Kinkin Mulyati |
Seorang
sahabat bertanya kepada saya, tentang bacaan al-Qur’an menggunakan langgam
bukan Arab, yang katanya beberapa hari ini lagi ramai dibincangkan di Media
Sosial. Inilah jawaban saya:
Lagu-lagu
al-Qur’an yang biasa kita dengar sesungguhnya sudah dikenal sejak dulu. Namun
yang jadi masalahnya adalah tentang asal mula adanya lagu al-Qur’an dan siapa
orang yang pertama kali melagukannya.
Menurut
Ibnu Mandhur dalam kitabnya Lisānul ‘Arab juz 19 halaman 373 dikatakan bahwa
dari segi sejarahnya asal mula lagu al-Qur’an dibagi menjadi dua pendapat, pertama,
lagu al-Qur’an itu berasal dari nyanyian budak-budak kafir yang tertawan ketika
perang melawan kaum muslimin. Kedua, bahwa lagu-lagu al-Qur’an itu berasal dari
nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Selanjutnya nyanyian tersebut digunakan
untuk melagukan al-Qur’an. Untuk pendapat yang kedua menimbulkan pertanyaan
baru, siapa orang pertama yang memindahkan nyanyian bangsa Arab ini sebagai
lagu al-Qur’an? Dan jika memang berasal dari nyanyian mengapa banyak musisi
mengatakan bahwa kenyataannya tidak semua lagu dapat dirumuskan ke dalam not
balok, termasuk lagu-lagu al-Qur’an sebab dalam lagu al-Qur’an terlalu banyak
pecahan suaranya.
Di
luar konteks itu, yang jelas ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ṭabrani
dan Baihaqi yang menyebutkan :
“Bacalah
olehmu al-Qur’an dengan lahan Arab (cara membaca yang baik dari orang Arab) dan
cara-cara mereka dalam menyuarakannya. Jauhilah cara-cara membaca yang
dilakukan oleh Ahli Kitab orang-orang yang fasik, bahkan orang itu harus
dita’zir, dan orang yang mendengarkannya pun harus mengingkarinya. Sesungguhnya
nanti akan datang suatu kaum yang mengulangi bacaan al-Qur’annya hanya karena
lagu seperti yang telah dilakukan para rahib, seolah-olah mereka bukan membaca
al-Qur’an. Apa yang mereka baca tidak membekas pada diri mereka,
pengagum-pengagum hanya diselimuti fitnah belaka.”
Dari
hadis tersebut dapat diketahui bahwa kita diperintahkan untuk membaca al-Qur’an
dengan mencontoh cara membaca al-Qur’an yang baik dari orang Arab, termasuk
melagukannya, dan menjauhi melagukan al-Qur’an seperti para rahib. Kita pun
diperintahkan agar membaca al-Qur’an dengan memahaminya supaya berbekas dalam
diri kita.
Yang
menjadi persoalan adalah bagaimana jika al-Qur’an dilagukan tidak berkiblat
pada lagu Arab, melainkan pada lagu daerah masing-masing?
Perlu
diketahui bahwa setelah Islam masuk ke Indonesia, selama beberapa abad, para
mubaligh dan kiai mengajarkan al-Qur’an secara individual dan sukarela, mereka
pun mengajarkan al-Qur’an secara klasik dengan lagu dan irama khas ala
Indonesia. Namun menjelang abad ke-20 Masehi bersamaan dibukanya terusan Suez
banyak orang Indonesia yang belajar dan berguru langsung di tempat turunnya
al-Qur’an, yakni Mekkah dan Madinah. Salah satu ilmu yang mereka pelajari
adalah membaca al-Qur’an dengan nagham (lagu) Mekkah yang kemudian dikenal
dengan lagu Makkawi, dengan menisbatkan kepada Mekkah. Lagu-lagu Makkawi yang
terkenal adalah Banjakah, Hijaz, Mayya, Rakby, Jiharkah, Sikah, dan Dukkah.
Kemudian
pada tahun 1960 pemerintah Mesir mengirimkan beberapa Qari’ kenamaan ke
Indonesia dan ke negara-negara Islam, Qari-qari Mesir itu membaca al-Qur’an
dengan lagu ala Mesir, sesuai dialek Mesir yang Merdu dan menawan hati,
sehingga dari situlah tumbuh dengan subur lagu-lagu Mesir atau dikenal lagu
Mishriyah. Lagu-lagu Mishriyah yang terkenal adalah Bayyātī, Hijāz, Ṣobā, Rost,
Jaharkāh, Sīkā, dan Nahāwand. Dapat dipastikan lagu-lagu yang dibaca di
Indonesia 99% menggunakan lagu Mishriyah dan dalam MTQ hampir tidak ada qari’
yang menggunakan lagu Makkawi kecuali hanya variasi dari lagu pokok.
Jadi
jika demikian membaca menggunakan langgam atau dialek daerah masing-masing
sesungguhnya sudah dikenal sejak dulu. Baik di Mekkah, Mesir, maupun di
Indonesia sendiri. Membacanya tidak harus terikat pada langgam atau nagham
Arab, sebab yang saya tahu tidak ada dalil satu pun yang melarangnya, bahkan
membaca kalimat dan huruf yang ada dalam al-Qur’an pun, Nabi menyerahkannya
kepada orang yang akan membacanya. Nabi mengatakan “...sesungguhnya al-Qur’an
itu diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh macam bacaan) maka bacalah mana yang
kalian anggap mudah.” (HR. Bukhāri, Muslim, Abu Dāwūd, dll). Hanya saja harus
diakui karena al-Qur’an berbahasa Arab, maka irama yang cocok, dan mendekati
dari makhorijul huruf al-Qur’an adalah lagu yang berdialek bahasa al-Qur’an itu
sendiri, yaitu Arab atau qari’/ah Indonesia menyebutnya dengan irama padang
pasir. Karena itu Nabi menyuruh kita mencontoh cara membaca al-Qur’an yang baik
dari orang Arab, termasuk melagukannya.
Sekian,
semoga manfaat.
Wallohu’alam.
Catatan
: Transliterasi Arab mengacu pada Library of Congress Romanization of Arabic.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Masukan Kritik dan Saran Anda