan bagi seorang perempuan sesuai dengan teks
hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim yaitu 9 tahun. Akan tetapi sejalan dengan adanya reformasi
di bidang hukum di dunia muslim, batasan usia tersebut semakin
ditingkatkan.
Jika merujuk kepada metodologi
pembaharuan hukum Islam Norman Anderson, Yordania dapat dikategorikan ke dalam metode
pembaharuan Takhshis al-Qadha sama dengan Pakistan. Perbedaan kedua negara tersebut terletak pada
sanksi hukum. Pakistan memberikan sanksi
bagi siapa yang melanggar ketentuan undang-undang sedangkan Yordania tidak
memberi sanksi apapun. Dasar pemikiran
seperti itu sesungguhnya sangat mudah untuk dipahami, karena sanksi terhadap
pelanggaran dalam kasus ini tidak ditemukan dalam dalil nash (al-Qur’an dan
Hadis). Jadi dalam hal ini Yordania
tidak termasuk kepada kelompok negara muslim yang berani ‘melangkah terlalu
jauh’.
Menurut penulis, setidaknya ada dua alasan
mengapa hal itu terjadi, pertama karena alasan historis, Yordania
memiliki letak geografis yang sama dengan Palestina - tanah para Nabi dan Rasul
– karena Yordania dulu memisahkan diri dari Palestina pada tahun 1921, yang
tentu secara moral lebih dianggap mampu memelihara teks Nash secara
‘murni’. Kedua, alasan teologi, banyak
lahirnya imam-imam besar di bidang hukum dan agama, yang secara keilmuan tak
mudah ditembus oleh pemahaman-pemahaman yang sifatnya aqliyah saja.
3.
Mesir
Pembaharuan
hukum keluarga Islam di Mesir pada mulanya mengalami gejolak yang cukup
signifikan. Pada mula-mula disusunnya
undang-undang hukum keluarga Mesir pada tahun 1910 M yang berorentasi kepada mazhab
Abu Hanifah, Mesir mendapat perlawanan dari rakyat yang menghendaki agar dalam
hukum kaluarga dilakukan pembaharuan dan tidak berpegang pada mazhab Abu
Hanifah saja, melainkan bersandarkan juga pada empat mazhab lainnya. Atas perlawanan rakyat ini kemudian pada tahun
1920 M pemerintah membentuk panitia perumus yang terdiri dari Syaikh al-Azhar,
Syaikh Mazhab Maliki, Ketua Pengadilan Tinggi, Mufti Negara dan para ahli hukum
Islam lainnya untuk merumuskan rancangan undang-undang hukum keluarga yang
materinya diambil dari mazhab Hanafi dan empat mazhab lainnya. Undang-undang hukum keluarga ini selesai
disusun pada tahun 1923 M dan pada tahun 1930 M diganti lagi dengan
undang-undang keluarga yang baru. Pada
tahun 1936 M berhasil disusun undang-undang keluarga tanpa terikat dengan
mazhab tertentu.[45]
Dari uraian tersebut di atas serta
aturan dalam Undang-undang Hukum Keluarga Mesir tahun 1923, maka penulis
berpendapat bahwa metode pembaharuan hukum Islam di Pakistan, jika merujuk
kepada Norman Anderson termasuk ke dalam jenis metode Takhayyur (electic
expidient) yaitu memilih pendapat melalui kajian dari berbagai sumber dengan
proses asimilasi selektif (memilih pendapat yang baik, menguntungkan serta
mensejahterakan). Metode ini penulis
anggap sebagai metode pembaharuan yang sangat efektif dan sesuai bagi Mesir
karena alasan historis. Secara historis
Mesir pernah dikuasai oleh sekian banyak kerajaan dan negara penjajah dari
Eropa, sehingga proses asimilasi di segala bidang pasti sulit untuk dihindari,
karenanya proses selektif terhadap pengambilan hukum perlu dilakukan.
