English French Russian Japanese Arabic


MANIVESTASI ZAKAT TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK

Manivestasi Zakat Terhadap Perlindungan Anak
Salah satu tujuan zakat adalah untuk mensejahterakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada mulanya memang zakat diberikan kepada mustahik lebih kepada pemenuhan kebutuhan pokok yang sifatnya konsumtif. Namun sejalan dengan perubahan zaman yang semakin berkembang dan kebutuhan yang semakin kompleks serta tuntutan hidup yang semakin tinggi, sudah semestinya pengelolaan zakat dirubah menjadi lebih bersifat produktif dan menjangkau jangka panjang, sehingga zakat yang diberikan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sesaat namun dapat berdayaguna dalam mensejahterakan masyarakat di masa yang akan datang.
Jika dilihat program-program yang sudah ada di Bazis atau di lembaga-lembaga zakat yang dikelola oleh swasta, memang pada dasarnya sudah mengarah kepada pemberdayaan manusia dan program-program yang berkesinambungan, seperti pemberian beasiswa kepada siswa dan mahasiswa. Namun program-program lainnya belum mencerminkan program-program yang sifatnya produktif. Misalnya, alokasi zakat untuk anak yatim semestinya tidak hanya bersifat pemberian santunan namun di samping itu harus diberikan bekal berupa program pelatihan atau keterampilan teknik yang dibiayai pelaksanaannya dari dana zakat. Demikian juga program kesehatan, selaiknya lebih menjangkau masa depan, misalnya dengan mendirikan rumah sehat bagi kaum fakir miskin dan sejenisnya, yang dibiayai dana zakat. Adanya program-program produktif dan berkesinambungan yang menjangkau masa depan, akan lebih dapat mewujudkan kemandirian dan keberhasilan para mustahik, sehingga diharapkan mereka dapat terlepas dari keterpurukan ekonomi dan dapat hidup sejahtera, yang pada akhirnya akan menjadi para muzakki yang turut berjuang dalam mengentaskan kemiskinan. Pemberdayaan tersebut merupakan manivestasi program zakat yang perlu dikembangkan.
Dari delapan asnaf penerima zakat yang ditentukan oleh Allah swt dalam na al-Qur’an, ada beberapa asnaf diantaranya dapat dikategorikan sebagai kaum dhuafa yaitu fakir, miskin, orang yang berhutang, muallaf, hamba sahaya, dan musafir. Fakta membuktikan bahwa keenam asnaf tersebut merupakan orang-orang yang lemah dan perlu bantuan secara ekonomi. Dalam konteks zakat, makna kaum dhuafa atau orang-orang lemah perlu direkonsepsi lagi, sebab beberapa lembaga zakat selama ini belum cukup berani untuk melakukan terobosan dalam penyaluran zakatnya untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya produktif, berkesinambungan dan menjangkau masa depan. Lembaga-lembaga zakat yang ada selama ini masih berkutik diseputar kebutuhan pokok yang sifatnya konsumtif. Padahal jika dikaji ulang program-program seperti pemberian beasiswa pendidikan, program pelatihan dan keterampilan teknik, pemberian modal usaha kecil, pemberdayaan perempuan, mendirikan rumah sehat, pembelaan masyarakat tertindas, dan lain-lain, semua itu masih dalam kategori penyaluran dana zakat untuk keperluan para mustahik terutama kaum mustadh’afīn yang dikontruksi secara profesional dalam mempersiapkan masa depannya yang lebih baik dan lebih sejahtera.    
