English French Russian Japanese Arabic


MEMAHAMI SYARI’AT DAN FIQH ISLAM

Kinkin Mulyati
Dalam kehidupan seorang muslim istilah syari’at dan fiqh barangkali bukanlah masalah yang baru. Kedua kata itu sering disebut ketika seseorang berbicara mengenai Islam, bahkan memang seharusnya sebagai seorang mukallaf (akil baligh) dua hal tersebut merupakan hal yang patut dikenal sebab konsekuensi dari akibat hukumnya berlaku bagi semua muslim mukallaf. Namun, sebagian umat Islam kerapkali tidak memahami kedua istilah itu dan banyak menganggap bahwa keduanya adalah sama/tidak berbeda. Sehingga dalam beberapa masalah banyak diantara mereka yang terjebak oleh pertengkaran mengenai fiqh, padahal berbicara mengenai fiqh berarti sedang berbicara mengenai ijtihad seseorang yang sangat dipengaruhi oleh keadaan pengetahuan, suasana, maupun lingkungan setempat.
Dalam perspektif syar’i, hukum Islam terdiri dari dua tingkatan yaitu hukum syari’at dan hukum fiqh,[1] sedangkan menurut Ahmad Sukardja hukum dalam pandangan Islam ada tiga kategori yaitu syari’at, fiqh dan siyasah syar’iyah.[2] Menurut lugath (bahasa), syari’at berarti jalan. Menurut Asaf A.A. Fyzee dalam “Outlines of Muhammedan Law” sebagaimana dikutif oleh Saidus Syahar, syari’at menurut lughat berarti jalan ke mata air atau jalan yang harus diteliti. Bagi orang Arab adalah penting sekali untuk mengetahui jalan yang menuju mata air. Mata air di Arabia yang tanahnya terdiri dari gurun pasir adalah sangat vital bagi kehidupan orang, sehingga jalan yang menujunya selalu harus dikenali orang.[3] Syari’at dalam hukum Islam lebih menggambarkan kumpulan norma-norma hukum yang merupakan hasil dari proses tasyri’. Kata tasyri’ merupakan madar dari syarra’a yang berarti menciptakan dan menetapkan syari’ah.[4] Sedangkan menurut Manna al-Qathan, syari’at adalah segala ketentuan Allah yang disyari’atkan bagi hamba-hambaNya baik menyangkut akidah, ibadah, akhlak maupun mu’amalah.[5] Ibrahim Hosen menyebutkan bahwa syari’at tidak mengandung tafsiran, sehingga ahli hukum Islam tidak dapat menggunakan ijtihad. Syari’at wajib diikuti oleh semua muslim.[6] 
Berbeda dengan fiqh, secara semantis kata fiqh bermakna mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik, sedangkan menurut istilah adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalil yang terinci.[7] Fiqh  dalam al-Qur’an disebut oleh Allah dalam surat At-Taubah [9] : 122,
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كآفَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِيْ الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوْا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ (التوبة :١٢٢)
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang), mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.”  

Kata tafaqquh berarti (memahami fiqh atau memperdalam pengetahuan agama). Sedangkan fiqh dalam hadits Nabi saw :
“Barangsiapa dikehendaki oleh Allah akan diberikannya kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan kepadanya “ke-faqih-an” (memahami fiqh) dalam urusan agama.” (HR. Bukhari-Muslim).
Untuk lebih mudah membedakan antara hukum syari’at dan fiqh, di bawah ini penulis sajikan tabel keduanya.

Perihal
Syari’at

Fiqh

Obyek
Meliputi peraturan-peraturan mengenai hubungan manusia dengan Tuhan (ibadah).
Meliputi hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah.
Sumber Hukum
Wahyu (al-Qur’an dan hadis) atau kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari wahyu (deducation of wahyu).
Dalil-dalil terinci dari al-Qur’an dan hadis yang menunjuk suatu kejadian tertentu atau menjadi rujukan bagi kejadian-kejadian tertentu.
Tujuan
Memelihara akal, jiwa, harta, keturunan dan agama.
Mengetahui hukum dari setiap perbuatan mukallaf tentang halal, haram, wajib, mubah, makruh.
Berlaku
Wajib diikuti dalam setiap keadaan.
Tergantung tempat, waktu, dan kondisi.





CONTOH NASH AL-QUR’AN DAN HADIS


Syari’at


Fiqh

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللهِ وَاللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan, dan sebagai saksaan dari Allah, dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana … .” (QS Al-Maidah [3] : 38).

Hadis :
“Tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian terhadap mayang kurma, tidak pula pencuri buah-buahan.”

“Tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham.”

