English French Russian Japanese Arabic


SAKRALISASI PENULISAN AKSARA ARAB DALAM LITERATUR SEJARAH DAN QIRA’AT

Kinkin Mulyati
Akhir-akhir ini banyak tulisan/pendapat mengenai penulisan transliterasi Arab ke Latin yang dishare kepada khalayak umum, baik berasal dari seorang ustaz maupun pengikutnya, disampaikan dalam ceramah maupun diupload lewat status media sosial, para pembuli pun ikut-ikutan menulis dan mengkritik habis-habisan orang yang dianggapnya salah, padahal apa yang mereka persoalkan sesungguhnya tidak punya dasar sama sekali, baik dalam al-Qur’an maupun hadis, mereka cuma mengira-ngira berdasarkan keyakinannya sendiri, bahkan saya sendiri pernah dikritiknya, dianggapnya saya tidak mengerti bagaimana membaca al-Qur’an yang benar atau bahasa Arab yang baik.  

Bagi saya tidak jadi soal mau dianggap tidak mengerti atau lebih dari itu juga, namun hendaklah jika mengkritik seseorang terutama yang ada sangkut pautnya dengan agama harus berdasarkan dalil/argumentasi nash, jangan sampai menyampaikan sesuatu berdasarkan asumsi atau keyakinannya sendiri, dan lebih ideal lagi jika si pengkritik pengetahuan atau ilmunya melampaui orang yang dikritiknya, sehingga ketika dikick balik siap untuk berargumentasi, bukan pergi begitu saja, semacam orang yang tak bertanggung jawab, atau menjawab tapi argumentasinya ngawur tak memiliki pijakan/referensi kecuali akalnya sendiri.  

Tulisan saya di bawah ini kiranya menjadi argumentasi mengapa sakralisasi terhadap transliterasi Arab ke Latin, tidak boleh dijadikan dalil untuk menyalahkan apalagi memaki orang lain, sebab kritikan atau makian itu seringkali tidak memiliki dasar sama sekali. Saya sengaja memilih kata ‘sakralisasi’ sebab seolah-olah kalau salah penulisan ketika mentransliterasi Arab ke Latin itu merupakan dosa dan akan merubah makna aslinya.

Setidaknya ada banyak argumentasi yang ingin saya sajikan di sini, baik dilihat dari sejarahnya, qira’atnya, ilmu tajwidnya, sifatul huruf, maupun kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh suatu bangsa.

Pertama, dilihat dari sejarahnya al-Qur’an diturunkan tidak dengan tulisan. Ketika al-Qur’an diturunkan lewat surat pertama al-‘Alaq ayat 1, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,”  maka yang pertama kali Rasul katakan, “Aku tak dapat membaca.” Sehingga ayat selanjutnya dalam surat al-Muzzammil ayat 4, Allah memerintahkan, “...dan bacalah al-Qur’an itu dengan tartil.” Para ulama menafsirkan tartil dengan membaca perlahan-lahan, benar dan bertajwid. Perhatikan ayat tersebut, Allah hanya memerintahkan “bacalah” bukan “tulislah,” sebab Allah swt Maha Tahu, bahwa tulisan selalu bermuara pada kesepakatan-kesepakatan seseorang, kelompok maupun bangsa, sehingga bentuknya bisa saja berbeda-beda. Allah swt konsisten menyuruh Nabi saw untuk membacanya walaupun beliau tidak dapat membacanya, tapi Allah swt telah menyiapkan Malaikat Jibril untuk menuntun bacaannya, sehingga terhindar dari kesalahan membaca.

Selain itu, cikal bakal tulisan Arab berasal dari dua bahasa yaitu ‘Aram dan Ibrani, dan dalam perkembangannya terus mengalami perubahan, bahkan ketika al-Qur’an ditulis pada masa khalifah Ali bin Abi Ṭalib. Pada masa khalifah ini, beliau memerintahkan Abu Aswad Addauly untuk menyusun ilmu nahwu ṣaraf (prama sastra) Arab untuk memudahkan orang-orang dalam memahami dan membaca al-Qur’an. Huruf-huruf al-Qur’an pada mulanya tidak memakai titik dan juga tidak terdapat baris. Seorang ulama bernama Hajjāj Bin Yusuf-lah yang membubuhi titik pada huruf-huruf al-Qur’an itu pada abad kedua Hijriah, dan Ibnu Muqlah memberi baris pada masa pemerintahan Daulah Bani ‘Abbas.