Selanjutnya objek yang menjadi perhatian beberapa kalangan dari sasaran penyaluran zakat adalah anak dan kaum tertindas. Penelitian yang dilakukan oleh PIRAC (Public Interst Reseach and Advocacy Center) pada tahun 2007 di DKI Jakarta menunjukkan bahwa perlindungan anak mendapat dukungan yang paling besar untuk bisa mendapat dukungan dari dana zakat. Ada sebanyak 46% responden yang menyatakan setuju jika dana zakat digunakan untuk kegiatan perlindungan anak. Hal ini disebabkan banyaknya kekerasan terhadap anak, orang tua yang membunuh anaknya karena faktor ekonomi, anak sekolah yang bunuh diri karena tidak bisa membayar uang sekolah, dan lain-lain.[1] Selebihnya kegiatan yang juga mendapat dukungan dana zakat adalah untuk pembelaan masyarakat tertindas sebanyak 28% responden dan selebihnya kegiatan pemberdayaan perempuan, penegakkan hukum dan HAM, pelestarian lingkungan dan pembelaan buruh.[2]
PIRAC melakukan survei di sepuluh kota di Indonesia, antara lain Medan, Padang, DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Pontianak, Balikpapan, Makasar dan Manado. Dari kesepuluh kota tersebut perlindungan anak merupakan kegiatan yang paling besar mendapat perhatian dan dukungan dari masyarakat dalam penyaluran zakat yakni berkisar antara 22%-51%, sedangkan peringkat kedua adalah penyaluran zakat untuk pembelaan masyarakat tertindas berkisar antara 21%-49%.[3]
Penyaluran zakat yang diprioritaskan untuk perlindungan anak sesungguhnya merupakan bagian dari tanggung jawab masyarakat dimana anak merupakan amanah, dan cikal bakal penerus cita-cita bangsa yang harus diperhatikan dan dipelihara dengan baik.  Hal ini selaras dengan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang memberikan jaminan dan kepastian hukum terhadap hak-hak anak, dengan alasan bahwa :[4]
1.    Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
2.   Anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang diharapan dapat menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan.
3.   Anak perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental, maupun sosial, dan mempunyai akhlak yang mulia.
4.   Pada kenyataannya masih terdapat banyak anak yang :
a.    Belum terlindungi dari berbagai kekerasan dan eksploitasi.
b.   Masih hidup terlantar dan tidak mendapat kesempatan memeroleh pendidikan yang wajar apalagi memadai.
Sementara itu, klasifikasi anak-anak yang perlu mendapatkan bantuan dari dana zakat sebagai investasi jangka panjang adalah :
1.    Anak terlantar.
Pemberdayaan dana zakat untuk anak terlantar ini dapat berupa mendirikan rumah singgah lengkap dengan program pendidikan formal maupun informal, pembinaan keagamaan, etika, dan moral. Penulis berpendapat bahwa hal ini sangat memungkinkan sebab potensi zakat di Indonesia sangat besar sekitar Rp. 17,3 triliun per tahun sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Didin Hafiduddin ketua Baznas.[5] Termasuk didalamnya potensi zakat di Provinsi DKI Jakarta diperkirakan sebesar 23 milyar pada tahun 2014,  jika dilihat dari sumber Bazis Propinsi DKI Jakarta tahun 2007, sebesar 21,7 milyar.[6]
2.   Anak korban kekerasan.
Dana zakat dapat diberdayakan sesuai dengan isu yang ada. Jika ia mengalami kekerasan seksual maka dana zakat dapat disalurkan melalui pendampingan psikologis bagi korban. Pendampingan ini perlu sebab dalam beberapa kasus negara tidak dapat menangani seluruh korban anak-anak ini, apalagi jika korban tidak diketahui oleh negara dan tidak melaporkannya ke pihak berwenang. Padahal menurut data KPAI bahwa kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual pada anak sebanyak 45,7% (53 kasus) pada tahun 2010 dari 171 kasus terkait kekerasan.