· Tidak dilakukan hukum potong tangan bagi prajurit yang mencuri dalam peperangan.
· Khalifah Umar tidak menerapkan hukum potong tangan pada pencurian ketika musim paceklik dan kelaparan.
· Imam Abu Hanifah dan Muhammad Hasan Asy Syaibani tidak memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan dalam katagori pencuri yang harus dihukum potong tangan. Sedangkan Imam Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan termasuk pencuri yang harus dihukum potong tangan.
Pertanyaannya apakah pencuri kain kafan (nabbasy) termasuk kategori pencuri (sariq) atau bukan, yang harus diterapkan hukum potong tangan karena kain kafan bukan milik orang yang hidup dan juga bukan hak milik si mayat ?
Syari’at

Fiqh

... وَأَحَلَّ اللهُ اْلبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ...
“...dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”

يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (al-Baqarah : 278)

Keharaman riba dalam tradisi perniagaan masyarakat Arab jahiliyyah  menjadi rujukan dalam pembahasan riba saat ini. Masa jahiliyyah dikenal dua macam riba yakni :
1.Riba an-Nasi’ah (lipat ganda) seperti minjam 100 dirham harus kembali 200 dirham,
2.Riba al-fadhl (menukar jenis barang yang sama tetapi kadar berbeda, yang satu lebih baik dari yang lain).
Riba yang berkembang sekarang dilembagakan lewat perbankan, koperasi, simpan pinjam, pegadaian yang pada waktu Rasulullah saw tidak dikenal. Pembahasan riba tersebut menjadi perdebatan para ulama dalam tataran manfaat maupun mudharatnya, ketika diterapkan di negara yang tidak bersistem Islam.

Jadi syari’at adalah kumpulan norma-norma atau aturan-aturan yang ditetapkan Allah swt kepada hambaNya yang mukallaf.  Sedangkan untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf, baik yang wajib, sunah, mubah, makruh ataupun haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili) diperlukan ilmu fiqh. Produk ilmu fiqh ini disebut fiqh.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa yang terkena beban hukum tersebut adalah orang mukallaf. Orang mukallaf dalam hukum Islam harus memenuhi beberapa syarat yaitu :
a.  Memahami perintah (beban hukum) yang dibebankan kepadanya.
b. Baligh (dewasa).
c. Berakal (sadar dan tidak gila).
 Namun jika seseorang tidak cukup untuk memahami/ mengetahui hukum yang dibebankan kepadanya, maka ia bisa ittiba’ (mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain dengan mengetahui argumen, dalil/hujjahnya) atau taqlid (mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain tanpa mengetahui argumen, dalil/hujjahnya). Ada beberapa tingkatan taqlid :
a. Taqlid yang wajib : taqlid kepada Rasulullah saw. Istilah kaum salaf taqlid kepada Rasulullah disebut ittiba’.
b.   Taqlid yang haram :
1.   Taqlid dengan tidak menghiraukan nash yang ada, disebabkan semata-mata mengikuti kebiasaan/kepercayaan  orang tua atau leluhurnya.
2. Taqlid kepada seseorang yang belum diakui kemuktabarannya serta kemampuannya dalam  mengistinbathkan hukum fiqh.
3. Taqlid buta yakni mengikuti pendapat orang lain dengan fanatik sekalipun terdapat hujjah atau argumen yang lebih kuat yang bertentangan dengan pendapat orang tersebut.
c.   Taqlid yang dibolehkan : mengikuti pendapat ulama mujtahid yang sudah muktabar serta mempunyai kompetensi dalam mengistinbathkan hukum fiqh, terutama bagi orang awam yang tidak punya kemampuan dalam menggali hukum hukum syara’ secara mendalam.

--------------------------------
Ditulis Oleh : Kinkin Mulyati.




[1] Ibrahim Hosen, Filsafat Hukum Islam (Jakarta : Yayasan Institut Ilmu al-Qur’an, 1997), 1.
[2] Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945 (Jakarta : Universitas Indonesia, 1995), 9.
[3] Saidus Syahar, Asas-asas Hukum Islam (Bandung : Alumni UNPAD, 1983), 23.
[4] Jamaluddin bin Muhammad al-Afriqi, Lisan al-‘Arab (Beirut : Dar al-Shadir, tt), Jilid VIII, 157.
[5] Manna’ al-Qathan, al-Tasyri’ wa al-fiqh fi al-Islam (Muassasah al-Risalah, tt) 14.
[6] Ibrahim Hosen, Filsafat Hukum Islam, 1-2.
[7] Mahmud Syaltout, al-Islam Aqidah wa al-Syari’ah (Dar al-Qalam , 1966), Cet-3, 12.

0 comments:

Post a Comment

Silahkan Masukan Kritik dan Saran Anda

 
Support : Kinkin Mulyati | Ahmad Saeful Muslim
Copyright © 2013. Kinkin Mulyati - All Rights Reserved
Created by Creating Website Published by Cherocheri
Proudly powered by Blogger