Kinkin Mulyati |
Pandangan miring terhadap partai politik yang
bertebaran di wall medsos akhir-akhir ini, bukannya tidak mengandung kebenaran,
sebagian yang diperbincangkan benar, namun sebagian lagi salah mengenali siasat,
yang akhirnya maksud hati hendak mengkritik, tapi ujung-ujungnya berubah jadi
sumpah serapah, dan provokasi berlebel negatif.
Hampir semua orang tahu bagaimana kotor dan
kisruhnya perpolitikan kita. Bukan rahasia umum lagi jika elit-elit partai suka
ngobral janji, memberi harapan palsu, menelikung lawan, bahkan bersikap mendua.
Mengaku pro rakyat, membela wong cilik, hanya mementingkan diri sendiri dan
partainya, serta melanggengkan
kekuasaannya. Itu semua kita tahu.
Namun pertanyaannya, mengapa kita hampir selalu
bersedia untuk memilih mereka atau calon-calon pemimpin yang diusung mereka,
bahkan kita kadang harus menunjukkan keberpihakannya pada jagoan yang diusung mereka?
Jawabannya barangkali hanya dua, karena harapan dan kekuatan.
Pertama, harapan. Jauh di lubuk hati yang
paling dalam kita semua pasti menginginkan keadaan yang lebih baik dalam
berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, jika satu aspek saja pincang
maka ia dapat memengaruhi aspek-aspek yang lainnya. Tapi pertanyaan selanjutnya,
mengapa harus berharap kepada mereka si “Pemberi Harapan Palsu”? jawabannya
kira-kira karena kita masih punya harapan ada kebaikan dari mereka, dan masih
ada yang berpikiran “jernih” di antara mereka disela-sela tarik menarik
kepentingan partai tsb.
Kedua, kekuatan. Jika kita berlepas diri dari
mereka, apa kekuatan yang kita miliki? Kita tahu, sistem yang mengatasnamakan
demokrasi, kekuatan dan penggerak terbesar terletak di tangan partai politik.
“Hidup matinya” rakyat ada di tangan mereka, sebab merekalah yang membuat
aturan main, ia menciptakan dan memunculkan pemimpin-pemimpin yang ia restui,
walau seringkali mereka tak perduli, siapa dan berlatar belakang apa orang yang
ia munculkan tsb? Padahal orang yang selayaknya dimunculkan itu adalah yang
berkualitas dan mewakili aspirasi sebagian besar masyarakat, sebab tugas berat
menanti mereka : memimpin negara, memimpin daerah, membuat perundangan, bahkan
arah negara akan mereka tentukan, yang jelas mereka mampu memainkan
tombol-tombol kekuasaan, tinggal tekan tombolnya, keluarlah apa yang mereka
inginkan.
Kalau demikian, jika kekuatan mereka sangat
besar, rakyat tidak boleh menganggap biasa-biasa saja terhadap langkah terjang mereka, sekali mereka
memunculkan orang yang tidak tepat, akibatnya bisa meluluhlantahkan harapan
masyarakat. Itulah barangkali alasan mengapa orang-orang yang punya semangat
perubahan dan berjiwa optimis berusaha untuk tetap terlibat dalam ajang
pemilihan pemimpin nasional maupun daerah, dan juga wakil rakyat yang akan duduk
di legislatif. Akal dan hati nurani mengatakan, “Kursi-kursi kepemimpinan di
negeri ini jangan sampai diisi dan diduduki oleh orang-orang yang bejad
akhlaknya, orang bodoh, dan orang “gila”.
Bersikap nyinyir, menghalangi atau apriori
justru akan membuka peluang dan kesempatan bagi kandidat yang tidak kualifaid
untuk maju sebagai pemenang. Memang perjalanan politik dalam konteks demokrasi
kita masih panjang, sederet kelemahan sistem masih banyak yang perlu dibenahi,
undang-undang partai politik masih perlu dibenahi dan direvisi, pendidikan
politik terhadap masyarakat perlu dibina dan ditingkatkan, dan rekrutmen
anggota partai mesti selektif sehingga partai merupakan gabungan orang-orang
yang memiliki kesadaran tinggi untuk memajukan bangsa ini, bukan gabungan
orang-orang yang ambisius dan pragmatis semata.
Karena itu lakukan yang mampu kita lakukan
untuk mendapatkan yang terbaik, jangan meninggalkan secara keseluruhannya nanti
ambruk. Kaidah fikih menyatakan: “Maa laa yudroku kulluhu, laa yutroku kulluhu”
artinya : “Jika tidak didapati seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya (yang
mampu dikerjakan).”
Tulisan ini telah dipublikasikan di suaratangsel.com Link: https://suaratangsel.com/politik-harapan-dan-kekuatan/
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Masukan Kritik dan Saran Anda