3.   Pekerja Anak.
Lembaga zakat dapat ikut berperan serta dalam menanggulangi anak yang bekerja di bawah umur, sebab masalah ini merupakan salah satu masalah sosial yang perlu perhatian bersama. Negara pun dalam hal ini sudah berupaya untuk menangani masalah sosial tersebut, dengan dikeluarkannya Undang-undang Kesejahteraan Anak No. 4 Tahun 1979. Banyak faktor yang memengaruhi anak untuk bekerja sebelum waktunya. Sebagai contoh adalah penelitian UNICEF Indonesia pada tahun 2002-2003 yang dilakukan di Jawa Timur dimana menyebutkan bahwa kemiskinan keluarga, hubungan yang tidak harmonis dalam keluarga yang menyebabkan anak tidak berdaya, pengaruh lingkungan sosial anak dan sebagainya, merupakan penyebab yang memengaruhi anak untuk bekerja.[7] Peran lembaga zakat di sini dapat berupa penyaluran dana zakat dalam bentuk jaminan kesehatan, pendidikan, dan pelatihan kerja atau pemberian modal usaha  bagi orang tua si anak.
Penjelasan tersebut di atas mengindikasikan bahwa zakat dapat dikelola dan diberdayakan seoptimal mungkin dengan pengelolaan yang profesional sebagai sebuah kekuatan ekonomi masyarakat. Hal senada disampaikan oleh Yusuf Qardhawi yang menyebutkan bahwa zakat bukan sekedar kemurahan individu, melainkan suatu sistem tata sosial yang dikelola oleh negara melalu aparat tersendiri. Aparat ini mengatur semua permasalahan mulai pengumpulannya dari para muzakki hingga pendistribusiannya kepada mereka yang berhak.[8] 
Optimalisasi pengelolaan zakat yang dikelola secara cerdas dan profesional dengan merubah pola konsumtif menjadi produktif bukanlah tanpa landasan pemikiran yang kuat, namun hal ini didasarkan pada paradigma bahwa kategori kaum dhuafa yang disebutkan sebelumnya banyak yang masih bisa bekerja dan berusaha serta memiliki potensi atau sumber daya manusia yang dapat dikembangkan menjadi orang-orang yang memiliki kemampuan dan keahlian, sehingga diharapkan mereka menjadi orang yang mandiri dan berdikari, bahkan di masa mendatang sudah menjadi para muzakki yang memerhatikan orang-orang yang senasib dengannya di masa lalu. Namun yang menjadi permasalahn sekarang adalah bagaimana potensi dana zakat ini terkumpul dalam bentuk yang real.
Banyak penelitian atau survei yang dilakukan menunjukkan bahwa potensi kedermawanan masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat, tetapi tidak sejalan lurus dengan nominal yang diberikannya. Dilihat dari nominal para muzakki di Indonesia pada umumnya zakat yang diberikan masih minim. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1.    Zakat yang diberikan oleh para muzakki tidak seluruhnya disalurkan kepada lembaga atau badan amil zakat yang ditunjuk atau yang sudah dapat sertifikasi negara. Namun langsung diserahkan kepada mustahik, sehingga nominalnya terbagi.
2.   Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat atau ZIS belum begitu mendapat tempat karena management lembaga atau organisasi ZIS dan wakaf di Indonesia masih lemah. Hal ini disebabkan tidak ada atau kurangnya identifikasi dan penggalangan muzakki dan terutama dalam mendistribusikan zakat, tidak ada klasifikasi mustahik.[9]
3.   Sosialisasi mengenai ZIS atau Bazis masih belum meluas. Hanya orang-orang yang melek teknologi yang banyak tahu tapi di masyarakat luas belum begitu dikenal terutama program-programnya. Untuk itu ZIS ata Bazis harus lebih ekstra dalam mensosialisasikan lembaga dan program-programnya, sehingga masyarakat dapat mengenal lebih jauh dan pada akhirnya mau menyerahkan zakatnya kepada lembaga yang lebih profesional dan mempunyai visi membangun masyarakat tidak mampu atau kurang mampu menjadi lebih berdayaguna dan sejahtera. 
            Sebelumnya disebutkan bahwa dari berbagai hasil penelitian diketahui bahwa potensi zakat di Indonesia semakin besar, khususnya di wilayah DKI Jakarta. Jika demikian yang menjadi PR sekarang adalah bagaimana dana zakat itu terdistribusi dengan tepat sasaran. Banyak problem kemiskinan di wilayah provinsi DKI Jakarta yang belum tersentuh oleh pemerintah dan juga belum mendapat perhatian intensif dari lembaga-lembaga zakat, yang pada akhirnya problem tersebut menjadi problem sosial yang sangat serius. Penulis memerhatikan begitu maraknya praktek riba di masyarakat, bahkan praktek tersebut sudah sangat terorganisir secara masif, lewat bank keliling. Hampir semua wilayah di Jakarta bahkan di pelosok daerah mempraktekan riba tersebut. Hal ini menjadi keprihatinan penulis, sebab hal yang diharamkan oleh agama menjadi sesuatu yang lumrah terjadi di masyarakat. Permasalahan ini menurut penulis harus menjadi perhatian khusus lembaga terkait khususnya Bazis untuk lebih berperan secara agresif. Ketergantungan masyarakat terhadap riba atau bank keliling, mengindikasikan bahwa terjadi kemiskinan yang masif di kalangan masyarakat, sebab menurut pengamatan penulis kurangnya penghasilan yang sesuai standar hidup layak oleh karena biaya hidup termasuk biaya pendidikan yang tinggi mengakibatkan masyarakat bersikap masabodoh dan mengabaikan larangan agama.
            Bazis sebagai lembaga zakat yang berorientasi dalam ikut serta mengentaskan kemiskinan dan mensejahterakan masyarakat tentu harus mengambil bagian dalam menyelesaikan masalah tersebut. Penulis berpendapat bahwa harus ada lembaga yang dibiayai Bazis untuk meringankan beban masyarakat dalam problem ini, antara lain dengan mendirikan Koperasi Simpan Pinjam bebas riba di wilayah RT/RW setempat. Bazis hemat penulis harus membuat pilot project di wilayah-wilayah yang sangat rentan terhadap praktek riba ini. Koperasi Simpan Pinjam bebas riba ini sesungguhnya pernah dilakukan oleh seorang ibu dengan modal sendiri dan berhasil (Kick Andi, Metro TV). Bazis tentu dengan modifikasi model koperasi syar’i, dengan biaya zakat dan sistem pengembalian pinjaman yang diringankan akan lebih efektif dalam pelaksanaannya dan sangat bermanfaat bagi masyarakat luas.

