![]() |
Kinkin Mulyati |
Sunday
November 1
November 1
SAKRALISASI PENULISAN AKSARA ARAB DALAM LITERATUR SEJARAH DAN QIRA’AT
Akhir-akhir
ini banyak tulisan/pendapat mengenai penulisan transliterasi Arab ke Latin yang
dishare kepada khalayak umum, baik berasal dari seorang ustaz maupun
pengikutnya, disampaikan dalam ceramah maupun diupload lewat status media
sosial, para pembuli pun ikut-ikutan menulis dan mengkritik habis-habisan orang
yang dianggapnya salah, padahal apa yang mereka persoalkan sesungguhnya tidak
punya dasar sama sekali, baik dalam al-Qur’an maupun hadis, mereka cuma
mengira-ngira berdasarkan keyakinannya sendiri, bahkan saya sendiri pernah
dikritiknya, dianggapnya saya tidak mengerti bagaimana membaca al-Qur’an yang
benar atau bahasa Arab yang baik.
Bagi saya
tidak jadi soal mau dianggap tidak mengerti atau lebih dari itu juga, namun
hendaklah jika mengkritik seseorang terutama yang ada sangkut pautnya dengan agama
harus berdasarkan dalil/argumentasi nash, jangan sampai menyampaikan sesuatu
berdasarkan asumsi atau keyakinannya sendiri, dan lebih ideal lagi jika si
pengkritik pengetahuan atau ilmunya melampaui orang yang dikritiknya, sehingga
ketika dikick balik siap untuk berargumentasi, bukan pergi begitu saja, semacam
orang yang tak bertanggung jawab, atau menjawab tapi argumentasinya ngawur tak
memiliki pijakan/referensi kecuali akalnya sendiri.
Tulisan saya
di bawah ini kiranya menjadi argumentasi mengapa sakralisasi terhadap
transliterasi Arab ke Latin, tidak boleh dijadikan dalil untuk menyalahkan
apalagi memaki orang lain, sebab kritikan atau makian itu seringkali tidak
memiliki dasar sama sekali. Saya sengaja memilih kata ‘sakralisasi’ sebab
seolah-olah kalau salah penulisan ketika mentransliterasi Arab ke Latin itu
merupakan dosa dan akan merubah makna aslinya.
Setidaknya
ada banyak argumentasi yang ingin saya sajikan di sini, baik dilihat dari
sejarahnya, qira’atnya, ilmu tajwidnya, sifatul huruf, maupun
kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh suatu bangsa.
Pertama, dilihat dari sejarahnya al-Qur’an
diturunkan tidak dengan tulisan. Ketika al-Qur’an diturunkan lewat surat
pertama al-‘Alaq ayat 1, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan,” maka yang pertama kali
Rasul katakan, “Aku tak dapat membaca.” Sehingga ayat selanjutnya dalam surat
al-Muzzammil ayat 4, Allah memerintahkan, “...dan bacalah al-Qur’an itu
dengan tartil.” Para ulama menafsirkan tartil dengan membaca
perlahan-lahan, benar dan bertajwid. Perhatikan ayat tersebut, Allah hanya
memerintahkan “bacalah” bukan “tulislah,” sebab Allah swt Maha Tahu, bahwa
tulisan selalu bermuara pada kesepakatan-kesepakatan seseorang, kelompok maupun
bangsa, sehingga bentuknya bisa saja berbeda-beda. Allah swt konsisten menyuruh
Nabi saw untuk membacanya walaupun beliau tidak dapat membacanya, tapi Allah
swt telah menyiapkan Malaikat Jibril untuk menuntun bacaannya, sehingga
terhindar dari kesalahan membaca.
Selain itu,
cikal bakal tulisan Arab berasal dari dua bahasa yaitu ‘Aram dan Ibrani, dan
dalam perkembangannya terus mengalami perubahan, bahkan ketika al-Qur’an
ditulis pada masa khalifah Ali bin Abi Ṭalib. Pada masa khalifah ini, beliau
memerintahkan Abu Aswad Addauly untuk menyusun ilmu nahwu ṣaraf (prama
sastra) Arab untuk memudahkan orang-orang dalam memahami dan membaca al-Qur’an.
Huruf-huruf al-Qur’an pada mulanya tidak memakai titik dan juga tidak terdapat
baris. Seorang ulama bernama Hajjāj Bin Yusuf-lah yang membubuhi titik pada
huruf-huruf al-Qur’an itu pada abad kedua Hijriah, dan Ibnu Muqlah memberi
baris pada masa pemerintahan Daulah Bani ‘Abbas.
