![]() |
Manivestasi Zakat Terhadap Perlindungan Anak |
Tuesday
November 4
November 4
MANIVESTASI ZAKAT TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK
Salah satu tujuan zakat adalah untuk
mensejahterakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada mulanya
memang zakat diberikan kepada mustahik
lebih kepada pemenuhan kebutuhan pokok yang sifatnya konsumtif. Namun sejalan
dengan perubahan zaman yang semakin berkembang dan kebutuhan yang semakin
kompleks serta tuntutan hidup yang semakin tinggi, sudah semestinya pengelolaan
zakat dirubah menjadi lebih bersifat produktif dan menjangkau jangka panjang,
sehingga zakat yang diberikan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sesaat
namun dapat berdayaguna dalam mensejahterakan masyarakat di masa yang akan
datang.
Jika dilihat program-program
yang sudah ada di Bazis atau di lembaga-lembaga zakat yang dikelola oleh
swasta, memang pada dasarnya sudah mengarah kepada pemberdayaan manusia dan
program-program yang berkesinambungan, seperti pemberian beasiswa kepada siswa
dan mahasiswa. Namun program-program lainnya belum mencerminkan program-program
yang sifatnya produktif. Misalnya, alokasi zakat untuk anak yatim semestinya
tidak hanya bersifat pemberian santunan namun di samping itu harus diberikan
bekal berupa program pelatihan atau keterampilan teknik yang dibiayai
pelaksanaannya dari dana zakat. Demikian juga program kesehatan, selaiknya
lebih menjangkau masa depan, misalnya dengan mendirikan rumah sehat bagi kaum
fakir miskin dan sejenisnya, yang dibiayai dana zakat. Adanya program-program
produktif dan berkesinambungan yang menjangkau masa depan, akan lebih dapat
mewujudkan kemandirian dan keberhasilan para mustahik, sehingga diharapkan mereka dapat terlepas dari
keterpurukan ekonomi dan dapat hidup sejahtera, yang pada akhirnya akan menjadi
para muzakki yang turut berjuang
dalam mengentaskan kemiskinan. Pemberdayaan tersebut merupakan manivestasi
program zakat yang perlu dikembangkan.
Dari delapan asnaf penerima zakat yang ditentukan
oleh Allah swt dalam naṣ al-Qur’an, ada beberapa asnaf diantaranya dapat dikategorikan
sebagai kaum dhuafa yaitu fakir,
miskin, orang yang berhutang, muallaf, hamba sahaya, dan musafir. Fakta
membuktikan bahwa keenam asnaf
tersebut merupakan orang-orang yang lemah dan perlu bantuan secara ekonomi.
Dalam konteks zakat, makna kaum dhuafa
atau orang-orang lemah perlu direkonsepsi lagi, sebab beberapa lembaga zakat
selama ini belum cukup berani untuk melakukan terobosan dalam penyaluran
zakatnya untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya produktif, berkesinambungan dan
menjangkau masa depan. Lembaga-lembaga zakat yang ada selama ini masih berkutik
diseputar kebutuhan pokok yang sifatnya konsumtif. Padahal jika dikaji ulang program-program
seperti pemberian beasiswa pendidikan, program pelatihan dan keterampilan
teknik, pemberian modal usaha kecil, pemberdayaan perempuan, mendirikan rumah
sehat, pembelaan masyarakat tertindas, dan lain-lain, semua itu masih dalam
kategori penyaluran dana zakat untuk keperluan para mustahik terutama kaum mustadh’afīn yang dikontruksi secara
profesional dalam mempersiapkan masa depannya yang lebih baik dan lebih
sejahtera.