KESIMPULAN
Perubahan pola hidup masyarakat, dan masalah yang semakin meningkat menyebabkan pola pemberian zakat yang tadinya bersifat konsumtif harus dirubah menjadi berpola produktif dan menjangkau jangka panjang, sehingga zakat yang diberikan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sesaat namun dapat berdayaguna dalam mensejahterakan masyarakat di masa yang akan datang. Pemikiran tersebut didasarkan kepada masih banyaknya kaum dhuafa yang bisa bekerja dan berusaha serta memiliki potensi atau sumber daya manusia yang dapat dikembangkan menjadi orang-orang yang memiliki kemampuan dan keahlian, sehingga diharapkan mereka menjadi orang yang mandiri dan berdikari, bahkan di masa mendatang sudah menjadi para muzakki yang memerhatikan orang-orang yang senasib dengannya di masa lalu.
Potensi dana zakat masyarakat Indonesia menurut penelitian PIRAC (Public Interst Reseach and Advocacy Center) pada tahun 2007 di DKI Jakarta menunjukkan peningkatan yang begitu besar sekitar 21,7 miliyar, dan diperkirakan 23 milyar pada tahun 2014. Potensi yang besar tersebut dapat dikelola secara profesional dan tepat sasaran.  Jika mengacu pada pemikiran di atas bahwa penyaluran dana zakat harus bersifat produktif dan menjangkau masa yang akan datang, maka lembaga zakat atau dalam hal ini Bazis harus mempriorotaskan penyalurannya kepada objek yang dianggap sangat vital. Penelitian PIRAC yang dilakukan di sepuluh kota di Indonesia menyebutkan bahwa perlindungan anak mendapat dukungan yang paling besar untuk bisa mendapat dukungan dari dana zakat. Rata-rata berkisar antara 22%-51% bagi perlindungan anak, sedangkan peringkat kedua adalah penyaluran zakat untuk pembelaan masyarakat tertindas berkisar antara 21%-49%, selebihnya untuk pembelaan kegiatan pemberdayaan perempuan, penegakkan hukum dan HAM, pelestarian lingkungan dan pembelaan buruh.