Sampai
sekarang pun bentuk penulisan al-Qur’an masih saja terdapat perubahan-perubahan
dibeberapa mushaf al-Qur’an, bukan dari segi huruf atau kalimatnya, karena
huruf atau kalimat al-Qur’an akan tetap abadi sampai kapanpun, tapi dari segi
penulisannya - karena itu perlu dibedakan antara al-Qur’an dan Mushaf al-Qur’an
- Misalnya : tanda fathah berdiri yang ada dalam lafaz الله yang menunjukkan adanya hukum mad di
sana (mad ta’zīm) kini menjadi fathah biasa tanpa berdiri, namun tetap ketika
membacanya dibaca panjang, demikian juga pada tanda mati (sukun), yang awalnya
setiap huruf mad diberi tanda mati sekarang tidak diberi tanda mati namun tetap
dibaca mad, demikian juga syaddah, dll.
Kedua, dilihat dari qira’at yang dibaca. Hadis
Nabi dari Ibnu Abbās yang diriwayatkan oleh Bukhāri dan Muslim menyebutkan
bahwa Allah menurunkan al-Qur’an lewat malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw
dengan tujuh macam bacaan. Dari tujuh bacaan tersebut, Qira’at Imam ‘Asim
riwayat Imam Hafas-lah yang sebagian besar menjadi bacaan al-Qur’an umat Islam
di Indonesia, sedangkan di negara lain seperti Aljazair, Tunisia, Maroko,
membaca al-Qur’an dengan Qira’at Imam lainnya yang diriwayatkan secara
mutawatir pula. Dalam qira’at Imam Hafas, ada ketentuan/cara membaca al-Qur’an
secara khusus (kaidah khusus) sedangkan pada qira’at Imam lain, bacaan itu
justru merupakan kaidah umum. Contohya, pada Qira’at Imam Hafas, hukum membaca
secara Imālah (miring) yang dibaca dengan bunyi e hanya dikenal dalam satu tempat saja yakni
di surat Hūd ayat 41 :
وَقَالَ ارْكَبُوْا فِيْهَا بِسْمِ اللهِ مَجْرَاهَا
وَمُرْسَاهَا إِنَّ رَبِّيْ لَغَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
Sedangkan
dalam Qira’at lain, misalnya bacaan yang diriwayatkan oleh Imam Warsh (ورش) justru Imalah berada di banyak
tempat, semisal disetiap akhir ayat pada surat aḍ-Ḍuha.
Ketiga, dilihat dari aturan/hukum membacanya
(tajwid). Al-Qur’an berbeda dengan bacaan kitab-kitab yang ada di dunia ini,
jika ia salah membaca dengan mengganti huruf yang satu dengan yang lain maka
maknanya menjadi berbeda, demikian juga jika yang dibaca seharusnya panjang
ternyata dibaca pendek, atau salah memberi harokat seharusnya fathah menjadi ḍommah
ini pun akan merubah makna, seperti yang lazim terdapat pada kalimat aktif (ma’lūm)
menjadi fasif (majhūl) atau dari tunggal (mufrod) menjadi jamak
tidak beraturan (jama’ taksir).
Setiap hukum
bacaan ada kaidahnya masing-masing. Hukum mad misalnya ada yang harus dibaca 2
harokat, 4 harokat, dan 6 harokat. Atau Ikhfa misalnya, karena setiap huruf
harus dikeluarkan sesuai makharijul hurufnya (tempat keluar huruf) maka
huruf-huruf ikhfa ada yang harus dibaca dekat (aqrab) yang bunyinya
mendekati n, ada yang dibaca pertengahan (ausat) yang bunyinya mendekati
ny, dan ada yang harus dibaca jauh (ab’ad), yang bunyinya mendekati ng.
Keempat, dilihat dari sifat-sifat huruf
al-Qur’an. Dari 28 huruf hijaiyyah yang ada, semuanya memiliki sifat huruf yang
jika dibunyikan maka ada huruf yang bunyinya harus berhembus/berdesis (mahmus/hamas)
dan ada yang tidak boleh berhembus/berdesis (jahar), dan lain-lain.