Jika dilihat dari pendapat Imam Mazhab
dalam hubungannya dengan batasan usia pernikahan maka Mesir nampaknya mengambil
mazhab Imam yang mewajibkan meminta izin kepada calon mempelai yakni Imam Abu
Hanifah. Artinya ada kesamaan antara
Mesir dan Pakistan, hanya saja Mesir tidak menerapkan sanksi apapun terhadap
para pihak yang terlibat dalam pernikahan anak diluar ketentuan yang berlaku
kecuali hanya tidak dicatatkan saja. Hal
ini dapat dipahami dari penjelasan sebelumnya dimana Mesir sangat terbuka
terhadap pendapat empat mazhab Imam besar, sehingga Mesir hanya mengambil
pendapat yang sesuai dan lebih bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Mesir
dengan tidak menepiskan mazhab yang berpendapat lain termasuk pendapat yang
tidak mewajibkan izin ( include di dalamnya sanksi).
4.
Malaysia
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya bahwa Malaysia adalah negara federal yang memiliki
hukum berbeda pada tiap-tiap wilayah/bagiannya serta merupakan negara di Asia
Tenggara yang pertama kali melakukan pembaharuan hukum Islam. Semua Negara Bagian di Malaysia mempunyai
undang-undang tersendiri dalam bidang keluarga yang umum dikenal dengan sebutan
enakmen atau statut (statuta dalam bahasa Indonesia). Enakmen-enakmen yang dimaksudkan seperti
diringkaskan Muchtar Zarkasyi sebagai berikut :
1.
Enakmen Undang-undang
Keluarga Islam, Kedah, 1979 (1964).
2.
Enakmen Undang-undang
Keluarga Islam, Kelantan, 1983.
3.
Enakmen
Undang-undang Keluarga Islam, Malaka, 1983.
4.
Enakmen
Undang-undang Keluarga Islam, Negeri Sembilan, 1983.
5.
Akta Undang-undang
Keluarga Islam, Wilayah Persekutuan, 1984.
6.
Enakmen Undang-undang
Keluarga Islam, Slangor, 1984.
7.
Enakmen
Undang-undang Keluarga Islam, Perak, 1984.
8.
Enakmen
Undang-undang Keluarga Islam, Pulau Pinang, 1985.
9.
Enakmen Undang-undang
Pentadbiran Keluarga Islam, Terengganu, 1985.
10. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Pahang, 1987.
11. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Perlis (draft).
12. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Pindaan, Klantan, 1985.
13. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Pindaan, Kelantan, 1987.
14. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Pindaan, Selangor, 1988.
15. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Johor, 1990.
16. Ordinan Keluarga Islam, Serawak, 1991.
17. Enakmen Undang-undang Keluarga Islam, Sabah.[46]
Sampai
saat ini Malaysia belum mempunyai undang-undang keluarga yang berlaku secara
nasional. Keadaan semacam ini
sesungguhnya dapat menimbulkan kerugian secara politis, dimana dapat melemahkan
kontrol negara dalam aspek-aspek yang berskala nasional. Akan tetapi negara
federal pun tidak berarti tak memiliki keunggulan, setidaknya dalam beberapa
kasus tertentu akan mudah dalam mengendalikan kontrol.
Menurut
pendapat penulis hukum keluarga Islam di Malaysia dapat dikategorikan ke dalam
metode pembaharuan Siyasah Shar’iyah yakni menerapkan aturan
administratif yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan ketentuan
shari’ah. Baik ketentuan tentang batasan
usia minimal anak maupun sanksi yang ditetapkan, kedua-duanya merupakan
kebijakan administratif dalam rangka mewujudkan maqasid al-shari’ah
yaitu mewujudkan kemaslahatan umat. Artinya
Malaysia dan Mesir memiliki kesamaan dalam hal metode pembaharuan hukum
keluarga Islam. Dari segi regulasi hukum,
Malaysia dan Mesir sama-sama menerapkan aturan-aturan yang mengikat bagi
masyarakatnya serta sanksi bagi pelanggarnya yaitu sama-sama menetapkan batasan
usia minimal pernikahan 18 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan,
serta sama-sama memberikan sanksi berupa denda dan penjara terhadap para pihak
yang melanggarnya.