Selanjutnya objek yang menjadi
perhatian beberapa kalangan dari sasaran penyaluran zakat adalah anak dan kaum
tertindas. Penelitian yang dilakukan oleh PIRAC (Public Interst Reseach and
Advocacy Center) pada tahun 2007 di DKI Jakarta menunjukkan bahwa
perlindungan anak mendapat dukungan yang paling besar untuk bisa mendapat
dukungan dari dana zakat. Ada sebanyak 46% responden yang menyatakan setuju
jika dana zakat digunakan untuk kegiatan perlindungan anak. Hal ini disebabkan
banyaknya kekerasan terhadap anak, orang tua yang membunuh anaknya karena
faktor ekonomi, anak sekolah yang bunuh diri karena tidak bisa membayar uang
sekolah, dan lain-lain.[1]
Selebihnya kegiatan yang juga mendapat dukungan dana zakat adalah untuk
pembelaan masyarakat tertindas sebanyak 28% responden dan selebihnya kegiatan
pemberdayaan perempuan, penegakkan hukum dan HAM, pelestarian lingkungan dan
pembelaan buruh.[2]
PIRAC melakukan survei di
sepuluh kota di Indonesia, antara lain Medan, Padang, DKI Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Pontianak, Balikpapan, Makasar dan Manado. Dari kesepuluh
kota tersebut perlindungan anak merupakan kegiatan yang paling besar mendapat perhatian
dan dukungan dari masyarakat dalam penyaluran zakat yakni berkisar antara
22%-51%, sedangkan peringkat kedua adalah penyaluran zakat untuk pembelaan
masyarakat tertindas berkisar antara 21%-49%.[3]
Penyaluran zakat yang
diprioritaskan untuk perlindungan anak sesungguhnya merupakan bagian dari tanggung
jawab masyarakat dimana anak merupakan amanah, dan cikal bakal penerus
cita-cita bangsa yang harus diperhatikan dan dipelihara dengan baik. Hal ini selaras dengan Undang-undang No. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang memberikan jaminan dan kepastian
hukum terhadap hak-hak anak, dengan alasan bahwa :[4]
1.
Anak adalah amanah dan
karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat
sebagai manusia seutuhnya.
2.
Anak adalah penerus
cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis, dan mempunyai ciri
dan sifat khusus yang diharapan dapat menjamin kelangsungan eksistensi bangsa
dan negara di masa depan.
3.
Anak perlu mendapat
kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik
secara fisik, mental, maupun sosial, dan mempunyai akhlak yang mulia.
4.
Pada kenyataannya masih
terdapat banyak anak yang :
a.
Belum terlindungi dari
berbagai kekerasan dan eksploitasi.
b.
Masih hidup terlantar
dan tidak mendapat kesempatan memeroleh pendidikan yang wajar apalagi memadai.
Sementara itu, klasifikasi
anak-anak yang perlu mendapatkan bantuan dari dana zakat sebagai investasi
jangka panjang adalah :
1. Anak
terlantar.
Pemberdayaan dana zakat
untuk anak terlantar ini dapat berupa mendirikan rumah singgah lengkap dengan
program pendidikan formal maupun informal, pembinaan keagamaan, etika, dan
moral. Penulis berpendapat bahwa hal ini sangat memungkinkan sebab potensi
zakat di Indonesia sangat besar sekitar Rp. 17,3 triliun per tahun sebagaimana
dikemukakan oleh Dr. Didin Hafiduddin ketua Baznas.[5]
Termasuk didalamnya potensi zakat di Provinsi DKI Jakarta diperkirakan sebesar
23 milyar pada tahun 2014, jika dilihat
dari sumber Bazis Propinsi DKI Jakarta tahun 2007, sebesar 21,7 milyar.[6]
2. Anak
korban kekerasan.
Dana zakat dapat
diberdayakan sesuai dengan isu yang ada. Jika ia mengalami kekerasan seksual
maka dana zakat dapat disalurkan melalui pendampingan psikologis bagi korban.
Pendampingan ini perlu sebab dalam beberapa kasus negara tidak dapat menangani
seluruh korban anak-anak ini, apalagi jika korban tidak diketahui oleh negara
dan tidak melaporkannya ke pihak berwenang. Padahal menurut data KPAI bahwa
kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual pada anak
sebanyak 45,7% (53 kasus) pada tahun 2010 dari 171 kasus terkait kekerasan.
3. Pekerja
Anak.