Yang menjadi
masalah sekarang adalah bagaimana jika keempat point itu diterapkan ke dalam transliterasi
Arab ke Latin : INI PASTI SULIT
1. Pernahkah Anda
melihat tulisan : اِنْ شَاءَ الله ditransliterasi (dialihkan) ke huruf latin
secara beragam?
Ada yang menulis : In sya Alloh, Insya Alloh, Insya Allah, Insha Allah, bahkan
ada yang nulis Ing Syaa Allooh. Mana yang benar?
Saya yakin semuanya bertujuan baik yakni ingin mengembalikan bacaan
al-Qur’an sesuai kaidah membacanya atau kaidah tulisannya.
Namun, jika melihat keempat poin di atas tentu mudah kiranya untuk membangun
argumen bahwa :
a. Jika ingin
sesuai tajwid tentu semuanya harus ditulis berdasarkan hukum yang semestinya.
Nun mati jika bertemu ش harus dibaca ikhfa, namun bunyinya bukan ng sebab menurut
kaidah tajwid hanya huruf ق dan ك –lah yang
mendekati bunyi ng, itupun mendekati. Jika mau pun harus ditulis iny bukang
ing.
Lalu شَاءَ semestinya ditulis Syaaaa--a’ atau
Shaaaa—a’sebab menurut Qira’at Imam Hafas, mad wajib muttaṣil, panjangnya hanya 4
harokat bukan 2 harokat, bahkan hampir semua Imam Qira'at membacanya 4 harokat, kecuali Imam Warsh dan Hamzah-lah yang membaca 6 harokat. Tentu ini akan menjadi kesulitan sebab kaidah bahasa
terutama bahasa Indonesia tidak mengenal adanya huruf hidup yang penulisannya
dipanjangkan, sehingga sulit kiranya membedakan mana mad aṣlī (mad yang
dibaca dua harokat) dan mana mad far’ī ( mad yang dibaca 4 atau 6
harokat), bahkan lebih tidak biasa lagi merumuskan penulisan mad lazim mushaqal
harfi seperti الم,
yang jika ditulis seharusnya alif laaaaaam-mm-miiiiiim karena 1 harokat untuk
alif, 6 harokat untuk lam, 2 harokat untuk bunyi idgham mimi, dan 6 harokat
untuk huruf mim.
Terus untuk huruf الله jika ditulis ke latin menjadi Allooh, bukan Alloh, itu
pun kalau sebelumnya berharokat fathah atau ḍommah, tapi jika kasrah maka harus
ditulis Allaah dan bagaimana pula jika transliterasi الله ini ditulis dalam kalimat azan, ulama
bahkan membolehkan mad ta’ẓīm dalam lafaz الله dibaca sampai 8 harokat demi untuk
mengagungkan nama Allah.
b. Jika dilihat
dari sifatul huruf, tentu ini akan lebih sulit lagi, sebab huruf-huruf arab
(al-Qur’an) jika ditulis ternyata bunyinya tidak percis sama dengan huruf
latin. Bagaimana merumuskan penulisan yang bunyi hurufnya bersifat humus/hamas
(berdesis/pecah), sedangkan kita diperintah Allah untuk membacanya dengan
tartil (sesuai kaidah bacaan yang seharusnya).
2. Pernahkah Anda
mendengar bacaan al-Qur’an yang tidak sama atau sedikit berbeda dengan bacaan
yang Anda kumandangkan selama ini? Saya yakin pernah, sebab bagi pecinta
al-Qur’an dari tahun 1982 sampai sekarang ada beberapa qari/ah yang kasetnya
selalu diputar-putar di masjid-masjid saat menjelang salat jum’at atau acara
pengajian, antar lain H. Muammar ZA, H. Humaidi, Hj. Maria Ulfah, dll, yang
membacakan qira’at sab’ah (bacaan tujuh).
Apa yang kira-kira ada dalam benak kita?
Tentu bermacam-macam pikiran bisa terbersit bukan? Namun yang jelas sulit
melakukan transliterasi dalam qira’at yang bermacam-macam, jangankan
mentrasliterasinya, membacanya pun bagi yang pernah belajar seperti saya
sungguh sangat merepotkan terutama dalam mengingat kaidah masing-masing qira’at
tersebut.