Adapun
pembaharuan dalam konteks keberanjakan dari fikih munakahat memiliki
argumentasi yang cukup berbeda dengan Pakistan.
Malaysia mayoritas masyarakatnya menganut mazhab Syafi’i sedangkan
Pakistan bermazhab Hanafi. Dalam hal ini
Imam Syafi’i berpendapat bahwa meminta izin tidaklah wajib bagi seorang wali,[47]
izin hanya sunah saja. Artinya seseorang
tidak harus menetapkan usia perkawinan bagi anaknya karena wali lebih berhak
atas si anak. Hal ini sama maknanya
dengan proses berpikir dan menimbang
tidak terlalu dibutuhkan, karena kerelaan si anak tidak diperlukan, artinya
hanya anak kecilah yang tidak dapat melakukan ‘proses berpikir’ dan menimbang,
apalagi mengerti arti kerelaan.[48] Dari kerangka pemikiran inilah penulis
berpendapat bahwa sesungguhnya Malaysia belum beranjak dari mazhab anutannya
yaitu Syafi’i karena Imam Syafi’i tidak mengharamkan, tetapi hanya mensunahkan
adanya izin. Ini berarti masih terdapat
opsi bagi ditetapkannya batas usia pernikahan.
Ketentuan batas usia kawin di
beberapa negeri muslim.[49]
Nama Negara
|
Batasan Usia Pria
|
Batasan Usia Wanita
|
Aljazair
|
21
|
18
|
Bangladesh
|
21
|
18
|
Mesir
|
18
|
16
|
Indonesia
|
19
|
16
|
Irak
|
18
|
18
|
Yordania
|
16
|
15
|
Libanon
|
18
|
17
|
Libya
|
18
|
16
|
Malaysia
|
18
|
16
|
Maroko
|
18
|
15*
|
Pakistan
|
18
|
16
|
Somalia
|
18
|
18
|
Syria
|
18
|
17
|
Tunisia
|
19
|
17
|
Turki
|
17
|
15
|
* Mudawwanah
- Undang-undang Hukum Keluarga baru di Maroko tahun 2004 - mencantumkan batas
usia kawin pria dan wanita masing-masing adalah 18 tahun.
PENUTUP
Pembaharuan
hukum Islam di Dunia Muslim pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan masyarakat
yang fleksible. Perbedaan nalar fikih
kontemporer dengan nalar fikih klasik
antara lain adalah nalar fikih kontemporer lebih bersifat kontekstual atau
aktualitas teks dengan ciri mencari terobosan baru (exepressip verbisuai) di
tengah kemandegan hukum sedangkan nalar fikih klasik lebih bersifat
tekstual/literal. Kaidah yang paling sesuai bagi pembaharuan hukum Islam adalah
“makna yang terkandung bukan bangunan/bentuk sesuatu” (al-‘ibrah bi al-ma’âni
lâ bi al-mabâni).
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Jaziri, Abd
al-Rahman Fiqh ‘ala al-Mazahib
al-Arba‘ah (Mesir : Mathba‘ah al-Tijariyyah al-Kubra) 1990.
Amin Suma, Muhammad. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada) 2004, Cet. 1.
Anderson, Norman. Law Reform in The Moslem World (London :
The Athlone Press) 1976
Asy-Syaukani, Imam. Nailul Authar , Juz VI.
Azra, Azyumardi. Akar-Akar Historis Permbaharuan Islam di
Indonesia Neo Sufisme Abad ke 11-12 H dalam Tasawuf (Jakarta : Yayasan
Paramadina), 2000.
Bhutto, Benazir. Rekonsiliasi, Islam, Demokrasi & Barat.
(Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer), 2008, Cet.1terjemah dari Reconciliation,
Islam,Democracy & The West, London : WCIB 3JA).
Child Marriage Restraint Act 1929 (Act 29 /1929) dan amandemennya
(Ordonansi No.8 /1961).
Esposito, L. and O.Volt, John. Islam and Democracy -
diterjemahkan oleh Rahman Astuti dengan judul Demokrasi di Nagara-Negara
Muslim Problem dan Prospek (Bandung: Mizan) 1999, Cet 1.
Haider, Ziad. Islam dan Sejarah Awal Pakistan (http://translate.google.co.id/translate?
hl=id&langpair=en%7Cid&u=http://www.hoover.org/publications/defining-deas/article/77366.
Hosen, Ibrahim.
Fiqh Perbandingan, Jakarta : Balai Penerbitan & Perpustakaan
Islam Yayasan
Ihya Ulumuddin Indonesia, Jilid 1, 1971.
Hukum Keluarga Islam Di Malaysia.
http://fathudin.blogspot.com /2010/02/ hukum-keluarga- islamdi-malaysia.html.
Hummam, Ibn. Sharh Fath
al-Qadir (Kairo: Musthafa al-Babiy
al-Halabiy) 1970.
Mahmood, Tahir Personal
Law In Islamic Countries, Tripathi : New Delhi, 1987.
Mahmood, Tahir. Family
Law Reform in the Muslim World (Bombay : Tripathi PVT, LTD), 1972.
Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada), 2006, edisi 1.
Mudzhar, M. Atho. Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam.
Qudamah, Ibnu. Al-Mughny, jilid VI, h. 487.
Sistem Pemerintahan di Malaysia. http : //
oneforallblog. blogspot. com / 2008 / 12 /
sistem - pemerintahan-dimalaysia.html.
Supriyadi, Dedi. Sejarah
Peradaban Islam (Bandung : Pustaka Setia), 2008, h. 270-271.
Suyuthi, Jalaluddin. Jami’ al-Shaghir (Beirut : Darul Kutub Ilmiah).
Syarifuddin, Amir. Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam (
Bandung : Angkasa Raya ) 1993, Cet. X.
The Code of Personal Status 1977 (Law 61 of 1976 as amended by Law
25 of 1977).
UNICEF Website on Married Adolescents, Child Marriage Advocacy
Programme: Fact Sheet on Child Marriage and Early Union (New York : UNFPA), 2004.
UNICEF. Early Marriage : A Harmful Traditional Practice (New York : United Nations) 2005.
Yang di-Pertuan Agong.
http://id.wikipedia.org/wiki/Yang_di-Pertuan_Agong.
[1] Azyumardi
Azra. Akar-Akar Historis Permbaharuan Islam di Indonesia Neo Sufisme Abad ke
11-12 H dalam Tasawuf (Jakarta : Yayasan Paramadina 2000), h. 179.
[2] Ibn Hummam. Sharh Fath al-Qadir (Kairo: Musthafa al-Babiy al-Halabiy) 1970,
h. 186, 274.
[3] Abd al-Rahman al-Jaziri. Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba‘ah (Mesir
: Mathba‘ah al-Tijariyyah al-Kubra) 1990, h. 94.
[6] Ibnu Qudamah. Al-Mughny,
jilid VI, h. 487. Lihat juga Ibrahim
Hosen. Fiqh Perbandingan (Jakarta : Balai Penerbitan & Perpustakaan
Islam Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia, 1971), Jilid 1, h. 132.
[7] Ibrahim Hosen,
h. 133.
[8] Ibrahim Hosen,
h. 133.
[10] Ibrahim Hosen, h. 135.
[11] Ibrahim Hosen,
h. 135.
[12] Muhammad Amin
Suma. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), Cet. 1, h. 181.
[13] Lihat
penjelasan Muhammad Amin Suma. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.
181-183.
[14]Amir
Syarifuddin. Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam ( Bandung : Angkasa
Raya, 1993), Cet. X, h. 117.
