Kinkin Mulyati bersama majelis raudhatul jannah SetNeG, Jakarta |
Akhir-akhir
ini banyak sekali wacana dalam masyarakat terutama di media sosial, yang
menyebutkan bahwa pemilihan presiden, gubernur atau kepala daerah lainnya, hanyalah
memilih pelayan masyarakat bukan memilih pemimpin agama, yang ujung-ujungnya mengajak
masyarakat untuk tidak melihat agama orang yang hendak dipilihnya. Itulah alur
pemikiran, yang sesungguhnya diadopsi dari paradigma negara demokrasi, yang
memandang seorang pemimpin tidak lagi dilihat dari identitas keberagamaannya
tapi lebih kepada skill kepemimpinannya.
Namun
perlu diingat, demokrasi itu sekarang faktanya sedang diterapkan di Indonesia yang
berpenduduk mayoritas muslim, bukan di Yunani, Amerika, Australia, dan negara
non muslim penganut demokrasi lainnya, yang memisahkan agama dengan negara. Demokrasi
itu wujudnya sudah menjelma menjadi demokrasi Indonesia (sebutan lain demokrasi
Pancasila), yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang dianut oleh bangsa
Indonesia, termasuk nilai-nilai agamanya, yang secara sah diakui oleh negara.
Lihat Mukadimah dan UUD 1945, juga Pancasila, semuanya memasukkan nilai-nilai agama
dan ketuhanan. Oleh sebab itu, menuntut masyarakat Indonesia yang mayoritas
muslim untuk menjalankan demokrasi an sich (baca : demokrasi Barat) tanpa
melihat latar belakang dan keyakinan mereka bertolak belakang dengan ajaran
agama yang dipeluknya dan juga konstitusi.
Apa
yang salah dari pernyataan, “Kita tidak sedang memilih seorang pemimpin agama,
tapi pelayan masyarakat,” dalam konteks pilpres dan pilkada?
Pelayan
masyarakat dalam bahasa perundang-undangan adalah pelayanan publik (public
service), yakni segala aktifitas yang dilakukan oleh aparat pemerintah (dalam
setiap tingkatannya) dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai
perundang-undangan. Lebih jelas lagi, menurut Undang-undang nomor 25 tahun 2009
tentang Pelayanan Publik disebutkan, yang dimaksud pelayanan publik adalah
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan
oleh penyelenggara pelayanan publik.
Jadi
jika melihat dari pengertian tersebut, Presiden maupun pemimpin daerah
merupakan pelayan publik sebab merupakan penyelenggara pemerintahan atau
termasuk aparat pemerintah.
Namun
tugas Presiden atau Kepala Daerah tidaklah sama dengan aparat pemerintahan
biasa, yang hanya melayani dan melaksanakan tugasnya sesuai perundang-undangan.
Presiden atau Kepala Daerah memiliki kapasitas yang lebih dari itu, selain
melaksanakan tugasnya sesuai perundang-undangan, ia pun harus membuat
perundang-undangan itu sendiri. Presiden misalnya, ia mempunyai hak dalam
mengajukan rancangan perundang-undangan kepada DPR dan menetapkan peraturan
pemerintah, demikian juga pemerintahan daerah seperti Gubernur, Bupati, dan
Walikota, ia berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan, di luar kewenangan pemerintah pusat.
Demikianlah Undang-undang Dasar 1945 mengatur.
Jika
begitu, pelayan publik yang kapasitasnya seperti ini bukan orang yang
sembarangan, sebab ia akan menentukan ke mana arah negara atau wilayahnya
melangkah. Sekalipun tidak bisa sembarangan dalam menetapkan
perundang-undangan, namun kedudukan, kekuasaan, dan kewenangannya yang besar
sangat memungkinkan untuk merealisasikan banyak hal yang dikehendakinya sesuai
dengan espektasinya, idealismenya, cita-cita partai pengusungnya, keyakinan
agamanya, termasuk menyelipkan pesan-pesan ‘sponsor’ dalam
kebijakan-kebijakannya.
Contoh
nyata, sesaat setelah Donald Trump terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat,
ia berencana membuat tembok tinggi di Mexico, dan akan menciptakan metode
pemilihan yang melibatkan tes ideologi bagi imigran yang mengajukan permohonan
menetap di AS.
Di
sini jelas terlihat bahwa gagasan seseorang yang punya kedudukan, kekuasaan,
dan kewenangan yang tinggi dapat dan berusaha diwujudkan, walaupun dalam kasus
ini banyak ditentang.
Contoh
lain yang nampak di hadapan kita, kasus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya
Purnama (Ahok). Dengan kewenangannya ia mampu menggusur perumahan warga dengan
tidak sesuai prosedur hukum. Sebagian telah dimenangkan warga, sebagian lagi
tidak berdaya berhadapan dengan Sang Gubernur. Sebut saja kasus warga Bidara
Cina. Gubernur DKI Jakarta dinyatakan Majelis Hakim bersalah karena tidak
memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik dengan menerbitkan SK secara
sepihak tanpa melakukan konsultasi publik dan sosialisasi kepada warga
terdampak penggusuran.