Lembaga zakat dapat ikut berperan serta dalam menanggulangi
anak yang bekerja di bawah umur, sebab masalah ini merupakan salah satu masalah
sosial yang perlu perhatian bersama. Negara pun dalam hal ini sudah berupaya
untuk menangani masalah sosial tersebut, dengan dikeluarkannya Undang-undang
Kesejahteraan Anak No. 4 Tahun 1979. Banyak faktor yang memengaruhi anak untuk
bekerja sebelum waktunya. Sebagai contoh adalah penelitian UNICEF Indonesia pada
tahun 2002-2003 yang dilakukan di Jawa Timur dimana menyebutkan bahwa
kemiskinan keluarga, hubungan yang tidak harmonis dalam keluarga yang
menyebabkan anak tidak berdaya, pengaruh lingkungan sosial anak dan sebagainya,
merupakan penyebab yang memengaruhi anak untuk bekerja.[7]
Peran lembaga zakat di sini dapat berupa penyaluran dana zakat dalam bentuk
jaminan kesehatan, pendidikan, dan pelatihan kerja atau pemberian modal usaha bagi orang tua si anak.
Penjelasan
tersebut di atas mengindikasikan bahwa zakat dapat dikelola dan diberdayakan
seoptimal mungkin dengan pengelolaan yang profesional sebagai sebuah kekuatan
ekonomi masyarakat. Hal senada disampaikan oleh Yusuf Qardhawi yang menyebutkan
bahwa zakat bukan sekedar kemurahan individu, melainkan suatu sistem tata
sosial yang dikelola oleh negara melalu aparat tersendiri. Aparat ini mengatur
semua permasalahan mulai pengumpulannya dari para muzakki hingga pendistribusiannya kepada mereka yang berhak.[8]
Optimalisasi
pengelolaan zakat yang dikelola secara cerdas dan profesional dengan merubah
pola konsumtif menjadi produktif bukanlah tanpa landasan pemikiran yang kuat,
namun hal ini didasarkan pada paradigma bahwa kategori kaum dhuafa yang disebutkan sebelumnya banyak
yang masih bisa bekerja dan berusaha serta memiliki potensi atau sumber daya
manusia yang dapat dikembangkan menjadi orang-orang yang memiliki kemampuan dan
keahlian, sehingga diharapkan mereka menjadi orang yang mandiri dan berdikari,
bahkan di masa mendatang sudah menjadi para muzakki
yang memerhatikan orang-orang yang senasib dengannya di masa lalu. Namun yang
menjadi permasalahn sekarang adalah bagaimana potensi dana zakat ini terkumpul
dalam bentuk yang real.
Banyak
penelitian atau survei yang dilakukan menunjukkan bahwa potensi kedermawanan
masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, tetapi tidak
sejalan lurus dengan nominal yang diberikannya. Dilihat dari nominal para muzakki di Indonesia pada umumnya zakat
yang diberikan masih minim. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain :
1.
Zakat yang diberikan
oleh para muzakki tidak seluruhnya
disalurkan kepada lembaga atau badan amil zakat yang ditunjuk atau yang sudah
dapat sertifikasi negara. Namun langsung diserahkan kepada mustahik, sehingga nominalnya terbagi.
2.
Tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga zakat atau ZIS belum begitu mendapat tempat karena
management lembaga atau organisasi ZIS dan wakaf di Indonesia masih lemah. Hal
ini disebabkan tidak ada atau kurangnya identifikasi dan penggalangan muzakki dan terutama dalam
mendistribusikan zakat, tidak ada klasifikasi mustahik.[9]
3.
Sosialisasi mengenai ZIS
atau Bazis masih belum meluas. Hanya orang-orang yang melek teknologi yang
banyak tahu tapi di masyarakat luas belum begitu dikenal terutama
program-programnya. Untuk itu ZIS ata Bazis harus lebih ekstra dalam
mensosialisasikan lembaga dan program-programnya, sehingga masyarakat dapat
mengenal lebih jauh dan pada akhirnya mau menyerahkan zakatnya kepada lembaga
yang lebih profesional dan mempunyai visi membangun masyarakat tidak mampu atau
kurang mampu menjadi lebih berdayaguna dan sejahtera.