Sampai sekarang pun bentuk penulisan al-Qur’an masih saja terdapat perubahan-perubahan dibeberapa mushaf al-Qur’an, bukan dari segi huruf atau kalimatnya, karena huruf atau kalimat al-Qur’an akan tetap abadi sampai kapanpun, tapi dari segi penulisannya - karena itu perlu dibedakan antara al-Qur’an dan Mushaf al-Qur’an - Misalnya : tanda fathah berdiri yang ada dalam lafaz الله  yang menunjukkan adanya hukum mad di sana (mad ta’zīm) kini menjadi fathah biasa tanpa berdiri, namun tetap ketika membacanya dibaca panjang, demikian juga pada tanda mati (sukun), yang awalnya setiap huruf mad diberi tanda mati sekarang tidak diberi tanda mati namun tetap dibaca mad, demikian juga syaddah, dll.

Kedua, dilihat dari qira’at yang dibaca. Hadis Nabi dari Ibnu Abbās yang diriwayatkan oleh Bukhāri dan Muslim menyebutkan bahwa Allah menurunkan al-Qur’an lewat malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw dengan tujuh macam bacaan. Dari tujuh bacaan tersebut, Qira’at Imam ‘Asim riwayat Imam Hafas-lah yang sebagian besar menjadi bacaan al-Qur’an umat Islam di Indonesia, sedangkan di negara lain seperti Aljazair, Tunisia, Maroko, membaca al-Qur’an dengan Qira’at Imam lainnya yang diriwayatkan secara mutawatir pula. Dalam qira’at Imam Hafas, ada ketentuan/cara membaca al-Qur’an secara khusus (kaidah khusus) sedangkan pada qira’at Imam lain, bacaan itu justru merupakan kaidah umum. Contohya, pada Qira’at Imam Hafas, hukum membaca secara Imālah (miring) yang dibaca dengan bunyi e  hanya dikenal dalam satu tempat saja yakni di surat Hūd ayat 41 :

وَقَالَ ارْكَبُوْا فِيْهَا بِسْمِ اللهِ مَجْرَاهَا وَمُرْسَاهَا إِنَّ رَبِّيْ لَغَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

Sedangkan dalam Qira’at lain, misalnya bacaan yang diriwayatkan oleh Imam Warsh (ورش) justru Imalah berada di banyak tempat, semisal disetiap akhir ayat pada surat aḍ-Ḍuha.

Ketiga, dilihat dari aturan/hukum membacanya (tajwid). Al-Qur’an berbeda dengan bacaan kitab-kitab yang ada di dunia ini, jika ia salah membaca dengan mengganti huruf yang satu dengan yang lain maka maknanya menjadi berbeda, demikian juga jika yang dibaca seharusnya panjang ternyata dibaca pendek, atau salah memberi harokat seharusnya fathah menjadi ḍommah ini pun akan merubah makna, seperti yang lazim terdapat pada kalimat aktif (ma’lūm) menjadi fasif (majhūl) atau dari tunggal (mufrod) menjadi jamak tidak beraturan (jama’ taksir).

Setiap hukum bacaan ada kaidahnya masing-masing. Hukum mad misalnya ada yang harus dibaca 2 harokat, 4 harokat, dan 6 harokat. Atau Ikhfa misalnya, karena setiap huruf harus dikeluarkan sesuai makharijul hurufnya (tempat keluar huruf) maka huruf-huruf ikhfa ada yang harus dibaca dekat (aqrab) yang bunyinya mendekati n, ada yang dibaca pertengahan (ausat) yang bunyinya mendekati ny, dan ada yang harus dibaca jauh (ab’ad), yang bunyinya mendekati ng.

Keempat, dilihat dari sifat-sifat huruf al-Qur’an. Dari 28 huruf hijaiyyah yang ada, semuanya memiliki sifat huruf yang jika dibunyikan maka ada huruf yang bunyinya harus berhembus/berdesis (mahmus/hamas) dan ada yang tidak boleh berhembus/berdesis (jahar), dan lain-lain.

Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana jika keempat point itu diterapkan ke dalam transliterasi Arab ke Latin : INI PASTI SULIT
1.      Pernahkah Anda melihat tulisan : اِنْ شَاءَ الله  ditransliterasi (dialihkan) ke huruf latin secara beragam?
Ada yang menulis : In sya Alloh, Insya Alloh, Insya Allah, Insha Allah, bahkan ada yang nulis Ing Syaa Allooh. Mana yang benar? 
Saya yakin semuanya bertujuan baik yakni ingin mengembalikan bacaan al-Qur’an sesuai kaidah membacanya atau kaidah tulisannya.
Namun, jika melihat keempat poin di atas tentu mudah kiranya untuk membangun argumen bahwa :
a.       Jika ingin sesuai tajwid tentu semuanya harus ditulis berdasarkan hukum yang semestinya. Nun mati jika bertemu ش harus dibaca ikhfa, namun bunyinya bukan ng sebab menurut kaidah tajwid hanya huruf ق dan ك –lah yang mendekati bunyi ng, itupun mendekati. Jika mau pun harus ditulis iny bukang ing.

Lalu شَاءَ  semestinya ditulis Syaaaa--a’ atau Shaaaa—a’sebab menurut Qira’at Imam Hafas, mad wajib muttaṣil, panjangnya hanya 4 harokat bukan 2 harokat, bahkan hampir semua Imam Qira'at membacanya 4 harokat, kecuali Imam Warsh dan Hamzah-lah yang membaca 6 harokat. Tentu ini akan menjadi kesulitan sebab kaidah bahasa terutama bahasa Indonesia tidak mengenal adanya huruf hidup yang penulisannya dipanjangkan, sehingga sulit kiranya membedakan mana mad aṣlī (mad yang dibaca dua harokat) dan mana mad far’ī ( mad yang dibaca 4 atau 6 harokat), bahkan lebih tidak biasa lagi merumuskan penulisan mad lazim mushaqal harfi seperti الم, yang jika ditulis seharusnya alif laaaaaam-mm-miiiiiim karena 1 harokat untuk alif, 6 harokat untuk lam, 2 harokat untuk bunyi idgham mimi, dan 6 harokat untuk huruf mim.

Terus untuk huruf الله jika ditulis ke latin menjadi Allooh, bukan Alloh, itu pun kalau sebelumnya berharokat fathah atau ḍommah, tapi jika kasrah maka harus ditulis Allaah dan bagaimana pula jika transliterasi الله ini ditulis dalam kalimat azan, ulama bahkan membolehkan mad ta’ẓīm dalam lafaz الله dibaca sampai 8 harokat demi untuk mengagungkan nama Allah.

b.      Jika dilihat dari sifatul huruf, tentu ini akan lebih sulit lagi, sebab huruf-huruf arab (al-Qur’an) jika ditulis ternyata bunyinya tidak percis sama dengan huruf latin. Bagaimana merumuskan penulisan yang bunyi hurufnya bersifat humus/hamas (berdesis/pecah), sedangkan kita diperintah Allah untuk membacanya dengan tartil (sesuai kaidah bacaan yang seharusnya).

2.      Pernahkah Anda mendengar bacaan al-Qur’an yang tidak sama atau sedikit berbeda dengan bacaan yang Anda kumandangkan selama ini? Saya yakin pernah, sebab bagi pecinta al-Qur’an dari tahun 1982 sampai sekarang ada beberapa qari/ah yang kasetnya selalu diputar-putar di masjid-masjid saat menjelang salat jum’at atau acara pengajian, antar lain H. Muammar ZA, H. Humaidi, Hj. Maria Ulfah, dll, yang membacakan qira’at sab’ah (bacaan tujuh).

Apa yang kira-kira ada dalam benak kita?
Tentu bermacam-macam pikiran bisa terbersit bukan? Namun yang jelas sulit melakukan transliterasi dalam qira’at yang bermacam-macam, jangankan mentrasliterasinya, membacanya pun bagi yang pernah belajar seperti saya sungguh sangat merepotkan terutama dalam mengingat kaidah masing-masing qira’at tersebut.