3. Jika demikian,
argumentasi yang sering kali dikemukakan oleh sebagian para pengkritik atau
pembuli yang menyatakan bahwa tulisan itu harus sesuai tajwid atau bacaannya,
saya nilai kurang melihat konteks, baik dilihat dari sejarahnya maupun kaidahnya,
sebab jika kita tulis ternyata tidak satu pun yang penulisannya
konsisten/sesuai dengan kaidah yang berlaku. Jika terpaksa ditulis pun terlihat
aneh dan tidak sesuai kaidah bahasa yang berlaku sebagaimana penjelasan saya
tentang penulisan اِنْ شَاءَ الله di
atas. Menurut saya tulisan itu selalu bersinggungan dengan
kesepakatan-kesepakatan. Terbukti orang Arab sendiri mengadakan
kesepakatan-kesepakatan tentang tulisan pada mushaf al-Qur’an sejak zaman Usman
bin Affan, Ali bin Abi Ṭalib, Daulah ‘Abbas, dll. Mereka sama sekali tidak
mensakralkan tulisan yang ada dalam mushaf al-Qur’an, penulisan mushaf al-Qur’an
selalu mengalami perubahan dari dulu sampai sekarang. Mereka bersepakat dalam
menentukan tulisan-tulisan, apakah pakai titik, pakai baris, atau harus membuat
kaidah bahasa Arab, supaya dapat dipelajari oleh orang Islam selain orang Arab.
Yang sakral adalah membacanya, karena harus sesuai dengan
qira’at mutawatir (bersambung) yang diajarkan oleh Rasulullah saw, dan perintah
Allah dalam surat al-Muzzammil supaya membacanya dengan tartil.
Apalagi dalam hal transliterasi. Terus terang saja saya dibuat bingung
dengan transliterasi yang beredar di Indonesia ini. Antara satu buku dengan
buku lainnya penulisan transliterasi dari Arab ke latin bukan main beragamnya.
Contohnya Hafidz, Hafiz, Hafizd, Hafiẓ. Transliterasi ini kira-kira
referensinya ke mana ya? Dan banyak lagi transliterasi yang lainnya. Setelah
saya cek ternyata referensinya tidak jelas. Tentu ini berbeda dengan bahasa
asing yang sudah diadopsi sebagai bahasa Indonesia, karena ini tidak perlu
ditransliterasi lagi, seperti salat, musala, ustaz, zuhur, azan, saleh, dll,
tapi meski demikian tetap saja banyak orang yang tidak mau menggunakan bahasa
baku itu, barangkali kurang dianggap fasih kalau tidak menulis sholat, sholeh,
adzan, dll, atau mungkin karena sudah terbiasa sehingga sulit untuk dirubahnya.
Karena itu, seharusnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menertibkan
carut marut penulisan ini, sebab setidaknya ini dapat merusak bahasa Indonesia
itu sendiri. Saya tahu, bahwa sekarang ada Keputusan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor : 158 Tahun 1987 – Nomor :
0543/b/u/1987 yang mengatur tentang transliterasi ini, tapi dalam hal ini
seharusnya Menteri Agama dan Menteri P & K memertimbangkan bahwa bahasa
Arab adalah salah satu bahasa pengantar Internasional, sehingga referensinya
pun harus berdasarkan keputusan kongres Arab. Nah, dalam penulisan
transliterasi hasil kongres Arab selaiknya dijadikan referensi oleh seluruh
negara sebagai acuan dalam cara penulisannya, salah satunya adalah Pedoman
Transliterasi Arab-Latin (Library Of Congress Romanization Of Arabic), sebab
perguruan tinggi atau universitas bertaraf Internasional tidak mungkin
menggunakan Keputusan Bersama tersebut, karena cara penulisannya berbeda.
Berikut ini adalah Pedoman
Transliterasi Arab-Latin
(Library Of Congress Romanization Of
Arabic) -*)
Jadi jangan ragu untuk tidak dianggap fasih atau dianggap tidak bisa baca
al-Qur’an, atau dianggap menyalahi cara membacanya, karena orang Arab yang
lebih fasih dari kita dalam pengucapan bahasa Arab pun ketika menulis ia harus
tunduk kepada kaidah bahasa yang berlaku, sehingga ia harus menulis Inshā
Allāh, ṣalat, adhan, Māshā Allāh, dll.
Demikian semoga ada manfaatnya.
Ditulis oleh : Kinkin Mulyati
*) Penulisan dalam artikel ini juga merujuk pada transliterasi ini.

Posted by
Unknown
Posted on Sunday, November 1, 2015 |
11/01/2015
With No comments
Join Me On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for visiting ! ::
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Masukan Kritik dan Saran Anda