Sebelumnya disebutkan bahwa dari berbagai hasil
penelitian diketahui bahwa potensi zakat di Indonesia semakin besar, khususnya
di wilayah DKI Jakarta. Jika demikian yang menjadi PR sekarang adalah bagaimana
dana zakat itu terdistribusi dengan tepat sasaran. Banyak problem kemiskinan di
wilayah provinsi DKI Jakarta yang belum tersentuh oleh pemerintah dan juga
belum mendapat perhatian intensif dari lembaga-lembaga zakat, yang pada
akhirnya problem tersebut menjadi problem sosial yang sangat serius. Penulis
memerhatikan begitu maraknya praktek riba di masyarakat, bahkan praktek
tersebut sudah sangat terorganisir secara masif, lewat bank keliling. Hampir
semua wilayah di Jakarta bahkan di pelosok daerah mempraktekan riba tersebut.
Hal ini menjadi keprihatinan penulis, sebab hal yang diharamkan oleh agama
menjadi sesuatu yang lumrah terjadi di masyarakat. Permasalahan ini menurut
penulis harus menjadi perhatian khusus lembaga terkait khususnya Bazis untuk
lebih berperan secara agresif. Ketergantungan masyarakat terhadap riba atau bank
keliling, mengindikasikan bahwa terjadi kemiskinan yang masif di kalangan
masyarakat, sebab menurut pengamatan penulis kurangnya penghasilan yang sesuai
standar hidup layak oleh karena biaya hidup termasuk biaya pendidikan yang
tinggi mengakibatkan masyarakat bersikap masabodoh dan mengabaikan larangan
agama.
Bazis sebagai lembaga zakat yang berorientasi dalam ikut
serta mengentaskan kemiskinan dan mensejahterakan masyarakat tentu harus
mengambil bagian dalam menyelesaikan masalah tersebut. Penulis berpendapat
bahwa harus ada lembaga yang dibiayai Bazis untuk meringankan beban masyarakat
dalam problem ini, antara lain dengan mendirikan Koperasi Simpan Pinjam bebas
riba di wilayah RT/RW setempat. Bazis hemat penulis harus membuat pilot project di wilayah-wilayah yang
sangat rentan terhadap praktek riba ini. Koperasi Simpan Pinjam bebas riba ini
sesungguhnya pernah dilakukan oleh seorang ibu dengan modal sendiri dan
berhasil (Kick Andi, Metro TV). Bazis tentu dengan modifikasi model koperasi
syar’i, dengan biaya zakat dan sistem pengembalian pinjaman yang diringankan akan
lebih efektif dalam pelaksanaannya dan sangat bermanfaat bagi masyarakat luas.
KESIMPULAN
Perubahan pola hidup
masyarakat, dan masalah yang semakin meningkat menyebabkan pola pemberian zakat
yang tadinya bersifat konsumtif harus dirubah menjadi berpola produktif dan
menjangkau jangka panjang, sehingga zakat yang diberikan tidak hanya untuk
memenuhi kebutuhan pokok sesaat namun dapat berdayaguna dalam mensejahterakan
masyarakat di masa yang akan datang. Pemikiran tersebut didasarkan kepada masih
banyaknya kaum dhuafa yang bisa bekerja dan berusaha serta memiliki
potensi atau sumber daya manusia yang dapat dikembangkan menjadi orang-orang
yang memiliki kemampuan dan keahlian, sehingga diharapkan mereka menjadi orang
yang mandiri dan berdikari, bahkan di masa mendatang sudah menjadi para muzakki yang memerhatikan orang-orang
yang senasib dengannya di masa lalu.