3.      Jika demikian, argumentasi yang sering kali dikemukakan oleh sebagian para pengkritik atau pembuli yang menyatakan bahwa tulisan itu harus sesuai tajwid atau bacaannya, saya nilai kurang melihat konteks, baik dilihat dari sejarahnya maupun kaidahnya, sebab jika kita tulis ternyata tidak satu pun yang penulisannya konsisten/sesuai dengan kaidah yang berlaku. Jika terpaksa ditulis pun terlihat aneh dan tidak sesuai kaidah bahasa yang berlaku sebagaimana penjelasan saya tentang penulisan اِنْ شَاءَ الله  di atas. Menurut saya tulisan itu selalu bersinggungan dengan kesepakatan-kesepakatan. Terbukti orang Arab sendiri mengadakan kesepakatan-kesepakatan tentang tulisan pada mushaf al-Qur’an sejak zaman Usman bin Affan, Ali bin Abi Ṭalib, Daulah ‘Abbas, dll. Mereka sama sekali tidak mensakralkan tulisan yang ada dalam mushaf al-Qur’an, penulisan mushaf al-Qur’an selalu mengalami perubahan dari dulu sampai sekarang. Mereka bersepakat dalam menentukan tulisan-tulisan, apakah pakai titik, pakai baris, atau harus membuat kaidah bahasa Arab, supaya dapat dipelajari oleh orang Islam selain orang Arab.
Yang sakral adalah membacanya, karena harus sesuai dengan qira’at mutawatir (bersambung) yang diajarkan oleh Rasulullah saw, dan perintah Allah dalam surat al-Muzzammil supaya membacanya dengan tartil.

Apalagi dalam hal transliterasi. Terus terang saja saya dibuat bingung dengan transliterasi yang beredar di Indonesia ini. Antara satu buku dengan buku lainnya penulisan transliterasi dari Arab ke latin bukan main beragamnya. Contohnya Hafidz, Hafiz, Hafizd, Hafiẓ. Transliterasi ini kira-kira referensinya ke mana ya? Dan banyak lagi transliterasi yang lainnya. Setelah saya cek ternyata referensinya tidak jelas. Tentu ini berbeda dengan bahasa asing yang sudah diadopsi sebagai bahasa Indonesia, karena ini tidak perlu ditransliterasi lagi, seperti salat, musala, ustaz, zuhur, azan, saleh, dll, tapi meski demikian tetap saja banyak orang yang tidak mau menggunakan bahasa baku itu, barangkali kurang dianggap fasih kalau tidak menulis sholat, sholeh, adzan, dll, atau mungkin karena sudah terbiasa sehingga sulit untuk dirubahnya.  

Karena itu, seharusnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menertibkan carut marut penulisan ini, sebab setidaknya ini dapat merusak bahasa Indonesia itu sendiri. Saya tahu, bahwa sekarang ada Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor : 158 Tahun 1987 – Nomor : 0543/b/u/1987 yang mengatur tentang transliterasi ini, tapi dalam hal ini seharusnya Menteri Agama dan Menteri P & K memertimbangkan bahwa bahasa Arab adalah salah satu bahasa pengantar Internasional, sehingga referensinya pun harus berdasarkan keputusan kongres Arab. Nah, dalam penulisan transliterasi hasil kongres Arab selaiknya dijadikan referensi oleh seluruh negara sebagai acuan dalam cara penulisannya, salah satunya adalah Pedoman Transliterasi Arab-Latin (Library Of Congress Romanization Of Arabic), sebab perguruan tinggi atau universitas bertaraf Internasional tidak mungkin menggunakan Keputusan Bersama tersebut, karena cara penulisannya berbeda.

Berikut ini adalah Pedoman Transliterasi Arab-Latin
(Library Of Congress Romanization Of Arabic) -*)


 


Jadi jangan ragu untuk tidak dianggap fasih atau dianggap tidak bisa baca al-Qur’an, atau dianggap menyalahi cara membacanya, karena orang Arab yang lebih fasih dari kita dalam pengucapan bahasa Arab pun ketika menulis ia harus tunduk kepada kaidah bahasa yang berlaku, sehingga ia harus menulis Inshā Allāh, ṣalat, adhan, Māshā Allāh, dll.
Demikian semoga ada manfaatnya.

Ditulis oleh : Kinkin Mulyati

*) Penulisan dalam artikel ini juga merujuk pada transliterasi ini.


0 comments:

Post a Comment

Silahkan Masukan Kritik dan Saran Anda

 
Support : Kinkin Mulyati | Ahmad Saeful Muslim
Copyright © 2013. Kinkin Mulyati - All Rights Reserved
Created by Creating Website Published by Cherocheri
Proudly powered by Blogger