Dari
dua contoh tersebut, nyata sudah bahwa pelayan publik yang berposisi sebagai
pemimpin negara dan juga pemimpin daerah punya kapasitas lebih dalam menentukan
kebijakannya. Jika demikian, wajar saja jika dalam pilpres, pilkada bahkan
pileg, kaum muslimin menentukan pilihannya kepada yang seiman, sebab dalam tiga
kategori pemilihan tersebut, mereka akan menentukan siapa orang yang layak
menduduki jabatan masing-masing sebagai wakil mereka terutama mengenai
masalah-masalah yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat muslim. Jangan
lupa merekalah yang dengan tugasnya masing-masing membuat dan menetapkan
perundang-undangan, dan produk perundang-undangan itu sangat mengikat warga dan
atau seluruh bangsa Indonesia. Jika produk perundang-undangan itu dibuat oleh
wakil-wakil kita yang baik maka hasilnya akan baik, tapi jika produk tersebut
hanya untuk kepentingan golongannya, ambisinya, dan pesan-pesan ‘sponsor’ maka
perundang-undangan itu akan banyak merugikan rakyat.
Jangan
lupakan juga, bahwa sebagian kehidupan beragama kita ditentukan lewat
perundang-undangan. Sebut saja UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, Kompilasi
Hukum Islam, UU Wakaf, UU Pengelolaan Zakat, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU
Ekonomi Syariah, UU Jaminan Produk Halal untuk Obat dan Makanan, dan masih
banyak produk perundang-undangan lainnya, termasuk peraturan pemerintah dan
peraturan daerah yang sejalan dengan aturan tersebut.
Oleh
sebab itu, sangat rasional jika umat muslim memberikan suara mereka atau
memberi dukungan kepada mereka yang mempunyai keyakinan agama yang sama, karena
aspirasi mereka dalam kehidupan berbangsa dan berwarga negara artinya bisa terpenuhi,
justru akan menjadi sangat paradoks jika orang yang ditunjuk untuk menjadi
pelayannya atau wakilnya diberikan kepada orang yang tidak tahu tentang masalah
atau nilai-nilai hukum orang yang dilayaninya atau diwakilinya, apalagi orang
yang berbeda keyakinan dengannya. Kesalahan besar seorang muslim mewakilkan
suaranya kepada orang yang tidak mengerti hukum agamanya. Contoh di depan mata
kita sangatlah jelas, seorang Gubernur membolehkan miras atau bir, sedangkan
Islam mengharamkannya, ia melokalisasi pelacuran, sedang Islam mengharamkannya.
Lalu masyarakat mana yang ia perjuangkan aspirasinya dan kepentingannya? Juga
fakta dalam kehidupan demokrasi kita bahwa rancangan undang-undang yang memuat
kepentingan umat Islam banyak sekali yang ditolak di DPR, barangkali alasannya
karena orang yang kita amanatkan untuk mewakili ternyata tidak layak untuk
dipilih sebagai wakil dalam menyampaikan aspirasi umat Islam.
Permasalahan
dalam pemerintahan atau negara memang tidaklah melulu masalah-masalah yang
berhubungan dengan agama, banyak juga masalah lain yang membutuhkan skill baik
seorang pemimpin, namun manakala ia berhubungan dengan registrasi yang mengatur
kehidupan muslim, atau aturan-aturan yang bersinggungan dengan norma-norma kaum
muslimin, mau tidak mau ia harus mengerti dan paham betul tentang aturan itu,
dan yang paling utama mau menerapkan dan memperjuangkannya sebagai hukum yang
tertulis dalam bentuk registrasi. Jika tidak, dapat diprediksi akan banyak produk
hukum yang tak sejalan dengan kehidupan umat muslim.
Memang
dalam sistem hukum demokrasi Indonesia, selalu ada celah untuk memerbaiki hukum
yang dinilai “salah”, baik dalam penerapannya, kandungannya, maupun konplik
dalam pelaksanaannya. Lembaga-lembaga yang dapat menyelesaikan masalah tersebut
antara lain Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Namun sangat tidak
diharapkan jika terpilihnya pemimpin negara atau kepala daerah tidak sesuai
dengan harapan masyarakatnya dengan menerapkan kebijakan-kebijakan dan
mengeluarkan aturan-aturan yang tak sepaham dan tak sejalan dengan
masyarakatnya, sekali pun ada jalur hukum yang dapat ditempuh untuk menggugat
kebijakan maupun aturannya itu. Namun resiko yang harus diambil tentu sangatlah
besar jika masyarakat harus menempuh proses itu. Perlu waktu, biaya, nyali
berhadap-hadapan dengan penguasa, dan mungkin dukungan. Karenanya, biarkan
masyarakat memilih pemimpinnya atau wakil-wakilnya sesuai dengan harapan dan
keyakinannya, memilih pemimpin yang paham agama sekaligus pelayan masyarakat
yang baik, tanpa ditakut-takuti, dan diberi label intoleransi, rasisme, atau
sara, sebab memilih sesuai keyakinan agamanya bukanlah intoleransi, rasisme,
atau pun sara, ia dilindungi UUD 1945, konstitusi tertinggi di negara ini,
bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Tak
harus memicingkan mata atau nyinyir kepada kaum muslimin yang mau menjalankan
ajaran agama yang diyakininya, sebagai orang yang seolah-olah tidak mengerti
apa-apa tentang demokrasi dan hukum agama, sebab arah hidup seorang muslim
sangatlah jelas yakni menghambakan diri kepada Allah swt, sebagai titik tolak atau
falsafah dari ajaran Islam, “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan
agar mereka beribadah kepada-Ku.”
Ditulis Oleh: Kinkin Mulyati, Aktivis Dakwah dan Novelis
Tulisan ini telah dipublikasikan juga di https://suaratangsel.com/pemimpin-agama-atau-pelayan-masyarakat-dalam-perspektif-hukum/
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Masukan Kritik dan Saran Anda