Potensi dana zakat masyarakat
Indonesia menurut penelitian PIRAC (Public Interst Reseach and Advocacy
Center) pada tahun 2007 di DKI Jakarta menunjukkan peningkatan yang begitu
besar sekitar 21,7 miliyar, dan diperkirakan 23 milyar pada tahun 2014. Potensi
yang besar tersebut dapat dikelola secara profesional dan tepat sasaran. Jika mengacu pada pemikiran di atas bahwa
penyaluran dana zakat harus bersifat produktif dan menjangkau masa yang akan
datang, maka lembaga zakat atau dalam hal ini Bazis harus mempriorotaskan
penyalurannya kepada objek yang dianggap sangat vital. Penelitian PIRAC yang
dilakukan di sepuluh kota di Indonesia menyebutkan bahwa perlindungan anak
mendapat dukungan yang paling besar untuk bisa mendapat dukungan dari dana
zakat. Rata-rata berkisar antara 22%-51% bagi perlindungan anak, sedangkan
peringkat kedua adalah penyaluran zakat untuk pembelaan masyarakat tertindas
berkisar antara 21%-49%, selebihnya untuk pembelaan kegiatan pemberdayaan
perempuan, penegakkan hukum dan HAM, pelestarian lingkungan dan pembelaan
buruh.
Ditulis Oleh : Kinkin Mulyati, SH.I
REFERENSI :
Apong Herlina, dkk. Perlindungan
Anak : Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Indonesia : UNICEF).
Firmansyah, dkk. Potensi
dan Peran Zakat Dalam Mengurangi Kemiskinan : Studi Kasus DKI Jakarta dan
Banjarnegara (Jakarta : P2E LIPI, 2008).
Hamid Abidin,
Kurniawati. Mensejahterakan Umat dengan Zakat : Potensi dan Realita Zakat
Masyarakat di Indonesia-Hasil Survei di Sepuluh Kota di Indonesia (Depok :
Piramedia, 2008).
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/
14/07/14/ n8p30m-baznas-potensi-zakat-rp-17-triliun-per-tahun.
M. Djamal Doa. Membangun
Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Zakat
Harta (Jakarta : Nuansa Madani, 2002).
Sukron
Kamil. “Filantropi Islam dan Keadilan Sosial Dalam Kalam dan Fiqih : Problem
dan Solusi”,dalam Wacana dan Praktik Filantropi Islam (Jakarta :
PBB Syarih Hidayatullah, 2003).
Yuli
Hastadewi, dkk. Pekerja Anak
(Indonesia : UNICEF, 2003)
[1]
Hamid Abidin, Kurniawati, Mensejahterakan Umat dengan Zakat : Potensi dan
Realita Zakat Masyarakat di Indonesia-Hasil Survei di Sepuluh Kota di Indonesia
(Depok : Piramedia, 2008), 56-57.
[2]
Hamid Abidin, Kurniawati, Mensejahterakan Umat dengan Zakat, 7.
[3]
Hamid Abidin, Kurniawati, Mensejahterakan Umat dengan Zakat,47-86.
[4]
Apong Herlina, dkk, Perlindungan Anak : Berdasarkan Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Indonesia : UNICEF), 4.
[5] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/
14/07/14/ n8p30m-baznas-potensi-zakat-rp-17-triliun-per-tahun
[6] Firmansyah,
dkk, Potensi dan Peran Zakat Dalam Mengurangi Kemiskinan : Studi Kasus DKI
Jakarta dan Banjarnegara (Jakarta : P2E LIPI, 2008), 104.
[7]
Yuli Hastadewi, dkk, Pekerja Anak (Indonesia : UNICEF, 2003)
[8] M.
Djamal Doa, Membangun Ekonomi Umat
Melalui Pengelolaan Zakat Harta (Jakarta : Nuansa Madani, 2002), 52.
[9]
Sukron Kamil, “Filantropi Islam dan Keadilan Sosial Dalam Kalam dan Fiqih :
Problem dan Solusi”,dalam Wacana dan Praktik Filantropi Islam
(Jakarta : PBB Syarih Hidayatullah, 2003), 42.

Posted by
Unknown
Posted on Tuesday, November 4, 2014 |
11/04/2014
With No comments
Join Me On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for visiting ! ::
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Masukan Kritik dan Saran Anda