[15] M. Atho
Mudzhar. Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam.
[16] Tahir Mahmood.
Family Law Reform in The Muslim World (New Delhi : The Indian Law
Institute, 1972), h. 2-8.
[18] Lihat UNICEF
Website on Married Adolescents, Child Marriage Advocacy Programme: Fact
Sheet on Child Marriage and Early Union (New York : UNFPA ,2004).
[19] Benazir
Bhutto. Rekonsiliasi, Islam, Demokrasi & Barat. (Jakarta : PT.
Bhuana Ilmu Populer), 2008, Cet.1, h. 133, terjemah dari Reconciliation, Islam,Democracy
& The West, London : WCIB 3JA, 2008).
[20]
Lihat Ziad Haider. Islam dan Sejarah Awal Pakistan (http://translate.google.co.id/translate?
hl=id&langpair=en%7Cid&u=http://www.hoover.org/publications/defining-ideas/article/77366).
[21] Lihat Ziad Haider.
[22] Child
Marriage Restraint Act 1929 (Act 29 /1929) dan amandemennya (Ordonansi No.8
/1961) Pasal 2.
[23] Ordonansi
No.8 /1961, pasal 4.
[24] Ordonansi
No.8 /1961, Pasal 5.
[25] Ordonansi
No.8 /1961, Pasal 6 ayat (1).
[28]http://fmktmesir.blogspot.com/2010/08/studi-di-yordania.html, lihat juga Benazir
Bhutto. Rekonsiliasi, Islam, Demokrasi & Barat. (Jakarta : PT.
Bhuana Ilmu Populer, 2008), Cet.1, h. 136-138, terjemah dari Reconciliation,
Islam,Democracy & The West, London : WCIB 3JA, 2008).
[31] The Code of
Personal Status 1977 (Law 61 of 1976 as amended by Law 25 of 1977).
[32] Benazir Bhutto. Rekonsiliasi,
Islam, Demokrasi & Barat, h. 113.
[34] Dedi
Supriyadi. Sejarah Peradaban Islam
(Bandung : Pustaka Setia, 2008), h. 270-271.
[35] Dedi
Supriyadi. Sejarah Peradaban Islam, h.
271.
[36] Tahir
Mahmood. Family Law Reform in the
Muslim World (Bombay : Tripathi PVT, LTD, 1972), h. 48-50.
[37] Yang di-Pertuan Agong.
http://id.wikipedia.org/wiki/Yang_di-Pertuan_Agong.
[38] Hukum Keluarga Islam Di Malaysia. http://fathudin.blogspot.com
/2010/02/ hukum-keluarga- islamdi-malaysia.html.
[39]
John L. Esposito dan John O.Volt. Islam and Democracy -
diterjemahkan oleh Rahman Astuti dengan judul Demokrasi di Nagara-Negara
Muslim Problem dan Prospek (Bandung: Mizan, 1999), Cet 1, h. 169.
[40] Sistem Pemerintahan di Malaysia. http : // oneforallblog.
blogspot. com / 2008 / 12 / sistem - pemerintahan-dimalaysia.html.
[41] Tahir
Mahmood. Personal Law In Islamic
Countries, Tripathi : New Delhi, 1987), h. 221 – 222.
[42] Tahir
Mahmood. Personal Law In Islamic
Countries, h. 224.
[43] Tahir
Mahmood. Personal Law In Islamic
Countries, h. 226.
[44] Lihat Norman
Anderson tentang metode-metode pembaharuan. Law Reform in The Moslem World
(London : The Athlone Press, 1976), h. 42-46.
[45] Abdul Manan. Reformasi
Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), edisi
1, h. 192.
[46] Muhammad Amin Suma, h. 154.
[47] Rujuk pendapat
Imam Syafi’i di awal pembahasan.
[48] Rujuk arti
kata izin dan penjelasannya pada pembahasan Pakistan.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Masukan Kritik dan Saran Anda