Ditulis Oleh : Kinkin Mulyati, SH.I

REFERENSI :

Apong Herlina, dkk. Perlindungan Anak : Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak  (Indonesia : UNICEF).
Firmansyah, dkk. Potensi dan Peran Zakat Dalam Mengurangi Kemiskinan : Studi Kasus DKI Jakarta dan Banjarnegara (Jakarta : P2E LIPI, 2008).
Hamid Abidin, Kurniawati. Mensejahterakan Umat dengan Zakat : Potensi dan Realita Zakat Masyarakat di Indonesia-Hasil Survei di Sepuluh Kota di Indonesia (Depok : Piramedia, 2008).
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/ 14/07/14/ n8p30m-baznas-potensi-zakat-rp-17-triliun-per-tahun.
M. Djamal Doa. Membangun Ekonomi Umat  Melalui Pengelolaan Zakat Harta (Jakarta : Nuansa Madani, 2002).
Sukron Kamil. “Filantropi Islam dan Keadilan Sosial Dalam Kalam dan Fiqih : Problem dan Solusi”,dalam Wacana dan Praktik Filantropi Islam (Jakarta : PBB Syarih Hidayatullah, 2003).
Yuli Hastadewi, dkk. Pekerja Anak  (Indonesia : UNICEF, 2003)



[1] Hamid Abidin, Kurniawati, Mensejahterakan Umat dengan Zakat : Potensi dan Realita Zakat Masyarakat di Indonesia-Hasil Survei di Sepuluh Kota di Indonesia (Depok : Piramedia, 2008), 56-57.  
[2] Hamid Abidin, Kurniawati, Mensejahterakan Umat dengan Zakat, 7.
[3] Hamid Abidin, Kurniawati, Mensejahterakan Umat dengan Zakat,47-86.
[4] Apong Herlina, dkk, Perlindungan Anak : Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak  (Indonesia : UNICEF), 4.
[5] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/ 14/07/14/ n8p30m-baznas-potensi-zakat-rp-17-triliun-per-tahun
[6] Firmansyah, dkk, Potensi dan Peran Zakat Dalam Mengurangi Kemiskinan : Studi Kasus DKI Jakarta dan Banjarnegara (Jakarta : P2E LIPI, 2008), 104.
[7] Yuli Hastadewi, dkk, Pekerja Anak  (Indonesia : UNICEF, 2003)
[8] M. Djamal Doa, Membangun Ekonomi Umat  Melalui Pengelolaan Zakat Harta (Jakarta : Nuansa Madani, 2002), 52.
[9] Sukron Kamil, “Filantropi Islam dan Keadilan Sosial Dalam Kalam dan Fiqih : Problem dan Solusi”,dalam Wacana dan Praktik Filantropi Islam (Jakarta : PBB Syarih Hidayatullah, 2003), 42.

0 comments:

Post a Comment

Silahkan Masukan Kritik dan Saran Anda

 
Support : Kinkin Mulyati | Ahmad Saeful Muslim
Copyright © 2013. Kinkin Mulyati - All Rights Reserved
Created by Creating Website Published by Cherocheri
Proudly powered by Blogger